Banner Bupati Siak

Mobil Listrik vs Mobil Bahan Bakar Fosil: Siapa yang Lebih Ramah Lingkungan?

Ketika dunia berpacu mengurangi emisi karbon demi menahan laju perubahan iklim, mobil listrik (electric vehicle/EV) menjadi simbol transisi menuju masa depan yang lebih hijau. Pemerintah di berbagai negara, termasuk Indonesia, memberikan insentif besar-besaran untuk mempercepat adopsi kendaraan listrik.

Namun, benarkah mobil listrik selalu lebih ramah lingkungan dibanding mobil berbahan bakar fosil?
Jawabannya tidak sesederhana yang terlihat. Keduanya memiliki jejak lingkungan masing-masing, dan pemahaman yang utuh perlu memperhitungkan seluruh siklus hidup kendaraan, dari hulu hingga hilir.
Emisi Selama Masa Pakai

Dari sisi emisi gas rumah kaca saat penggunaan, mobil listrik jelas unggul. Mobil konvensional yang menggunakan bensin atau solar melepaskan karbon dioksida (CO₂) secara langsung dari knalpotnya. Setiap liter bensin yang dibakar menghasilkan sekitar 2,3 kilogram CO₂. Sebaliknya, mobil listrik tidak menghasilkan emisi langsung saat digunakan.

Namun, perlu dicatat bahwa mobil listrik tetap tergantung pada sumber energi pembangkit listrik. Di negara-negara yang masih bergantung pada batubara seperti Indonesia, mobil listrik sebenarnya “mengimpor” emisi dari sektor kelistrikan.

Namun, studi oleh International Council on Clean Transportation (2021) menunjukkan bahwa bahkan di negara dengan pembangkit berbasis batubara, mobil listrik tetap menghasilkan emisi total yang lebih rendah dibanding mobil bensin, karena efisiensi motor listrik yang jauh lebih tinggi dibanding mesin pembakaran internal.

Jejak Lingkungan Produksi
Namun, tantangan terbesar mobil listrik justru muncul sebelum mobil tersebut digunakan—yakni saat proses produksi, terutama produksi baterai. Baterai lithium-ion yang menjadi jantung kendaraan listrik membutuhkan logam seperti lithium, kobalt, dan nikel.

Proses penambangannya menimbulkan kerusakan ekologi yang serius: deforestasi, pencemaran air, dan konflik sosial di wilayah-wilayah pertambangan seperti Kongo, Australia, dan Indonesia.

Sebagai contoh, penambangan nikel di Indonesia, terutama di Pulau Sulawesi dan Papua, telah menimbulkan deforestasi dan merusak habitat pesisir. Selain itu, tailing atau limbah tambang sering dibuang ke laut, mengancam biota laut dan kehidupan nelayan lokal. Ini menimbulkan pertanyaan etis: apakah mobil “hijau” benar-benar ramah lingkungan jika bahan bakunya merusak lingkungan dan kehidupan sosial masyarakat lokal?

Di sisi lain, produksi mobil berbahan bakar fosil juga memiliki jejak karbon dan lingkungan yang besar, dari ekstraksi minyak mentah hingga proses penyulingan. Namun, karena proses ini telah berlangsung puluhan tahun, dampaknya lebih tersebar dan tersembunyi dalam sistem energi global yang kompleks.
Daur Ulang dan Akhir Masa Pakai

Daur ulang baterai mobil listrik saat ini masih menjadi tantangan besar. Meski teknologi daur ulang mulai berkembang, secara ekonomi proses ini masih mahal dan belum efisien. Baterai bekas yang tidak dikelola dengan benar bisa mencemari tanah dan air akibat kandungan logam berat dan bahan kimia di dalamnya.

Sementara itu, mobil berbahan bakar fosil juga memiliki limbah akhir yang perlu dikelola, tetapi komponen-komponen seperti logam, ban, dan kaca lebih mudah didaur ulang dengan teknologi yang sudah matang.

Keadilan Iklim dan SDGs 13
SDGs 13 menekankan pentingnya aksi nyata untuk menangani perubahan iklim dan dampaknya. Dalam konteks ini, kendaraan listrik memang dapat berkontribusi dalam menurunkan emisi, tetapi hanya jika seluruh rantai pasoknya dari tambang hingga daur ulang berjalan secara berkelanjutan dan adil.

Kita harus memastikan bahwa transisi energi ini tidak menciptakan “zona pengorbanan” di negara berkembang hanya demi memenuhi ambisi hijau negara maju. Tanpa pengawasan dan tata kelola yang adil, transisi ini akan bertentangan dengan prinsip keadilan iklim yang menjadi jiwa dari SDGs.
Hijau yang Harus Diperjuangkan

Perbandingan ini menunjukkan bahwa mobil listrik memang menawarkan solusi lebih bersih dibanding kendaraan fosil dalam jangka panjang, terutama jika energi listriknya berasal dari sumber terbarukan. Namun, kita tidak bisa menutup mata terhadap kerusakan lingkungan dan sosial yang muncul di awal rantai pasoknya.

Solusinya bukan kembali ke mobil berbahan bakar minyak, tetapi memperbaiki seluruh ekosistem kendaraan listrik: dari reformasi industri tambang, peningkatan efisiensi produksi, hingga penggunaan energi bersih. Mobil listrik adalah bagian dari solusi, tapi bukan jawaban tunggal.

Jika tidak hati-hati, mobil listrik hanya akan menjadi greenwashing skala global—menutupi kerusakan nyata di balik slogan ramah lingkungan. Maka, kita perlu memastikan bahwa peralihan ke mobil listrik adalah transisi yang adil, hijau, dan berkelanjutan bagi semua.

*Penulis Dr. Nofi Yendri Sudiar, M.Si. Koordinator Penanganan Perubahan Iklim SDGs sekaligus Kepala Research Center for Climate Change (RCCC) Universitas Negeri Padang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *