Banner Bupati Siak

Langit di Atas Gaza

Cerpen : Aulia Fadhila Hendra*

LANGIT Gaza senja itu berwarna merah keemasan, seolah ikut menangisi luka yang tak pernah kering. Hamzah duduk di atas reruntuhan rumahnya yang kini tinggal puing-puing tak berbentuk.

Tangannya menggenggam buku catatan yang robek di beberapa halaman. Buku itu dulu penuh dengan impian dan harapan, tetapi kini hanya berisi catatan luka dan kehilangan. Angin berhembus membawa debu dan bau mesiu yang sudah terlalu akrab di hidungnya.

Hari ini, ulang tahun Maryam. Adik kesayangannya. Seharusnya saat ini Maryam berlari-lari kecil di halaman rumah, tertawa riang sambil mengejar kupu-kupu yang hinggap di bunga-bunga liar.

Seharusnya ia bisa mendengar suara adiknya yang menyambutnya pulang dengan pelukan hangat. Namun, semuanya kini hanya tinggal kenangan. Maryam, adik kesayangannya sudah tiada.

Satu bulan yang lalu, bom itu datang tanpa aba-aba. Langit siang berubah menjadi gelap gulita, debu tebal menelan rumah-rumah, dan ledakan membuyarkan suara kehidupan. Hamzah masih ingat bagaimana ia berlari, mencari Maryam di antara reruntuhan. Ia menemukannya, tapi bukan dalam keadaan yang ia harapkan.

Tubuh kecil Maryam terhimpit di bawah beton, napasnya tinggal satu-satu, darah merembes dari kepalanya. Ia menggenggam tangan Hamzah dengan lemah, bibirnya bergetar, dan ingin mengatakan sesuatu. Namun, sebelum sempat berbicara, genggaman itu melemah, matanya tertutup, dan Hamzah tahu, adiknya telah pergi.

Sejak saat itu, hidup terasa hampa. Tak ada lagi tawa Maryam yang menyambutnya. Tak ada lagi
tangannya yang menarik-narik lengan Hamzah, meminta dibuatkan mainan dari kertas bekas. Tak ada lagi pelukan hangat di malam hari saat gemuruh pesawat tempur memenuhi langit Gaza.

“Hamzah…”

Suara itu menyadarkan Hamzah dari lamunannya. Umar datang menghampirinya, membawa
sekeping roti dan dua butir kurma. Matanya menyiratkan kesedihan yang sama. Ia tahu bagaimana rasanya kehilangan orang tersayang.

“Makanlah, kau sudah terlalu kurus,” kata Umar, suaranya lirih. “Jika kau tidak makan, kau akan jatuh sakit, Hamzah.”

Hamzah menatap makanan itu dengan pandangan kosong. Di rumahnya dulu, sebelum dunia runtuh, ibunya akan memasak sup hangat setiap malam. Maryam selalu duduk di sebelahnya, merebut potongan daging yang paling besar sambil tertawa kecil. Tapi sekarang, rumah itu hanya tinggal kenangan, dan ibunya pun telah menjadi bayangan yang perlahan memudar dalam ingatannya.

“Apa gunanya aku makan, Umar?” suara Hamzah bergetar. “Aku bahkan tidak bisa melindungi Maryam, rasanya aku ingin mati saja agar bisa bertemu ibu dan juga adikku.”

Umar menghela napas, lalu duduk di sampingnya. “Kita tidak bisa memilih di mana kita dilahirkan, Hamzah. Kita juga tidak tahu kapan ajal akan menjemput, tetapi kita bisa memilih untuk tetap bertahan.”

Hamzah menatap langit yang mulai menggelap. Kata-kata Umar benar, tapi hatinya masih terlalu penuh dengan duka. Ia meraih buku catatannya dan mulai menulis sesuatu dengan tangan gemetar.

“Untuk dunia yang tak pernah peduli, Aku Hamzah, anak Gaza, yang seharusnya hanya tahu tentang sekolah dan impian. Tapi yang aku kenal hanyalah bunyi ledakan, tangisan, dan kehilangan. Hari ini, aku kehilangan Maryam. Besok, mungkin aku. Lalu siapa lagi? Apakah ada yang peduli?”

Setelah selesai menulis, Hamzah menutup bukunya dan menatap langit. Dulu, ibunya selalu berkata bahwa bintang adalah tanda bahwa Tuhan masih menjaga mereka. Namun, malam ini, langit terasa kosong. Bintang-bintang seperti enggan menampakkan diri.

Malam semakin larut, udara semakin dingin. Hamzah memeluk lututnya, mencoba menghangatkan tubuh yang semakin kurus. Ia ingin menangis, tetapi air matanya telah habis. Ia ingin berteriak, tetapi suaranya telah lelah. Yang tersisa hanyalah luka yang terus menganga, dan doa yang ia bisikkan dalam hati memohon keajaiban di tengah kehancuran. Namun, di Gaza, keajaiban adalah sesuatu yang semakin langka.

Malam itu, Hamzah terlelap dalam mimpi yang terasa begitu nyata. Ia melihat Maryam berlari ke arahnya, mengenakan gaun putih yang selalu ia sukai. Wajahnya berseri-seri, seperti dulu sebelum semuanya berubah.

