Saat Rasa Malu Membunuh Rasa Ingin Tahu

Oleh : Hidayatul Sukma Harahap*

“Malu bertanya sesat di jalan.”

Pepatah bijak yang telah lama melekat ini mengingatkan kita bahwa bertanya adalah kunci utama untuk menuntun langkah dalam perjalanan menimba ilmu. Namun, sayangnya, di ruang kelas masa kini, suara pertanyaan justru sering tenggelam dalam keheningan yang memekakkan.

Ruang yang seharusnya menjadi taman subur bagi rasa ingin tahu berubah menjadi lorong sunyi tanpa gema tanya. Ketika keberanian bertanya dipandang sebagai kebodohan, dan perbedaan pendapat dianggap penolakan kebenaran, maka perlahan-lahan, api rasa penasaran pun padam, terkubur dalam hening yang membisu.

Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa ketakutan dan kecemasan menjadi penghalang terbesar bagi siswa untuk mengangkat tangan bertanya. Mereka takut dicap bodoh, takut menjadi bahan ejekan, bahkan takut salah mengungkapkan pikiran.

Rasa malu ini menekan suara penasaran yang sejatinya adalah nafas kehidupan ilmu pengetahuan. Misalnya, studi yang dilakukan Atin Kurniawati di UIN Raden Mas Said Surakarta menunjukkan bahwa rasa tidak percaya diri dan kekhawatiran akan penilaian negatif membuat banyak mahasiswa enggan bertanya, terutama dalam kelas daring yang terasa dingin dan jauh. Kondisi serupa juga dirasakan di ruang kelas tatap muka, di mana kecemasan serupa menyelimuti, membuat suara hati yang penuh rasa ingin tahu menjadi terbungkam.

Keheningan itu bukanlah lambang kedamaian, melainkan tanda bisu hilangnya keberanian untuk bertanya. Bahkan siswa yang tampak pendiam sebenarnya menyimpan hasrat kuat untuk belajar dan memahami, namun mereka merasa suara mereka tak diharapkan atau tak diterima.

Penelitian Barker (2011) memperkuat fakta ini dengan menyatakan bahwa siswa pendiam bukan berarti tak peduli, melainkan mereka sering terperangkap dalam ketakutan akan penilaian sosial.

Keadaan menjadi semakin menekan di kelas-kelas besar, di mana siswa khawatir menjadi pusat perhatian atau takut pertanyaannya dianggap tidak relevan. Namun, solusi inovatif seperti sistem antrian pertanyaan anonim (Live Anonymous Question Queue) yang dikembangkan oleh Montgomery dan Kolega (2019) memberikan harapan baru. Sistem inimemungkinkan siswa mengajukan pertanyaan tanpa rasa takut, membuka ruang dialog yang lebih inklusif dan meningkatkan partisipasi.

Peran guru dan pendidik menjadi sangat krusial dalam membalik keadaan ini. Mereka harus mampu menciptakan ruang belajar yang aman, hangat, dan penuh dukungan, di mana setiap pertanyaan dipandang sebagai harta berharga, bukan gangguan yang menyebalkan.

Di lingkungan seperti ini, siswa diajarkan bahwa bertanya bukanlah kebodohan, melainkan manifestasi keberanian terbesar dalam perjalanan panjang mencari ilmu.

Mari kita renungkan bersama, di tengah dunia yang terus berubah dengan cepat, mereka yang berhenti bertanya sesungguhnya adalah mereka yang kehilangan arah dan kesempatan. Ilmu adalah percikan api yang terus menyala dari tanya yang tak pernah padam.

Karena itu, jangan biarkan ruang kelas menjadi sunyi oleh ketakutan, melainkan penuhi dengan tanya, diskusi yang menggugah, dan semangat belajar yang membara.

Mari kita pulihkan kembali suara-suara yang selama ini terbungkam. Jadikan ruang belajar bukan sebagai tempat yang membatasi, melainkan ladang subur di mana rasa ingin tahu tumbuh lepas, bertanya menjadi wujud kebebasan, dan ilmu berkembang tanpa batas. []

*Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Imam Bonjol Padang

Exit mobile version