Memutus Rantai Kekerasan: Antara Hukum yang Lamban dan Trauma yang Abadi

Oleh : Dr. Nilma Suryani, SH., MH.*)

Kekerasan bukan sekadar tindakan kasar yang meninggalkan luka di tubuh. Ia adalah luka yang menganga di jiwa, merusak relasi, dan mengikis rasa aman dalam masyarakat.

Dalam berbagai bentuknya—fisik, psikis, verbal, maupun seksual—kekerasan adalah pelanggaran hak asasi manusia yang paling dalam dan berkelanjutan. Di Indonesia, meski telah ada kerangka hukum seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), realitas di lapangan menunjukkan bahwa penanganan kekerasan masih jauh dari memadai.

Sistem hukum yang lamban, trauma yang tak kunjung sembuh, dan ketidakadilan yang terus berulang membentuk sebuah rantai kekerasan yang sulit diputus.

Pola yang Berulang
Konsep cycle of violence yang diperkenalkan oleh Lenore E. Walker sejak 1979 masih sangat relevan hari ini.

Kekerasan dalam relasi interpersonal—terutama dalam konteks rumah tangga atau hubungan intim—tidak terjadi secara acak. Ia hadir dalam tiga fase yang berulang: ketegangan, ledakan kekerasan, dan rekonsiliasi semu.

Dalam fase ketegangan, korban hidup dalam kecemasan terus-menerus. Lalu meledaklah kekerasan—bisa berupa pukulan, hinaan, atau ancaman. Setelah itu, pelaku seringkali meminta maaf, menjanjikan perubahan, atau bahkan menyalahkan korban. Fase ini menciptakan ilusi bahwa semuanya akan membaik.

Namun, tanpa intervensi serius, siklus ini berulang. Korban yang terjebak dalam pola ini lama-lama mengalami learned helplessness—perasaan pasrah karena merasa tidak mampu keluar dari situasi. Mereka tetap bertahan bukan karena cinta, tapi karena ketakutan, ketergantungan ekonomi, atau tekanan sosial.

Ancaman, Trauma, dan Reviktimisasi
Dampak kekerasan jauh melampaui luka fisik. Korban hidup dalam ancaman kronis yang memicu stres berkepanjangan.

Menurut American Psychological Association (APA), kondisi ini tidak hanya merusak mental, tapi juga melemahkan sistem imun dan meningkatkan risiko gangguan jantung. Lebih dari itu, banyak korban mengalami trauma psikologis serius, seperti Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD), kecemasan berat, hingga keinginan bunuh diri.

Data Komnas Perempuan tahun 2023 mencatat 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan. Angka ini hanya yang dilaporkan—belumlah termasuk jutaan korban yang terdiam karena malu, takut, atau tidak percaya pada sistem.

Yang lebih menyedihkan, ketika korban akhirnya berani melapor, mereka sering mengalami reviktimisasi: dipaksa menceritakan kembali trauma mereka berulang kali dalam proses hukum, ditanya dengan nada meragukan, bahkan disalahkan.

Ini adalah bentuk kekerasan kedua yang justru datang dari sistem yang seharusnya melindungi.

Hukum yang Belum Berpihak
Secara normatif, hukum pidana Indonesia sebenarnya telah mengakui kekerasan sebagai tindak pidana. Pasal 351 KUHP mengatur penganiayaan dengan ancaman hukuman maksimal dua tahun delapan bulan. UU PKDRT juga memberi payung hukum bagi korban kekerasan dalam rumah tangga. Namun, dalam praktiknya, ada tiga kelemahan utama.

Pertama, kesulitan pembuktian. Kekerasan psikis dan verbal jarang meninggalkan bukti fisik. Dalam sistem hukum yang masih sangat bergantung pada alat bukti objektif, kesaksian korban sering diragukan.

Kedua, ketergantungan pada pelaporan korban. Banyak korban tidak melapor karena takut ancaman balik atau tekanan keluarga. Sementara sistem hukum pidana kita masih bersifat offence-based, artinya tanpa laporan, tidak ada proses hukum.

Ketiga, hukuman yang ringan dan tidak rehabilitatif. Banyak pelaku hanya dihukum denda atau hukuman bersyarat, tanpa upaya serius untuk menyembuhkan luka psikologis mereka.

Kasus Agni, mahasiswi UGM yang mengalami kekerasan seksual dari pacarnya pada 2016, menjadi contoh nyata celah hukum ini.

UU PKDRT tidak berlaku karena mereka tidak menikah. KUHP pun tidak memiliki ketentuan eksplisit untuk kekerasan dalam relasi pacaran, apalagi yang berbasis kuasa informal. Agni harus berjuang sendiri di tengah stigma dan minimnya dukungan hukum.

Mencari Jalan Keluar
Untuk memutus rantai kekerasan, kita tidak bisa lagi hanya mengandalkan pendekatan represif—hukuman sebagai satu-satunya solusi. Kita butuh pendekatan yang lebih bijak: keadilan restoratif dan reformatif.

Keadilan restoratif bukan berarti menghapus pertanggungjawaban pelaku, tetapi menekankan pada pemulihan korban, pemulihan hubungan, dan rehabilitasi pelaku.

Di Norwegia, misalnya, pelaku kekerasan domestik diwajibkan mengikuti terapi Cognitive Behavioral Therapy (CBT) sebelum dijatuhi vonis. Tujuannya adalah mengubah pola pikir dominatif dan mencegah kekerasan berulang. Program seperti ini layak diadaptasi di Indonesia.

Selain itu, sistem hukum harus diperkuat dari sisi perlindungan korban. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) perlu diberi anggaran dan sumber daya manusia yang memadai. Pengadilan harus menyediakan ruang ramah korban dengan pendampingan psikologis, akses terpisah dari pelaku, dan saksi ahli trauma. Proses hukum harus dirancang agar tidak menambah beban psikis korban.

Reformasi hukum juga tak kalah penting. RUU KUHP yang baru sudah mengakomodasi kekerasan berbasis daring (cyber violence), namun masih perlu memperluas definisi kekerasan untuk mencakup bentuk-bentuk halus seperti gaslighting, coercive control, dan kekerasan berbasis gender online. Hukuman juga harus diukur tidak hanya dari kerusakan fisik, tetapi juga dari dampak trauma mental yang dialami korban.

Keadilan yang Sejati
Rantai kekerasan bukan hanya soal pelaku dan korban. Ia adalah cermin dari sistem yang belum berpihak, budaya yang masih membiarkan kekerasan, dan hukum yang masih terlalu lamban. Memutus rantai ini membutuhkan pendekatan multidisipliner: hukum, psikologi, sosial, dan edukasi.

Keadilan sejati bukan hanya ketika pelaku dihukum, tetapi ketika korban benar-benar sembuh, ketika pelaku benar-benar berubah, dan ketika masyarakat tidak lagi membiarkan kekerasan terjadi dalam diam. Kita butuh hukum yang tidak hanya tegas, tapi juga manusiawi.

Karena pada akhirnya, tujuan hukum bukan hanya untuk menghukum, tapi untuk melindungi, menyembuhkan, dan menciptakan keadilan yang berkelanjutan.

Mari kita putus rantai ini—bukan dengan amarah, tapi dengan keberanian, empati, dan reformasi yang nyata.

Referensi: dari berbagai sumber

Dosen Hukum Pidana Universitas Andalas*)

Exit mobile version