Filosofi Beruk

Catatan : Pinto Janir*

TERMENUNG buruk saya memerhatikan ulah beruk. Baru saya yakin, rupanya cermin dibuat untuk mengaca. Apakah ini bahasa simbol dari seorang Genius Umar yang Walikota Pariaman itu? Di kota ini ada sekolah beruk. Awak tahu, beruk paling ahli soal panjat memanjat. Bila tangan tak sampai, penggalan pengulasnya. Bila pohon kelapa tinggi, baruk membantu menurunkan buahnya. Kalau tak bisa memanjat, jangan dipaksakan diri. Berkelukuran dada kau nanti.

Sekolah beruk. Sekolah tinggi pula namanya. Sekali lagi, Sekolah Tinggi Ilmu Beruk (STIB) hanya ada di Pariaman rupanya. Di tempat lain, mungkin ada juga. Tapi namanya belum tentu STIB. Pariaman kaya dengan parak karambia. Luar biasa bantuan beruk menurunkan karambia dari ateh batang nan tinggi. Beruk, tahu pula ia mana karambia nan patuik diturunkan dan mana karambia nan alun pantas dipiuh.

Alam takambang manjadi guru, itu filosofi yang sudah membumi di Ranah Minang ini. Apa yang ada simaklah. Kalau awak ragu, bertanyalah. Apa-apa nan tersekat di pikiran lekas apungkan pertanyaan pada diri sendiri. Keraguan memunculkan pertanyaan. Ragu bertanya memunculkan potensi kesesatan. Bukankah begitu, duhai kawan?

Bisa jadi, keraguan adalah awal dari sebuah pengetahuan.

Ada apa, mengapa, bagaimana, bagaimana menjadi mengapa, apa menjadi bagaimana, apa di balik mengapa, ada siapa dengan apa, apa dengan siapa, mengapa begitu, mengapa tak harus begini, mengapa tiba-tiba siapa ingin menjadi apa ?

Sering-seringlah membaca alam.
Abih salero tingga raso.
Sahabih-habih raso,
tinggakan diri ka Nan Kuaso.

Baiklah saya simak perangai beruk di sekolah tinggi ini dulu ya…

Di sekolah beruk ini, pelatih mengajar beruk dengan kasih sayang. Beruk tahu aba-aba dari bahasa tali. Ia pandai membaca akan kemana santak tali, piuh tali, gatik tali.

Tahu dengan cewang di langik tando ka paneh, cewang di hati tando curiga. Tahu jo karambia ma nan kaditurunkan dulu ma nan indak buliah dijujuik. Beruk menurunkan karambia. Nan manaikkan karambia, itu bukan beruk namanya !

Setantang ini, saya dapat pelajaran lagi tentang beruk saja bisa diajar, apa lagi awak nan manusia-manusia ini !

Beruk tak pernah terdengar oleh saya mahimpokkan buah karambia ka kapalo orang yang telah lama membantu atau melatihnya. Beruk tak pernah pula berlaku buruk pada orang atau tuan yang membantunya untuk “cakap” hidup.

Hahahaha
Apakah kita pernah mendengar gelagat beruk memperburukkan tuannya kepada beruk yang lain atau kepada tuannya yang baru?

Kalau saya, belum pernah mendengarnya. Kalau ada, ha iya baruak namanya mah !

Lalu saya lihat seekor beruk sedang memanjat. Bila ada agak lain ganjua tali sang “guru” nan turun bukan karambia tua, tapi karambia muda. Ternyata karambia muda itu untuk sang tuan yang notabene orang yang berjasa mengajarnya menjadi beruk yang “cerdik”. Nan tahu jo karambia mudo, karambia tuo dan nan tahu jo karambia ampo.

Lalu soal beruk atau juga kera yang juga kelompok primata mengingatkan saya pada pesan moril Buya Hamka: “Kalau bekerja sekadar bekerja, kera juga bekerja”.

Beruk itu kerja keras. Manusia kerja cerdas. Kerja keras bukan keras bekerja. Bukan menggunakan otot semata, tapi juga segala pikiran yang ada. Namun kalau kita berpikir ke berpikir saja terus kerjanya tanpa aksi–tanpa berusaha menyampaikannya walau lewat lisan atau tulisan dan hanya diam, itu melamun namanya. Jangan sampai seperti si bisu barasian kalam hari.

A nan takana, amati, analisis; tulis !

Soal beruk mengingatkan saya pada peribahasa “anak dipangku dilepaskan, beruk di rimba disusukan”. Maknanya, apa nan jadi keharusan jangan sampai dinomorduakan pula. Urusan orang lain diurusi, urusan awak jan sampai dilengahkan. Kalau urusan rumah tangga dilengahkan, bercakak kita berlaki bini nantik. Ditinggal bini itu pedih…Namuah kurus badan dibuatnya ! Kok ka makan, ambiak se surang…

Caliaklah caro makan beruk. Nyo main caca surang. Beruk, berpantang beragih. Alun abiah di muncuang nyo nan di tangan urang lah nyo semba pulo

Ini baru namanya : baruak !

Jan sampai, samaso bakuaso, nan dakek bajauh-jauhan. Lah dapek kandak hati, urang manolong nan kanai caci maki. Inyo jauh…inyo balari-lari ! Urang jauh nan duduak maongkang-ongkang di kursi, urang tu lo nan nyo bari. Urang dakeknyo, inyo jauhi. Urang jauh nan nyo bari kursi.

Jangankan dibantu, disapa juga tidak. Jangankan begitu, begini saja jauh panggang dari api. Kini ia mengada-ada. Tapi sayang, wasit mancaliak bola lakek di tangannyo. A’is…..a’is , sorak penonton. Priiit kecek wasit.

Padohal di babak partamo, banyak bola nan manggalindiang di kakinyo. Lai inyo cubo manembak bola, tapi maleset taruih. Acoknyo maarak bola, tapi indak adoh ciek juo nan mambuahkan gol ka gawang lawan. Iko dek karano inyo pangocok. Pangilik surang. Lai manembak, masuiak indak. Muntah kayak bola tu di bibia gawang. Padohal, lapangan ko lah bantuak lapangan miliak rang gaek e surang. Lah takana lo dek nyo mambuek lapangan baru. Alun lapangan salasai, cilako tibo…dek ulah karajo indak samparono.

Kalau cilako atau bala nan tibo, sia nan akan manolong awak partamo-tamo? Tantu dunsanak juo, ndak?

Tapi kini apa juga lagi. Kawan nan alah bantuak dunsanak nan alah manolong badan diri dulu tu, kinilah jaran dek karano aia susu dibaleh ju aia garam. Asin. Saasin ambun dari pantai aia tawa dakek rumah ambo tu bana ha…

Kalau lah baitu, ma ancak baruak atau karo?

Oooo…soal kera pula lagi ,ya. Yang jelas teori evolusi Darwin itu sejak remaja sudah saya tolak adanya. Manusia bukan berasal dari kera. Kita keturunan Adam.

Kalau kera, berilah mainan, namuah abis waktu olehnya kalau mendapat mainan baru. Nan saya bukan kera. Saya kalau dikasih mainan baru, kalau saya tak suka, saya campakkan saja ! Tapi sayang, mainan baru itu tak pernah pula saya terima-terima…

Kini apa yang terjadi.Haruskah kita belajar pada beruk atau kera?

Kita adalah manusia. Kita manusia, bukan malaikat, bukan pula setan. Kita manusia adalah manusia dengan segala kekurangan dan kelebihannya.Kita tahu mana yang buruk dan mana yang baik. Kita tahu dengan ini baik ini tidak. Ini buruk ini jahat. Kita tahu dengan cara balas budi. Yang membuat kita terkadang semamang kabau runciang tanduak adalah bila sesuatu diukur dengan kepentingan di atas segala-galanya . Kalau ada penting, kawan dicari…kalau tak ada penting, kawan dilengahi. Hehehehe….

Jangan sampai cepat merasa diri menjadi orang penting, kawan. Sekalipun kau sudah merasa berkawan dengan banyak orang penting, sehingga kawan sendiri dianggap tidak penting, suatu saat kau pasti akan genting.

Ini hidup. Hidup bukan matematik. Kalaupun hidup itu matematik, namun matetematiknya matematik ajaib; bukan matematik 2+2=4. Bukankah begitu?

Konklusinya; Kawan yang sudah membesarkan kita, jangan diremehkan karena kau sudah menganggap dirimu besar. Besar…besar beruk…!