“Kakak, lihat! Aku menemukan kupu-kupu!” Maryam menunjukkan seekor kupu-kupu kecil yang hinggap di telapak tangannya. “Kata Ibu, kalau kita mengikuti kupu-kupu, kita akan sampai ke tempat yang indah.”

Hamzah ingin menggapai tangan Maryam, ingin memeluknya erat, ingin mengatakan bahwa ia sangat merindukan adik kesayangannya. Tetapi ketika ia melangkah mendekat, tubuh Maryam perlahan memudar, menjadi butiran cahaya yang terbawa angin.

“Jangan pergi, Maryam…” lirih suara Hamzah, suaranya hampir tak terdengar.
Maryam tersenyum lembut. “Aku tidak benar-benar pergi, Kak. Aku dan Ibu selalu ada di sini, di hati Kakak.”

Hamzah terbangun dengan air mata membasahi pipinya. Jantungnya berdegup kencang. Ia menatap langit yang masih gelap, tetapi di sudut sana, samar-samar, ada satu bintang yang bersinar.

Untuk pertama kalinya dalam satu bulan terakhir, ia merasakan sesuatu yang berbeda. Mungkin bukan harapan, tetapi setidaknya, ada kehangatan yang perlahan mengisi hatinya.

Hamzah bersujud dengan air mata yang mengalir di pipinya. “Terima kasih, Ya Allah. Setidaknya aku masih bisa melihat wajah Maryam dan ibu, meskipun hanya dalam mimpi,” bisiknya penuh haru.

Di dalam sujudnya, Hamzah berdoa dengan sepenuh hati, memohon agar adiknya, Maryam, dan ibunya ditempatkan di surga, di tempat terbaik yang telah Allah sediakan bagi hamba-hamba-Nya yang mulia.

Ia tidak ingin melupakan Maryam, tidak akan pernah. Tetapi mungkin, hanya mungkin, ia bisa mulai belajar untuk hidup dengan kenangan itu.

Pagi itu, suara gemuruh kembali terdengar di kejauhan. Hamzah tahu, Gaza belum menemukan damainya. Tetapi kali ini, ia tidak hanya akan duduk diam di atas reruntuhan. Ia akan bertahan.

Bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk Maryam, untuk keluarganya yang telah pergi, untuk semua anak-anak Gaza yang masih hidup dalam ketakutan.

Tiba-tiba, suara ledakan lain mengguncang tanah di bawahnya. Debu beterbangan, dan dinding rumah yang tersisa bergetar. Jantung Hamzah berdegup kencang. Tangannya mulai gemetar, napasnya memburu. Ia pernah merasakan ketakutan ini sebelumnya, saat pertama kali ia kehilangan ayah dan ibunya, saat rumahnya runtuh, saat ia harus lari menyelamatkan diri di tengah malam yang dipenuhi jeritan dan tangisan.

Kini, ketakutan itu kembali menghantuinya. Tetapi ia tahu, ia tidak bisa membiarkan dirinya lumpuh karena rasa takut. Dengan tangan yang masih bergetar, ia meraih buku catatannya dan menuliskan sesuatu yang baru.

“Aku Hamzah, anak Gaza. Aku telah kehilangan banyak hal. Tetapi aku masih di sini. Dan aku akan terus bertahan demi Maryam dan ibuku.”

Hamzah menutup bukunya, lalu menguatkan dirinya untuk berdiri. Dari kejauhan, ia melihat langit yang kembali menghitam oleh asap. Suara tembakan dan ledakan semakin mendekat.

Peperangan akan segera kembali menghancurkan Gaza. Namun, ia menolak untuk menyerah. Ia tahu, suatu hari nanti, langit Gaza tidak akan lagi berwarna merah karena ledakan. Suatu hari nanti, anak-anak Gaza akan bisa berlari bebas tanpa takut kehilangan keluarga mereka.

Mungkin hari itu belum datang.
Tetapi sampai hari itu tiba, ia akan terus bertahan. []

*Tentang Penulis:
Namanya Aulia Fadhila Hendra, biasa dipanggil Dhila. Lahir di Surabaya, 16 Maret 2005. Penulis adalah mahasiswa Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas. Sebagai anak pertama dari empat bersaudara, Dhila mengangkat cerita ini karena dia sangat sayang kepada adik-adiknya.

Dhilla tidak bisa membayangkan betapa sakitnya kehilangan mereka, dan dia tahu banyak anak-anak di luar sana, terutama di daerah konflik, yang harus merasakan duka itu setiap hari. Cerita ini dia tulis sebagai ungkapan perasaan dan harapan, agar dunia bisa lebih peduli kepada mereka yang hidup di tengah penderitaan dan konflik. Dhila percaya bahwa melalui tulisan, kita dapat menyuarakan keprihatinan dan membuka mata hati banyak orang tentang pentingnya perdamaian dan kasih sayang.

Cerpen “Langit di Atas Gaza” ini keluar sebagai juara ketiga lomba cerpen tingkat Nasional yang dilaksanakan Forum Dosen Unand Peduli Palestina 2025.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *