Penggunaan Media Sosial Merenggut Identitas Diri Remaja

Oleh : Leni Asriyah br Daulay*

Keseharian zaman sekarang sangat berbeda dibandingkan masa lalu. Perubahan ini terjadi karena perkembangan zaman yang terus melaju, terutama pada era digital saat ini. Perkembangan teknologi digital telah menggeser banyak kebiasaan dalam masyarakat, termasuk penggunaan handphone yang kini menjadi bagian dari rutinitas sehari-hari.

Teknologi memang membawa kemudahan dalam berbagai aspek kehidupan manusia, seperti mencari, mendapatkan, dan mengirim informasi. Salah satu wujudnya adalah media sosial sebuah platform yang memudahkan kita mengakses berbagai informasi dan mengeksplorasi banyak hal.

Media sosial bukan hanya alat untuk mendapatkan informasi, tapi juga menjadi ruang untuk terhubung dengan dunia luar, termasuk dengan teman dari berbagai belahan dunia. Platform seperti Facebook, Instagram, Twitter, YouTube, dan TikTok terus menghadirkan arus konten yang segar setiap harinya, sehingga membuat penggunanya terdorong untuk terus membuka dan menelusuri. Hal inilah yang secara perlahan mulai mengalihkan perhatian kita dari realitas sekitar.

Memang benar bahwa media sosial membuka banyak peluang ia membangun kreativitas, memperluas jejaring, dan memberi ruang untuk menyuarakan pendapat secara bebas. Namun, di sisi lain, penggunaan media sosial juga membawa dampak negatif, khususnya bagi perkembangan spiritual dan kesehatan mental remaja.

Salah satu dampak yang mulai tampak adalah kecenderungan remaja mengalami krisis kepercayaan diri. Mereka kerap membandingkan kehidupannya dengan gambaran-gambaran kesempurnaan yang ditampilkan di media sosial: standar fisik, prestasi akademik, serta gaya hidup yang serba mewah. Semua ini mendorong remaja untuk merasa perlu memenuhi standar tersebut.

Menurut Saimun (2022:4068), perkembangan teknologi membawa perubahan dalam kehidupan remaja—baik dalam lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Namun, kemudahan yang ditawarkan juga menimbulkan efek samping, terutama bagi remaja yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama, dengan munculnya krisis identitas.

Padillah (2020:121) menyatakan bahwa masa remaja, yaitu usia 12 hingga 21 tahun, merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa. Dalam konteks generasi milenial, masa ini menjadi semakin kompleks karena mereka harus berhadapan langsung dengan kemajuan teknologi yang begitu pesat.

Masa remaja seharusnya menjadi masa emas untuk mencoba dan belajar banyak hal. Namun, realita saat ini menunjukkan bahwa Indonesia sedang bersiap menghadapi bonus demografi, yang ironisnya juga diiringi dengan meningkatnya krisis identitas pada remaja akibat penggunaan gadget dan media sosial.

Semakin banyak remaja yang aktif bermedia sosial dan lama-kelamaan hal itu membentuk persepsi bahwa dunia tidak seindah apa yang tampak di media sosial. Aktivitas sehari-hari mereka diunggah ke media sosial, yang secara tidak langsung turut menentukan dan membentuk identitas diri. Ini berdampak pada menurunnya rasa percaya diri dan mempengaruhi pembentukan konsep diri.

Akibatnya, individu lebih banyak menghabiskan waktu untuk menyalahkan diri, serta membandingkan dirinya dengan orang lain. Krisis kepercayaan diri ini juga memengaruhi cara individu berinteraksi dan membangun komunikasi. Tidak hanya berdampak secara psikologis, seperti munculnya rasa tidak aman, rendah diri, dan kecemasan, krisis identitas juga dapat memengaruhi perilaku sosial dan prestasi akademik.

Remaja yang gagal menemukan jati dirinya cenderung mengalami penurunan motivasi, menarik diri dari lingkungan sosial, bahkan menerima label negatif yang diberikan oleh lingkungan sekitar. Kurangnya dukungan dari keluarga juga bisa memperparah kondisi ini, sehingga remaja semakin bingung dalam menentukan arah masa depan dan tujuan hidupnya.

Padahal, pendidikan kewarganegaraan seharusnya berperan penting dalam membentuk jati diri
dan kesadaran sosial remaja, namun hal ini sering kali terabaikan.

Sulidar Fitri (2017) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa media sosial memiliki dua sisi: positif dan negatif. Di satu sisi, anak-anak lebih mudah mengakses materi pembelajaran; di sisi lain, banyak anak menjadi antisosial dalam kehidupan nyata.

Primada Qurrotun Ayun (2015) juga menemukan bahwa remaja menunjukkan berbagai identitas di media sosial. Mereka cenderung terbuka dalam menunjukkan jati diri melalui unggahan aktivitas dan curahan perasaan pribadi.

Dilansir dari kumparan.com, studi Lembaga Penelitian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2022 menunjukkan bahwa sekitar 60% remaja Indonesia merasa bingung dengan identitas diri mereka. Kebiasaan membandingkan diri dengan standar di media sosial menciptakan tekanan psikologis, seperti rendah diri, kecemasan, dan bahkan depresi. Fenomena Fear of Missing Out (FOMO) memperparah kondisi ini, karena remaja merasa harus selalu mengikuti tren agar tidak dianggap ketinggalan.

Media sosial juga mendorong perilaku konformitas yang tinggi. Remaja cenderung menyesuaikan diri dengan kelompok atau tren tertentu untuk mendapatkan pengakuan dan diterima di lingkungannya.

Akibatnya, keaslian identitas pun tergerus remaja lebih fokus pada citra yang ingin mereka tampilkan, bukan pada siapa mereka sebenarnya. Inilah yang menyebabkan fragmentasi identitas: individu memakai berbagai “topeng” yang berbeda-beda, tergantung konteks sosial tempat mereka berada.

Perlu kita sadari bersama bahwa apa yang tampil di media sosial tidak selalu mencerminkan realitas yang sebenarnya. Meskipun penggunaan gadget dan media sosial tidak sepenuhnya negatif, kita harus mampu memanfaatkannya secara bijak.

Media sosial seharusnya dapat membentuk identitas yang lebih positif tempat untuk menyalurkan kreativitas, berdiskusi, dan membangun jejaring sosial yang sehat. Maka dari itu, mari gunakan media sosial sebagai alat yang memperkaya, bukan merenggut jati diri di tengah budaya yang terus berubah.[]

Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Imam Bonjol Padang*

Exit mobile version