UKT Ga Main-Main, Gaji Main-Main

Oleh : Fikri Alhamdi*)

Kuliah di Indonesia hari ini ibarat membeli tiket impian: mahal di awal, tapi ujungnya sering bikin kecewa. Uang Kuliah Tunggal (UKT) naik dari tahun ke tahun, bahkan sempat viral di 2024 ketika banyak mahasiswa melakukan aksi protes karena merasa biaya kuliah sudah di luar jangkauan kelas menengah.

Mahalnya UKT ini disebut-sebut sebagai wujud “komersialisasi pendidikan.” Teori human capital ala Gary Becker mengatakan, pendidikan adalah investasi: semakin tinggi biaya pendidikan, semakin tinggi pula gaji yang akan diperoleh setelah lulus. Sayangnya, realitas di Indonesia justru jauh panggang dari api.

Ambil contoh profesi guru dan perawat. Pada 2023, media sosial diramaikan kisah guru honorer yang digaji hanya Rp300 ribu per bulan. Ada juga kasus perawat di daerah yang menerima upah di bawah UMR meski bekerja shift panjang.

Padahal keduanya adalah profesi vital: guru mencetak generasi, perawat menjaga nyawa. Bukankah ironis kalau mereka justru hidup dengan gaji “main-main”?

Kontradiksi ini menimbulkan frustrasi kolektif. Mahasiswa bayar UKT tidak main-main, bahkan jutaan rupiah tiap semester. Orang tua banting tulang, mahasiswa ikut kerja sambilan, bahkan ada yang harus berhutang. Namun setelah wisuda, mereka masuk ke dunia kerja yang tidak seindah brosur kampus. Gelar sarjana yang mahal harganya justru dibarter dengan pekerjaan kontrak bergaji pas-pasan.

Kalau pakai istilah Pierre Bourdieu, pendidikan semestinya memberi cultural capital (modal kultural) dan social capital (modal sosial) untuk mobilitas kelas. Tapi di Indonesia, pendidikan tinggi sering justru menghasilkan “ijazah capital”, sekadar selembar kertas formalitas tanpa daya tawar ekonomi yang sepadan.

Tidak heran jika muncul gerakan mahasiswa yang menolak UKT tinggi, dengan spanduk sarkastik: “Kalau gaji kami nanti kecil, UKT-nya bisa dicicil balik nggak?” Sebuah humor getir yang sebenarnya menyimpan protes serius.

Di lapangan kerja, jurang antara biaya pendidikan dan pendapatan semakin terasa. Menurut data BPS 2024, rata-rata upah lulusan S1 hanya sekitar Rp3,3 juta per bulan, tidak jauh berbeda dengan lulusan SMA yang bisa memperoleh Rp3 juta.

Bayangkan, bertahun-tahun kuliah dengan biaya belasan juta, tapi hasil akhirnya hanya selisih tipis dengan mereka yang tidak kuliah. Ini tentu menimbulkan pertanyaan besar: apakah kuliah masih benar-benar mengangkat status ekonomi, atau sekadar menunda masuk ke dunia kerja?

Kasus lain yang viral di TikTok memperlihatkan seorang sarjana keperawatan yang akhirnya bekerja sebagai kurir ekspedisi karena gajinya lebih besar daripada saat menjadi perawat. Fenomena ini memperlihatkan bahwa pasar kerja kita tidak selalu menghargai keahlian akademik, melainkan lebih pada sektor yang cepat menghasilkan. Pendidikan tinggi jadi tampak seperti “jebakan investasi,” bukan jaminan masa depan.

Masalah lain adalah disparitas wilayah. Gaji guru atau perawat di kota besar memang sedikit lebih tinggi, tapi biaya hidup juga melambung. Sementara di daerah, gaji lebih rendah tapi tetap tidak sebanding dengan kebutuhan sehari-hari. Inilah yang membuat banyak lulusan memilih merantau, bahkan bekerja di luar negeri.

Ironisnya, negara yang membiayai pendidikan mereka justru kehilangan tenaga kerja terbaiknya karena masalah kesejahteraan yang tak kunjung diselesaikan.

Teori expectation vs reality dalam psikologi sosial bisa menjelaskan kekecewaan ini. Mahasiswa sejak awal masuk kuliah dijejali janji manis bahwa pendidikan adalah jalan emas. Namun setelah lulus, kenyataan tidak sesuai ekspektasi.

Perbedaan tajam antara yang diharapkan dan yang didapatkan melahirkan frustrasi, bahkan trauma kolektif di kalangan anak muda. Inilah sebabnya, banyak generasi Z lebih memilih side hustle atau wirausaha ketimbang menaruh harapan penuh pada ijazah.

Pada akhirnya, pendidikan memang tetap penting, tapi bukan jaminan tunggal. Jika negara benar-benar serius menyejahterakan rakyatnya, maka kesenjangan antara biaya pendidikan dan gaji harus dipersempit.

Sebab jelas, kita tidak bisa selamanya menertawakan nasib dengan meme “UKT ga main-main, gaji main-main.” Lambat laun, ketidakadilan ini akan melahirkan ketidakpercayaan publik terhadap sistem pendidikan. Dan ketika masyarakat sudah kehilangan kepercayaan, itulah titik paling berbahaya bagi masa depan bangsa. []

Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang*)

Exit mobile version