Oleh : Musfi Yendra*)
Dalam sistem presidensial Indonesia, presiden memiliki hak prerogatif yang tegas untuk mengangkat dan memberhentikan menteri. Hal ini diatur dalam Pasal 17 UUD 1945. Namun, prerogatif bukan berarti tanpa batas. Sebaliknya, dalam demokrasi modern, kekuasaan eksekutif justru akan semakin kuat jika ia dijalankan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas.
Di sinilah pentingnya asesmen dan uji publik terhadap calon menteri: agar jabatan tinggi negara tidak jatuh semata-mata sebagai hadiah politik, melainkan menjadi amanah yang diemban oleh sosok berintegritas, profesional, dan benar-benar mampu bekerja untuk rakyat.
Realitas politik Indonesia sering menunjukkan bahwa jabatan menteri kerap dipandang sebagai bagian dari “pembagian kursi” untuk menjaga keseimbangan koalisi. Tak jarang muncul istilah “jabatan giveaway”, seolah kursi menteri adalah kompensasi atas dukungan politik saat pemilu.
Padahal, menteri bukan sekadar simbol representasi kelompok atau partai. Mereka memegang peran vital: mengelola anggaran triliunan rupiah, menyusun kebijakan strategis, dan mengurus hajat hidup rakyat.
Menteri adalah wajah pemerintahan yang langsung berhadapan dengan publik, sehingga kapasitas dan rekam jejaknya akan menentukan kualitas kepemimpinan presiden sendiri.
Secara teoritis, hubungan presiden dan menteri dapat dijelaskan lewat teori principal–agent. Presiden adalah prinsipal, sementara menteri adalah agen yang diberi mandat untuk menjalankan visi-misi kepala negara.
Jika agen yang dipilih tidak memiliki kapasitas atau integritas, maka mereka bisa bertindak untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. Inilah yang disebut agency problem: mandat yang seharusnya untuk rakyat justru dibelokkan demi kepentingan sempit. Dengan asesmen ketat dan uji publik, risiko ini dapat ditekan sejak awal.
Asesmen yang dimaksud tidak hanya sebatas menilai kecakapan administratif. Ia harus mencakup rekam jejak profesional, kepatuhan hukum, integritas etika, dan keluarga. Soal keluarga pejabat ini juga bisa menjadi sorotan dan blunder di hadapan publik, seperti gaya hidup anak dan istri. Pernyataan di sosial media yang meresahkan.
Hal lainnya, keterkaitan keluarga dengan dunia bisnis yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Menteri yang keluarganya masih terikat erat dengan proyek pemerintah atau perusahaan negara, misalnya, sangat mungkin menghadapi dilema etis.
Praktik baik internasional, seperti yang direkomendasikan The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), organisasi internasional yang bertujuan menciptakan dan mempromosikan kebijakan yang meningkatkan kemakmuran ekonomi dan sosial di seluruh dunia, menekankan pentingnya deklarasi kepentingan, transparansi aset, serta manajemen konflik sejak awal.
Prinsip ini sejalan dengan semangat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) yang menempatkan hak publik untuk tahu sebagai bagian tak terpisahkan dari demokrasi.
Di banyak negara demokrasi, uji publik calon menteri sudah menjadi hal lumrah. Amerika Serikat, misalnya, memiliki mekanisme konfirmasi Senat. Setiap calon kabinet harus menjalani dengar pendapat yang disiarkan terbuka, menghadapi pertanyaan tajam mengenai rekam jejak, kepemilikan bisnis, bahkan pandangan politiknya.
Inggris juga menerapkan pre-appointment hearings oleh komite parlemen, yang memberi ruang bagi publik dan media untuk menilai kelayakan calon pejabat tinggi. Mekanisme ini bukan untuk melemahkan presiden atau perdana menteri, melainkan justru memperkuat legitimasi pemerintahan dengan menyaring lebih awal risiko yang bisa mencederai kepercayaan rakyat.
Jika mekanisme serupa diadaptasi di Indonesia, bentuknya tidak harus identik. Kita bisa merancang format yang sesuai konteks lokal: publikasi curriculum vitae, daftar kepentingan keluarga, laporan asesmen independen, hingga sesi tanya jawab publik yang difasilitasi lembaga kredibel.
Model ini memberi kesempatan kepada publik untuk mengetahui siapa yang akan mengelola kementerian, apa visi mereka, dan bagaimana rekam jejaknya. Transparansi ini penting untuk mencegah pengangkatan menteri yang hanya menjadi beban politik presiden.
Uji publik juga berfungsi sebagai “early warning system”. Banyak kasus di masa lalu ketika seorang menteri tersandung kasus hukum atau konflik kepentingan setelah menjabat, yang pada akhirnya merugikan presiden sendiri. Dengan asesmen ketat di awal, masalah itu bisa diantisipasi sebelum menimbulkan krisis politik.
Dari sisi good governance, langkah ini memperkuat akuntabilitas, memperkecil ruang nepotisme, dan menegakkan meritokrasi. Menteri yang terpilih pun benar-benar menjadi pembantu presiden, bukan beban tambahan yang melemahkan citra pemerintah.
Tentu ada tantangan. Sebagian pihak mungkin menilai uji publik berlebihan dan berisiko politisasi. Namun justru di situlah seni mendesain mekanisme. Uji publik tidak harus berarti sidang politik terbuka; ia bisa berupa forum profesional yang obyektif, dengan standar jelas dan fokus pada integritas serta kompetensi. Transparansi tidak berarti membuka seluruh privasi pribadi, tetapi informasi relevan terkait kepentingan publik memang wajib diketahui rakyat.
Penerapan mekanisme ini akan memberi tiga manfaat langsung.
Pertama, memperkuat legitimasi presiden, karena publik merasa dilibatkan dalam seleksi kabinet.
Kedua, mengurangi peluang menteri menjadi alat kepentingan kelompok sempit.
Ketiga, memastikan program presiden dapat dijalankan lebih efektif karena dibantu tim yang memang kapabel. Singkatnya, ini bukan soal membatasi hak prerogatif, tetapi memperkaya kualitas keputusan presiden agar pemerintahannya kokoh.
Seleksi menteri adalah soal arah demokrasi kita. Apakah kabinet dibangun semata untuk menampung kepentingan politik jangka pendek, atau untuk mewujudkan visi besar bangsa? Uji publik dan asesmen yang transparan adalah investasi kecil yang memberi hasil besar: kabinet yang dipercaya, pemerintahan yang kuat, dan demokrasi yang sehat.
Presiden yang berani membuka seleksi calon menteri pada publik, sejatinya sedang menegaskan bahwa ia memimpin dengan integritas dan menempatkan rakyat sebagai pemegang kepentingan utama. Itulah hakikat pemerintahan modern: kekuasaan bukan hadiah, melainkan amanah. []
Ketua Komisi Informasi Provinsi Sumatera Barat*)