Putusan Mahkamah Konstitusi “Deadlock Constitution”

Oleh : Alirman Sori*

Kamis, 26 Juni 2025, pukul 14.42 Wib, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK RI), yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh Yayasan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), yang diwakili oleh Khoirunnisa Nur Agustyati, Jabatan : Ketua Pengurus Yayasan Perludem, dan Irmalidarti, Jabatan : Bendahara Pengurus Yayasan Perludem.

Pasca putusan MK, publik tersentak dan kaget tentang adanya pemisahan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah/Lokal.

Pada intinya putusan MK tersebut memerintahkan adanya pemisahan antara pemilu nasional dan pemilu daerah adalah “deadlock constitution”.

Pemilu nasional meliputi pemilihan anggota DPR, DPD serta Presiden dan Wakil Presiden, dipisahkan dari pemilu daerah atau lokal, untuk pemilihan anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota, serta Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Wali Kota/Wakil Wali Kota.

Putusan MK yang menetapkan adanya jeda waktu pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu daerah, minimal 2 (dua) tahun dan maksimal 2 (dua) tahun 6 (enam), telah melanggar konstitusi, karena terjadi penambahan masa jabatan keanggotaan DPRD dari 5 tahun menjadi 7,5 tahun, tanpa Pemilu, sedangkan ketentuan masa jabatan keanggotaan DPRD mengikuti siklus Pemilu 5 tahunan.

Akibat keputusan MK ini, akan menimbulkan kekacauan dan kegaduhan demokrasi yang inkonstitusional dan merusak siklus pemilu lima tahunan.

Keputusan MK, nomor 135, juga telah memicu reaksi keras oleh publik dan sejumlah anggota parlemen, karena MK sudah melampaui batas kewenangan membuat norma baru yang berimplikasi timbulnya konflik demokrasi negara hukum.

Problem mendasar, bahwa amanat konstitusi dalam UUD NRI 1945, pasal 22E, ayat (1), Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.

“Problematik konstitusinya adalah dilaksanakan melanggar konstitusi, tidak dilaksanakan juga melanggar konstitusi, dan ibarat makan buah simalakama, dimakan ayah mati, tidak makan ibu yang mati”.

Bila dianalisa secara konstitusional, putusan MK, juga menimbulkan persoalan konstitusional yang memerlukan adanya jalan keluar yang juga harus kontitusional.

Mengutip cuplikan konstitusi UUD NRI 1945, Pasal 24C (1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

“Kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi yang berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, tidak ada ruang tafisr dan ruang gerak untuk melakukan upaya hukum, karena mengadili pada tingkat pertama dan terakhir bersifat final.

Kebuntuhan jalan akibat putusan MK, dengan pemisahan pemilu nasional dan pemilu lokal harus diatasi melalui terobosan penemuan hukum baru, karena jeda waktu pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu lokal, 2 tahun hingga 2,5 tahun, tidak diatur dalam konstitusi dan undang-undang Pemilu dan juga tidak ada diatur dalam undang-undang Pilkada.

Solusi yang mungkin ditempuh adalah constitutional engineering (rekayasa konstitusi) atau melakukan perubahan UUD 1945 secara terbatas terkait pelaksanaan Pemilu dan Pilkada.

Pemerhati Demokrasi*

Exit mobile version