Oleh : Agil Vahlevi*
Di tengah gelombang globalisasi dan derasnya arus teknologi informasi, kehidupan manusia mengalami lompatan luar biasa. Segalanya menjadi cepat, ringkas, dan serba instan termasuk dalam urusan agama. Al-Qur’an, kitab suci yang selama lebih dari 14 abad menjadi sumber nilai dan petunjuk hidup umat Islam, kini menghadapi tantangan baru pergeseran makna wahyu. Bukan karena hilangnya ayat, melainkan karena hadirnya “wahyu digital”konten religius buatan manusia atau mesin yang perlahan menggantikan otoritas firman Ilahi dalam kesadaran kolektif umat.
AI-Qur’an diturunkan secara bertahap selama 23 tahun, menjadi penyempurna risalah Ilahi (QS. Al-Ma’idah: 3), dan diwariskan dalam tradisi penuh penghormatan dibaca, dihafal, ditafsirkan, dan ditadabburi. Namun kini, Al-Qur’an hadir dalam format digital aplikasi seperti Muslim Pro, Ayat, dan Quran Majeed telah diunduh lebih dari 100 juta kali (Statista, 2024). Meski memudahkan akses, digitalisasi ini juga membawa risiko berkurangnya kekhidmatan, kedalaman makna, dan otoritas spiritual dalam berinteraksi dengan wahyu.
Fenomena baru muncul “wahyu digital”kutipan ayat yang dipotong, ceramah instan berdurasi 1 menit, atau motivasi Islami dari influencer. Semua ini dibungkus algoritma dan disebar masif melalui TikTok, Instagram, hingga YouTube. Pew Research Center (2022) mencatat bahwa 47% Muslim usia 18–29 lebih memilih panduan hidup dari media sosial ketimbang ulama atau teks suci. Dalam realitas ini, viralitas lebih menentukan dari pada validitas. Jumlah “likes” menggantikan sanad. Dan “ustaz digital” mengalahkan mimbar masjid.
Heidi Campbell (2021), pakar digital religion, menyebut kondisi ini sebagai “fragmentasi otoritas spiritual”. Wahyu tidak lagi vertikal dari Tuhan ke Nabi melainkan horizontal dari selebgram ke pengikut. Kebenaran direduksi jadi popularitas. Ini berbahaya satu video pendek bisa menciptakan pemahaman sesat, namun tetap dipercaya hanya karena viral.
Laporan MAFINDO (2023) menunjukkan bahwa 32% hoaks yang tersebar di Indonesia bertema agama. Banyak di antaranya mengutip ayat atau hadits yang keliru, atau bahkan palsu. Hoaks keagamaan ini tidak hanya menyesatkan, tapi juga memicu polarisasi, radikalisme, dan kekacauan spiritual. Masyarakat kebingungan memilah antara suara wahyu dan suara warganet.
Praktik ibadah pun menjadi datar. Aplikasi Al-Qur’an digunakan sekadar untuk ‘checklist’ harian, bukan tadabbur. Dr. Siti Ruhama (Islamika, 2023) menyebutnya sebagai “superfisialitas spiritual digital”ibadah tanpa kedalaman, simbol tanpa ruh, rutinitas tanpa makna. Interaksi dengan wahyu tak lagi menggugah hati, hanya menjadi notifikasi harian yang bisa ditunda atau di-skip.
Yang lebih mengejutkan, kini mesin pun ikut ‘berdakwah’. Kecerdasan buatan seperti ChatGPT, Bard, hingga Quran GPT mulai dimanfaatkan untuk menjawab pertanyaan agama, membuat khutbah, bahkan menyusun tafsir. Beberapa startup di Timur Tengah mengembangkan “AI Muslim Assistant”. Apakah ini solusi atau bahaya baru? Jika wahyu dibaca oleh mesin, mampukah ia menangkap ruh spiritualnya?
Di sinilah makna QS. Al-Hijr: 9 menjadi sangat penting: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar menjaganya.” Penjagaan tidak hanya soal teks, tetapi juga makna, otoritas, dan cara umat memahami dan mengamalkannya. Bila umat menyerahkan pemaknaan wahyu pada algoritma atau kecerdasan buatan tanpa landasan keilmuan, maka proses degradasi makna menjadi keniscayaan.
Kita membutuhkan respons strategis. Pendidikan Islam harus menyiapkan generasi digital yang cakap iman dan literasi. Teknologi bukan untuk dilawan, tapi dimanusiakan. Tafsir klasik harus dikembangkan dalam format baru tanpa menghilangkan sanad dan disiplin ilmunya. Umat harus dibekali kemampuan memilah mana wahyu hakiki, mana “wahyu” yang hanya rekaan digital.
Globalisasi dan digitalisasi adalah sunnatullah zaman ini. Tapi bukan alasan untuk meninggalkan Al-Qur’an sebagai pusat orientasi hidup. Pertanyaannya kini apakah Al-Qur’an masih menjadi kompas ruhani kita, atau hanya ikon aplikasi di layar ponsel? Apakah kita masih mendengar suara Tuhan, atau hanya suara konten viral yang mengaku-ngaku wahyu? []
*Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Imam Bonjol Padang