Banner Bupati Siak
Kolom  

SPMB, Domisili dan Janji Sekolah Gratis yang Masih Jauh dari Kenyataan

Oleh: Boy Surya Hamta*

Setiap tahun ajaran baru, kisah pilu orang tua yang berjuang mendaftarkan anaknya ke sekolah negeri terus berulang.

Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) dengan skema domisili yang awalnya dirancang untuk pemerataan akses pendidikan, kini justru menjadi batu sandungan baru bagi banyak keluarga, terutama mereka yang berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah.

Banyak diantara orang tua murid yang harus pontang panting berfikir dan berusaha bagaimana agar anaknya bisa sekolah. Sebab, bila terlempar dari perengkingan saat mendaftar, tentu sekolah swasta yang akan menjadi pilihan akhir. Dan bicara swasta, tentu bicara uang yang tak sedikit. Ada gumaman para orang tua sekarang, mencari sekolah sama sulitnya dengan melamar pekerjaan di negeri ini.

Domisili: Antara Pemerataan dan Diskriminasi Terselubung
Prinsip domisili seharusnya menjadi solusi atas ketimpangan kualitas pendidikan. Namun kondisi hari ini, dalam praktiknya justru melahirkan ketidakadilan baru.

Anak-anak dari keluarga kurang mampu yang rumahnya berada di luar radius sekolah favorit, praktis kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan layak.

Banyak orang tua terpaksa harus memindahkan domisili secara fiktif, menumpang alamat kerabat, bahkan menyewa kamar indekos hanya demi masuk ke sekolah negeri. Hal ini tidak hanya melelahkan secara mental, tapi juga membebani secara finansial.

Biaya Besar Sekolah Swasta
Ketika gagal masuk sekolah negeri, pilihan yang tersisa hanyalah sekolah swasta. Di sinilah persoalan berikutnya muncul, yakni biaya yang besar.

Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan terbarunya sebenarnya telah menegaskan, bahwa negara wajib menjamin pendidikan gratis tidak hanya di sekolah negeri, tetapi juga di sekolah swasta.

Ini merujuk pada amanah konstitusi yang menyebut, pendidikan dasar adalah hak setiap warga negara tanpa diskriminasi.

Namun, pertanyaan besar muncul: bagaimana nomenklatur dan regulasi teknisnya?

Bagaimana mungkin sekolah swasta yang selama ini mengandalkan biaya operasional dari SPP dan iuran orang tua, tiba-tiba diminta memberikan pendidikan gratis tanpa ada skema subsidi yang jelas dari pemerintah?

Tanpa ada penjelasan teknis dan payung hukum yang memadai, putusan MK ini bisa saja hanya menjadi dokumen normatif tanpa realisasi di lapangan.

Solusi Konkret Bagi Pemerintah
Untuk mengurai benang kusut ini, pemerintah harus mengambil langkah nyata dan terstruktur:

1. Revisi dan Evaluasi Sistem Domisili
Pemerintah harus melakukan evaluasi mendalam terhadap implementasi sistem domisili. Domisili tetap bisa dipertahankan untuk pemerataan, namun dengan menambahkan jalur afirmasi yang lebih kuat untuk siswa dari keluarga tidak mampu serta jalur prestasi yang adil.

2. Subsidi Operasional untuk Sekolah Swasta
Jika negara ingin memastikan pendidikan gratis di sekolah swasta, wajib ada skema Dana Bantuan Operasional Sekolah Swasta (BOSS) yang proporsional. Pemerintah pusat dan daerah harus mengalokasikan dana sesuai jumlah siswa miskin yang terdaftar di sekolah swasta.

3. Transparansi dan Akuntabilitas
Pemerintah perlu memperjelas nomenklatur hukum dan teknis, terkait mekanisme pembiayaan sekolah swasta gratis. Harus ada pengawasan agar subsidi yang diberikan tepat sasaran dan tidak disalahgunakan.

4. Peningkatan Kapasitas Sekolah Negeri
Solusi jangka panjangnya adalah memperbanyak unit sekolah baru negeri di wilayah-wilayah padat penduduk. Dengan begitu, daya tampung siswa bisa bertambah, sehingga tekanan akibat sistem domisili bisa berkurang.

5. Pendidikan Berbasis Keadilan Sosial
Pemerintah harus kembali ke ruh dasar pendidikan nasional: menjamin akses pendidikan yang adil dan merata bagi semua anak bangsa, tanpa terkecuali, tanpa diskriminasi status sosial dan ekonomi.

Penutup
Setiap anak Indonesia berhak atas pendidikan berkualitas tanpa beban finansial yang mencekik. Sudah saatnya negara hadir secara nyata, bukan sekadar keputusan yudikatif, tetapi melalui kebijakan anggaran dan tindakan eksekutif konkret.

Masyarakat sudah cukup lelah dengan drama tahunan SPMB. Yang dibutuhkan kini adalah solusi nyata dan keberpihakan yang jelas: berpihak kepada hak anak untuk belajar dan tumbuh, tanpa hambatan sosial dan ekonomi. (*)

* Penulis adalah Jurnalis FokusRiau.Com dan dan Sekretaris DPD Pro Jurnalismedia Siber (PJS) Riau

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *