Bahasa Indonesia: Bahasa Belanja

Oleh : Muhamad Hafidz Ar Rizki*

“…COKELAT diskon, madu diskon, tas banyak. Jokowi boleh, Anies boleh, Prabowo boleh, Ganjar boleh. Promo, promo, promo!”

Kalimat di atas sempat viral di jagat maya (khususnya di musim-musim haji), lantaran bukan diucapkan oleh seorang pedagang pasar pagi maupun politisi, tetapi oleh penjual souvenir haji di Tanah Suci, Arab Saudi.

Banyak yang mengira, bahwa para calon jemaah haji (CJH) akan merasa kesulitan ketika menunaikan ibadah haji dan umrah, karena keterbatasan kemampuan berbicara dalam bahasa Arab. Tetapi, tampaknya anggapan ini salah besar. Hal yang terjadi justru sebaliknya, para tamu-tamu Allah ini tak perlu merasa khawatir, karena bahasa Indonesia menjamur di sana. Ya, sudah jadi bahasa pasar, bahasa untuk berbelanja.

Hal ini tidak terjadi begitu saja. Bagaimana mungkin, bahasa suatu negeri nan jauh di ujung tenggara Asia ini dikuasai oleh masyakarat –terlebih para pedagang pasar- di Arab Saudi? Mengingat rumpun bahasa yang berbeda, dan juga letak kedua negara yang terpaut 7.889 km jauhnya. Ini membuat banyak orang bertanya-tanya, dari mana kemampuan para pedagang dan pengembala domba ini berbahasa Indonesia. Apakah ini suatu mukjizat? Atau jangan-jangan, memang benar ada Nabi yang berasal dari Indonesia?

Jawabannya sederhana. Bahasa Indonesia dibawa oleh jemaah asal Indonesia itu sendiri. Selayaknya orang-orang Minang yang membawa Rendang dan budaya Minang ke perantauan (yang di kemudian hari menjadi bahan keributan), orang-orang Indonesia lah yang mengenalkan orang-orang Arab ini dengan bahasa ibu kita. Mereka sudah akrab dengan berbagai sapaan dan istilah, mulai dari frasa sederhana seperti “selamat pagi”, “terima kasih”, sampai “aku cinta Indonesia”.

Indonesia merupakan negara dengan jemaah haji terbanyak di Tanah Suci, mengingat fakta bahwa Negeri Khatulistiwa ini juga negara dengan populasi Muslim terbesar di Dunia. Menurut data dari Kementerian Agama (Kemenag), calon jemaah haji (CJH) yang akan diberangkatkan ke tanah suci tahun ini sebanyak 221.000 orang, terdiri dari 203.202 jemaah reguler, dan 17.680 jemaah khusus. Bahkan, di 2024 lalu, totalnya tembus di angka 241.000 jemaah. Kita masih menempati posisi teratas mengalahkan Pakistan dan India.

Jumlah jemaah inilah yang membuat bahasa kita digunakan dan dikenal secara luas di sana. Di Masjidil Haram, bahasa Indonesia merupakan salah satu bahasa yang digunakan di papan-papan informasi dan penunjuk jalan, bahkan tersedia juga headphone yang dilengkapi realtime translator berbahasa Indonesia untuk memudahkan jemaah kita memahami isi khutbah Jumat.

Bahkan, jika kita melipir ke pusat perbelanjaan di sekitar Masjidil Haram, terdapat banyak pedagang yang fasih berbahasa Indonesia. Mereka menjual beraneka ragam barang, mulai dari perlengkapan haji dan umrah seperti kopiah, tasbih, gamis, dan sajadah; hingga barang-barang harian seperti baju, tas, dan souvenir menarik lainnya.

Makanan khas Indonesia juga tak kalah ramainya dengan kedai-kedai lokal di sana. Walaupun tidak semuanya dikelola dan dimiliki oleh orang Indonesia asli, tetapi banyak pekerjanya yang merupakan orang asli maupun keturunan Indonesia. Hal ini bukan semata-mata karena banyaknya pengunjung kita di sana, tetapi justru juga merupakan strategi untuk menggaet jemaah Indonesia untuk berbelanja.

Hal ini sejalan dengan konsep Linguistic Market (Pasar Linguistik) yang dipopolerkan oleh Pierre Bourdieu, yang menyatakan bahwa suatu bahasa memiliki nilai jual/nilai tukar ekonomi yang tinggi. Dalam konteks ini, mereka masuk ke pasar linguistik Jemaah Indonesia yang memang gemar berbelanja. Ketika target pasarnya merupakan Jemaah kita, maka ‘nilai’ bahasa Indonesia menjadi naik dibandingkan bahasa Arab maupun bahasa lainnya.

Dalam Linguistik sendiri, hal ini disebut juga dengan “tindak tutur ilokusi” yang dikaji dalam Pragmatik. Artinya, suatu tuturan yang disampaikan tidak hanya sekadar untuk menyampaikan kebenaran atau sekadar kata-kata saja, tetapi ada makna khusus yang ingin coba disampaikan untuk memengaruhi lawan bicara (yaitu untuk berbelanja).

Contohnya, mereka berbahasa Indonesia untuk menarik banyak pelanggan dengan kata-kata seperti Jokowi, Anies, Prabowo, Ganjar, Promo, Diskon, hingga Murah. Kata-kata tersebut juga mereka pakai untuk menunjukkan kedekatan dan keramahan, bukti bahwa sudah banyak jemaah kita yang berbelanja di tempat tersebut.

Tentu saja hal ini menjadi daya tarik tersendiri, bukan hanya bagi pedagang Arab dan pembeli dari Indonesia, tetapi juga bagi Jemaah mancanegara lainnya. Semakin banyak dikenal, semakin banyak pula orang yang menggunakannya.

Terlebih lagi cara-cara mereka menggait pelanggan Indonesia dengan senyuman, sapaan haji atau hajjah, hingga kalimat-kalimat persuasif seperti yang telah dipaparkan di atas. Terlebih kalau sudah musim pilpres. Wah, semakin menjadi-jadi tawaran berbelanjanya. Bukan hanya dengan “halal, halal, halal, diskon, murah” saja, tetapi mereka juga menjual nama-nama tokoh yang bersaing dalam kontestasi pilpres negeri ini.

Bagi saya, pesan yang disampaikan sederhana. Siapa pun pilihan presidennya, apa pun afiliasi politiknya, tetaplah berbelanja, hahaha… []

*) Mahasiswa Prodi Bahasa dan Sastra Arab, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Imam Bonjol Padang

Exit mobile version