PADANG, FOKUSSUMBAR.COM – Ketua DPP Ikatan Sarjana Olahraga Indoneia (ISORI), Prof Dr Syahrial Bakhtiar, M.Pd menyampaikan pesan terbuka bernada satir kepada pemerintah, secara spesifik kepada pemangku kebijakan olahraga.
“Terima kasih telah membuat Indonesia populer di sepakbola karena naturalisasi dan mengabaikan pembinaan usia dini!” katanya mengingatkan.
Pakar Olahraga bidang Identifikasi Bakat ini memberikan contoh. Program naturalisasi di sepakbola, awalnya ditujukan untuk jangka pendek, mendukung keinginan menembus Piala Dunia 2026. Langkah tersebut masih memiliki harapan. Indonesia menembus babak ke empat Kualifikasi Piala Dunia.
Mantan Ketua Umum KONI Sumatera Barat dua periode dan berhasil memperbaiki performa olahraga Sumbar itu, melihat bahwa sejauh ini program naturalisasi masih terus berlangsung besar-besaran. Tak hanya di senior, tetapi juga semua Kelompok Umur (KU), termasuk di Timnas Sepakbola Putri.
“Saya takut, kita mulai melupakan akar olahraga yang dibangun dari bawah, atau anak-anak di negeri ini tidak lagi memiliki harapan untuk bermain di Timnas karena naturalisasi berjalan terus menerus,” katanya.
Syahrial menyebutkan, naturalisasi hanya program jangka pendek, tapi proses naturalisasi berjalan terus. “Proses dari bawah juga tidak diurus secara baik,” katanya.
Dia tak menampik bahwa naturalisasi adalah hal yang sah dan lumrah. Secara hukum, halal. Jika dilakukan terus menerus, akan menghancurkan impian anak bangsa dan orang tua yang sudah bersitungkin membangun harapan berjuang membela Merah Putih.
Pria hobi olahraga tenis lapangan itu membeberkan dua hal penting. Pertama, pemerintah belum benar-benar hadir dalam bangun olahraga, malahan antarlembaga pemerintahan ada kebijakan yang bertolak belakang soal pembangunan olahraga. Kedua, pemerintah mengabaikan pembinaan usia dini.
Konsultan olahraga di Kaltim dan kemudian konsultan kontingen PON Kepri, pada PON di Aceh-Sumut, tahun 2024, menyebutkan fakta dari penelitian panjangnya; capaian prestasi atlet yang menembus level tertentu, misalnya hingga tingkat kabupaten, provinsi hingga nasional, mayoritis tanpa campur tangan pemerintah sama sekali.
“Capaian tersebut karena kemauan anak dan kerja keras orang tua, malahan tak jarang mereka terbentur karena dua kepentingan kebijakan berbeda,” kata pria murah senyum itu.
Sekolah Kurang Mendukung
Ia membeberkan, anak dan orang tua tidak menunggu apakah pemerintah berpihak kepada mereka atau tidak. Mereka berjalan sesuai kemampuannya, tapi kemudian terbentur pada pendidikan. Sejauh ini, sekolah juga belum berpihak kepada atlet. Tak sedikit pelajar yang atlet terbentur di pendidikannya.
Akan tetapi, lanjutnya, ketika dunia pendidikan menggelar ivent atau kejuaraan antarpelajar, barulah sekolah mengumpulkan pelajar yang atlet. Di luar itu, mereka diabaikan.
“Coba perhatikan, apakah ada sekolah yang benar-benar memberikan perhatian pada Cabor tertentu? Kalau pun ada Ekskul olahraga di sekolah, apakah mereka tidak disuruh berpandai-pandai saja?” tanyanya menantang.
Perihal pemerintah mengabaikan pembinaan usia dini, hal ini dapat dilihat dari keberpihakan pemerintah secara serius. “Sejauh ini, belum terlihat secara nyata!” ukasnya.
Padahal, pembentukan seseorang untuk menjadi atlet hebat, seharusnya dilakukan secara bertahap. Ia kemudian mengungkapkan fakta yang dilakukan Jepang.
“Capaian Jepang hari ini tidak terjadi begitu saja, tetapi sudah dipersiapkan sejauh hari sebelumnya,” kata
Dikutip dari akun youtube Firdaus Abie,
Ia menyebutkan, dimasa lalu, misalnya saat era galatama dan adanya turnamen Piala Marah Halim, tim asal Jepang selalu bisa dikalahkan klub-klub Indonesia.
Jepang juga pernah mempelajari kompetisi galatama, kemudian memperbaiki Liga Jepang-nya. Berlahan dan pasti, sejak itu, sepakbola dan olahraga Jepang jauh di atas Indonesia.
Syahrial menyebutkan, mempersiapkan prestasi dunia, tidak bisa simsalabim. Harus melalui perencanaan jangka panjang. Sejatinya dimulai dari anak-anak sejak usia tiga hingga enam tahun. Ajarkan semua cabang dan permainan kepada mereka. Ditahap ini, ajarkan mereka semua gerak, nanokomotor, stability, lokomotor, bermain, meningkatkan koordinasi dan menggali minatnya.
Pada usia enam sampai sembilan tahun, disebut dengan fundamental. Latihan koordinasi.
Lalu, diusia sembilan hingga 12 tahun, disebut masa pematangan dengan memberikan teknik yang betul, koordinasi yang betul. Belajar berlatih, struktur pemanasan, teori, kelenturan, ilmu pelatih sudah pindah kepada mereka.
“Ini yang tidak tersentuh,” katanya mengingatkan!
Ia kemudian memberikan alasan mendasar, misalnya di sepakbola. Berawal dari latihan di SSB. Pelatih SSB bersertifikat D Nasional, sertifikat paling dasar. Ketika sertifikatnya “naik kelas” mereka akan meninggalkan SSB. Ketika sertifikatnya A Pro, si pelatih tak mau lagi melatih SSB.
“Padahal pembentukan dasar ada di SSB, sementara mereka mendapatkan pelatih sertifikat dasar, atau ada kalanya tanpa sertifikat,” sesalnya. (jiga)