Ketika Negara Terlalu Sibuk Memberi Makan Tapi Lupa Memberi Harapan

Oleh : Sri Mega Hayatulnupus*

Ada yang berbeda dengan suasana jalanan Indonesia sejak awal tahun 2025. Pemandangan mahasiswa berorasi di bawah terik matahari, membawa poster-poster bernada getir, dan lilin-lilin kecil menyala saat malam turun menjadi hal biasa di banyak kota. Dari Jakarta, Bandung, hingga Yahukimo. Semua kompak dalam satu seruan “Indonesia Gelap” Tapi ini bukan soal pemadaman listrik. Ini tentang padamnya harapan.

Gerakan “Indonesia Gelap” meledak setelah pemerintah mengumumkan pemotongan anggaran kementerian secara besar-besaran demi membiayai program Makan Bergizi Gratis (MBG). Sekilas, program ini terdengar sangat mulia: memberi makan siang untuk anak-anak sekolah.

Tapi siapa sangka, demi menyukseskan program ini, anggaran pendidikan, riset, bahkan tunjangan dosen harus dikorbankan. Sektor pendidikan tinggi dipangkas sampai 25%. Banyak kampus mulai menjerit. Beasiswa ditunda, penelitian terbengkalai, dosen tak kunjung menerima insentif.

Yang lebih menyakitkan lagi, ini terjadi tanpa dialog yang layak. Pemerintah melangkah cepat, seolah lupa bahwa anak muda yang hari ini menuntut ilmu adalah yang kelak akan menggantikan mereka. Seorang mahasiswa menyindir lewat media sosial, “Terima kasih Pak, makan kami gratis, tapi kami tak lagi tahu akan jadi apa sepuluh tahun lagi.” Sederhana, tapi menyentuh. Rasanya seperti diberi nasi, tapi dirampas masa depan.

Demonstrasi pun meledak. Bukan hanya mahasiswa. Dosen, buruh, dan masyarakat sipil ikut turun ke jalan. Mereka memakai baju hitam warna duka. Mereka membawa lilin simbol cahaya kecil di tengah gelapnya situasi. Di Jakarta, ribuan orang berkumpul di sekitar Istana Negara. Di kota-kota lain, aksi serupa terjadi hampir serentak. Gerakan ini menyebar cepat, bukan karena dibayar, tapi karena banyak yang merasa: “saya juga kecewa.”

Tuntutan mereka tidak rumit. Cabut Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 yang menyebabkan pemangkasan anggaran pendidikan dan kesehatan. Evaluasi ulang program makan gratis. Cairkan hak dosen dan guru. Tolak dwifungsi militer. Selesaikan undang-undang penting yang selama ini mangkrak, seperti RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan RUU Masyarakat Adat. Tidak muluk-muluk. Mereka hanya ingin negara hadir dengan cara yang lebih adil.

Yang menarik, gerakan ini tidak hanya emosional, tapi juga kreatif. Orasi diselipi puisi. Ada yang membacakan surat untuk masa depan. Ada yang menari dengan jas almamater. Bahkan ada kelompok yang menyanyikan lagu “Internasionale” sambil memegang bunga. Aksi ini bukan sekadar marah-marah, tapi refleksi dalam bentuk paling indah. Ini menunjukkan: generasi muda tidak kehilangan cara untuk menyampaikan isi hati mereka, meskipun tak selalu didengar.

Pemerintah sendiri sempat merespons. Menteri Sekretaris Negara menemui massa dan berjanji akan mendengar aspirasi mereka. Tapi hingga hari ini, belum ada tanda-tanda nyata bahwa kebijakan akan direvisi. Janji masih tinggal janji. Sementara kampus-kampus terus bergelut dengan kekurangan, dan mahasiswa terus bertanya: apakah negara benar-benar berpihak?

Data BPS menunjukkan, tingkat pengangguran muda (usia 15–24 tahun) kini mencapai 17,3%. Itu berarti, dari setiap 100 anak muda, 17 di antaranya tidak punya pekerjaan. Ironisnya, ini terjadi di tengah pemangkasan dana pendidikan. Padahal jelas: investasi terbaik untuk mengurangi pengangguran adalah lewat pendidikan dan pelatihan yang layak. Tapi mengapa negara malah memotong akar dari pohon masa depannya sendiri?

Belum lagi persoalan demokrasi. Isu revisi undang-undang yang memungkinkan kembalinya peran militer dalam pemerintahan sipil membuat banyak pihak waspada. Apakah kita akan kembali ke masa di mana suara rakyat dibungkam dan kebebasan hanya jadi pajangan? Kekhawatiran ini wajar, dan makin memperkuat alasan mengapa gerakan ini terus hidup.

“Indonesia Gelap” bukan hanya judul. Ia adalah cermin. Ia memperlihatkan kepada kita betapa jauhnya jarak antara kebijakan yang dibuat di atas dan kenyataan yang dirasakan di bawah. Gerakan ini hadir bukan untuk melawan pemerintah, tetapi untuk mengingatkan: jangan terlalu sibuk memberi makan, sampai lupa memberi harapan. Sebab perut yang kenyang tidak akan cukup, jika hati rakyat tetap lapar akan keadilan.

Kita semua tahu, tak ada negara yang sempurna. Tapi ketika rakyat mulai turun ke jalan, bukan karena benci, tapi karena peduli itulah saatnya pemerintah benar-benar harus mendengar. Sebab yang mereka bawa bukan batu atau senjata, melainkan spanduk, lilin, dan suara yang tak mau padam. []

*Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu komunikasi UIN Imam Bonjol Padang

Exit mobile version