E…yayai…

Orang yang merasa telah menjadi orang besar dan cepat merasa besar, pada saat itu “kebesarannya” adalah kebesaran yang kerdil. Ia tak akan pernah jadi siapa-siapa dalam waktu yang bertahan lama. Ruruik, sebentar lagi ia. Mengapa? Karena, tak sedikit pula orang yang dibesarkan oleh kekeliruan dan kesalahan-kesalahan bila sudah tiba masanya maka ia akan diturunkan dengan kebenaran. Benar-benar turun. Tak ada kesalahan yang bisa bertahan lama. Beruk saja, kalau memanjat pohon kelapa, tak butuh waktu lama untuk sampai di atas dan tak butuh waktu lama untuk turun.

Kalau tuan pandai menaikkan, tuan harus pandai pula menurunkan !

Orang bijaksana, tahu akan balas budi. Orang arif, berpantang melukai.

Kita tak boleh sepantun dengan melepaskan anjiang takapiak. Kapik e lapeh, awaknyo garumeh. Lapeh kapik, gigik tibo. Ketika ada kuaso di tangan dek bantuan tangan kawan, jangan mamapeh dalam balango. Nan artinyo ijan mancari keuntungan untuak diri sendiri sajo. Keuntungan untuk diri, jan kecek-an untuak kawan. Awak mangulek, kawan jan mangango. Ijan takah karo, ndak?

Lauk dalam balango ijan lamo bana ditaruh di sinan, basi dia nantik.

Jadilah seorang kawan sejati. Yang tahu akan baas budi. Orang yang telah memperburuk-burukkan orang yang telah menolongnya dengan mangalangkan urek ilianya, jangan disikut kiri kanan; ngilu itu. Gilo kau nanti !

Saya mengamati beruk sekali lagi. Betapa setianya ia pada tuan yang membantunya. Saya kira persahabatan beruk dan tuannya tak seperti embun di ujung rumput. Datang panas, embun lenyap.

Begini…

Ilmu pengetahuan , pendapat saya dimulai dari “keraguan” melihat, menyimak dan mendengar sesuatu. Saya menyimak.Saya mendengar.Saya melihat. Saya akan makin ragu dan anti pada orang yang memburuk-burukkan kawannya sendiri yang setahu sudah banyak membantunya sehingga ia menjadi orang yang seperti sekarang ini. Seperti yang kau lihat ini !

Dulu kalau ia duduk, dua tangannya dikapit oleh pahanya. Kuncun bentuk ayam diakuk. Kini sejak ia sudah tegak sebenar-benar tegak, dua tangannya tak berasak-rasak dari pinggang. Kemana berdiri, ia tegak piala terus.Kemana berjalan, ia seperti ayam, dua tangan masuk ke saku.

Kini ia bertamu. Tapi bukan ke rumah kawannya dulu. Di antar oleh entah siapa itu.

Bagaikan adaik batamu. Di tarimo batamu, bukan berarti pulo lah ka sasuai rueh jo buku. Dek rueh lah tahu apo isi buku, sahinggo buku tamaik dibaco sampai di siko sajo. Bila sudah begini, sederhana saja caranya; lambaikan tangan ke kamera….jangan mengajankan tuah juga lagi.

E yayai…

Rancak saya melihat beruk di Sekolah Tinggi Ilmu Beruk (STIB) Piaman ini lagi. Banyak juga dapat pelajaran kehidupan di sini. Menjadi literasi saya. Terinspirasi saya menulis dibuatnya !

Saya akan mengarah dan melihat pada beruklah! Bak di baruak barayun ia rupanya. Ia asik melihat sesuatu sehingga lupa dengan urusan yang harus dikerjakan. Ia lupa. Baitu takana kepentingannya , terkejar-kejar ia hendak pula mengurus ini itu segala . Segala lubang ia cucuk. Segala jalan ia rambah. Karena ia sangat ingin tetap berbuai di akar itu di bawah pohon nan rimbun ini. Berbagai cara ia lakukan sudah ! Ilmunya ilmu beruk “yang belum disekolahkan”. Ia cibir sana, cibir sini. Bila perlu, ia belajar capak-capak baruak.

Konyolnya, ia tak segan-segan pula seperti hujan baliak ka langik.

Kini apa daya. Semua telat. Manga kok alah karam mangko kok baru batimbo…

*) Penulis adalah Wartawan, Sastrawan, Penyair, Pelukis dan Musisi

Exit mobile version