Aksi Demonstrasi Sumbar: Beberapa Catatan

Oleh : Mohammad Isa Gautama *)

AKSI demonstrasi mahasiswa di Padang pada 1 September 2025 menorehkan satu catatan politik lokal yang penting: aksi berlangsung tertib, damai, dan relatif terjaga dari anarkisme. Ribuan mahasiswa dari berbagai kampus berkumpul, menyampaikan aspirasi, lalu bubar dengan tertib tanpa insiden anarkis yang merusak wibawa gerakan.

Penyambutan, pelepasan, dan pengawalan informal dari pimpinan kampus terhadap mahasiswanya memberi nuansa berbeda, memperlihatkan adanya simbiosis mutualisme antara dunia akademik dan tradisi protes mahasiswa.

Semoga ini mencerminkan ketulusan para Rektor dan merepresentasikan empati yang jujur atas keadaan yang memang sedang tidak baik-baik saja.

Saya menyambut baik etika aksi yang terjaga itu, karena wibawa gerakan yang damai lebih mudah menarik simpati publik, membuka ruang dialog, dan menahan delegitimasi yang sering diarahkan oleh lawan politik.

Namun, kegembiraan atas ketertiban tidak boleh menutupi pertanyaan substantif: seberapa jauh gerakan kemarin memotret dan menanggapi persoalan konkrit yang menimpa Sumatera Barat?

Akumulasi masalah korupsi, janji-janji publik yang belum terpenuhi, ketimpangan pembangunan, serta lemahnya pelayanan publik adalah masalah yang menuntut suara kritis yang bisa jadi akan “salah alamat” dan kurang kontekstual diarahkan ke panggung nasional semata.

Realitas yang Terlupakan
Publik sudah lama tahu, Sumatera Barat saat ini sedang menghadapi problem besar yang nyaris tidak terdengar dalam demonstrasi 1 September. Kasus-kasus korupsi terus bermunculan, menyeret pejabat publik di tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota.

Dari penyalahgunaan dana pokir para anggota legislatif, penyelewengan APBD, hingga praktik pengadaan barang dan jasa yang penuh rekayasa, semua menunjukkan bahwa reformasi birokrasi di provinsi ini masih jauh dari harapan. Saya melihat, mahasiswa melewatkan kesempatan emas untuk menegaskan sikap terhadap problema ini.

Selain korupsi, janji-janji politik yang pernah diucapkan gubernur, wali kota, maupun bupati banyak yang masih mengambang. Infrastruktur yang dijanjikan tidak terbangun merata, layanan kesehatan dan pendidikan masih timpang, serta program pemberdayaan ekonomi rakyat kecil sering berakhir pada seremoni belaka.

Rakyat dibiarkan hidup dalam ketidakpastian, sementara elite politik sibuk dengan agenda pencitraan (sebagian malah sibuk “ngonten” di akun medsos masing-masing). Bukankah di titik inilah suara mahasiswa semestinya hadir, agar janji politik tidak menjadi sekadar gula-gula elektoral yang hilang setelah pemilu usai?

Dalam kerangka teori gerakan sosial, Sidney Tarrow (1998) menekankan pentingnya political opportunity structure atau struktur peluang politik, yakni sejauh mana ruang politik terbuka bagi kelompok penekan untuk menyuarakan tuntutannya. Demonstrasi damai yang bahkan dilepas oleh pimpinan kampus menunjukkan bahwa peluang aspirasi politik di Sumbar semakin terbuka lebar.

Namun, peluang ini akan menjadi sia-sia jika mahasiswa tidak mengisinya dengan agenda yang substansial. Political opportunity tanpa framing isu yang kuat hanya akan menghasilkan gerakan simbolik tanpa daya ubah.

Kita juga tidak boleh menutup mata terhadap ketimpangan ekonomi yang semakin tajam. Kota Padang memang tumbuh dengan pesat, tetapi daerah-daerah di luar pusat kota masih berjalan lambat.

Ketidakmerataan pembangunan ini menimbulkan jurang sosial yang semakin lebar. Sementara itu, kualitas pelayanan publik masih jauh dari harapan. Proses administrasi lamban, fasilitas kesehatan di banyak daerah minim, dan suara rakyat kecil sering tidak mendapatkan ruang yang layak.

Inilah persoalan konkret yang sehari-hari dihadapi masyarakat Sumbar, tetapi luput dari demonstrasi kemarin.

Arah Gerakan Mahasiswa
Sebagai seorang yang dulu ikut berdiri di barisan depan demonstrasi 1998, saya ingin mengingatkan bahwa kekuatan mahasiswa tidak hanya terletak pada jumlah massa atau lantangnya orasi. Kekuatannya justru pada kepekaan membaca zaman.

Gerakan mahasiswa akan kehilangan arah jika hanya terpaku pada isu-isu nasional tanpa menyentuh denyut rakyat di daerah. Mengapa? Karena mahasiswa adalah bagian dari masyarakat lokal, hidup di tengah rakyat, dan semestinya menjadi penyambung lidah rakyat yang paling dekat.

Sejarah gerakan di Sumatera Barat membuktikan hal itu. Dari masa pergerakan nasional, peran ulama dan intelektual muda Minangkabau selalu berpijak pada realitas masyarakat, bukan semata meniru arus dari pusat.

Tradisi kritis yang lahir dari surau, musyawarah, dan diskusi publik memberi landasan kuat bagi gerakan sipil di ranah Minang. Karena itu, mahasiswa hari ini seharusnya mampu menghidupkan kembali tradisi itu: berpijak pada realitas lokal sembari membangun koneksi dengan agenda nasional.

Dalam perspektif Manuel Castells (2012) mengenai networked social movements, gerakan di era digital tidak lagi berdiri sendiri, melainkan terhubung dalam jaringan yang lebih luas. Demonstrasi mahasiswa di Padang bisa menjadi “node” yang menghubungkan isu-isu lokal dengan arus nasional bahkan global.

Namun, agar jaringan ini bermakna, titik lokal tidak boleh kosong. Jika mahasiswa hanya menjadi corong isu nasional, mereka berisiko kehilangan akar sosialnya.

Sementara itu, Charles Tilly mengingatkan bahwa gerakan sosial bertahan karena repertoires of contention—cara-cara konsisten mengorganisasi protes dan membangun kesinambungan taktik. Demonstrasi 1 September telah mencatat repertoar damai, tinggal bagaimana mengembangkan kesinambungan dalam bentuk advokasi yang lebih luas.

Saya percaya, mahasiswa Sumbar memiliki kapasitas intelektual dan moral untuk itu. Tetapi, mereka harus memperluas basis gerakan, tidak hanya berhenti pada orasi dan spanduk. Kajian mendalam, riset lapangan, dan dokumentasi data harus menjadi fondasi tuntutan.

Data korupsi, laporan ketimpangan, testimoni rakyat tentang buruknya pelayanan publik, semua ini bisa menjadi bahan yang membuat gerakan tidak sekadar emosional, melainkan ilmiah dan strategis.

Dari Aksi ke Solusi
Pertanyaan penting kemudian adalah bagaimana mengubah demonstrasi damai yang telah dilakukan menjadi gerakan yang lebih tajam sekaligus solutif.

Pertama, mahasiswa harus berani membangun aliansi dengan kelompok masyarakat sipil lain: LSM anti-korupsi, serikat buruh, organisasi tani, komunitas nelayan, hingga kelompok difabel. Aliansi ini akan memperluas perspektif dan memperkuat daya tekan. Sebab, gerakan sosial yang berhasil selalu lahir dari kolaborasi, bukan dari isolasi.

Kedua, perlu kesinambungan antara aksi di jalanan dan advokasi di ruang-ruang kebijakan. Demonstrasi hanyalah pintu masuk, tetapi perjuangan sesungguhnya adalah mengawal kasus-kasus nyata. Sudah waktunya mahasiswa rutin menghadiri sidang pengadilan kasus korupsi, menekan DPRD agar transparan, atau menyelenggarakan forum publik yang mendiskusikan janji-janji kepala daerah.

Dengan begitu, demonstrasi tidak berhenti pada teriakan, tetapi menjelma menjadi kontrol sosial yang berkelanjutan.

Ketiga, mahasiswa harus menjaga etika gerakan. Demonstrasi damai yang sudah ditorehkan pada 1 September harus menjadi standar baru. Damai bukan berarti lemah, justru sebaliknya: damai menunjukkan kedewasaan politik.

Dengan cara itu, mahasiswa akan tetap mendapat simpati publik, dan suara mereka tidak mudah dipatahkan oleh stigma negatif. Saya masih percaya, idealisme mahasiswa adalah salah satu benteng terakhir moralitas bangsa, dan Sumbar tidak boleh kehilangan itu.

Dalam bahasa Tarrow (1994), gerakan mahasiswa Sumbar saat ini berada dalam cycle of contention, siklus protes yang jika tidak dirawat akan segera meredup. Untuk bertahan, siklus ini memerlukan inovasi taktik, kontinuitas isu, dan kemampuan membangun jejaring lintas kelompok.

Jika mahasiswa gagal mengelola momentum, siklus itu akan berhenti sebagai catatan sejarah sesaat. Namun, jika berhasil, siklus ini dapat menjadi titik balik perbaikan tata kelola Sumbar yang selama ini diwarnai korupsi dan ketimpangan.

Pada akhirnya, demonstrasi di Padang, dan beberapa kota lainnya, adalah langkah awal yang baik, tetapi tidak boleh berhenti di sana.

Gerakan mahasiswa Sumbar harus naik kelas, dari sekadar menyuarakan agenda nasional menuju perjuangan yang juga menelisik masalah-masalah lokal. Hanya dengan cara itu, mahasiswa dapat mewarisi semangat 1998: berani, relevan, dan berpihak pada rakyat. [*]

Penulis adalah aktivis 1998, mengajar di Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Padang, Kepala Pusat Kajian Bersama Anti-korupsi (PK Gebrak) UNP *)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *