Komunitas Baca: Buku-buku yang Menolak Mati

Komunitas baca adalah ruang kecil yang menyalakan api besar pengetahuan. Dari rak buku yang sederhana, tumbuh mimpi, solidaritas, dan peradaban. (foto; ist)

Oleh : Muhammad Subhan*)

KOMUNITAS baca—apa pun namanya—ruang yang memancarkan cahaya ilmu pengetahuan. Tempat yang kadang sunyi, kadang riuh. Namun, di tempat ini kata-kata bersemayam dan tumbuh.

Banyak orang menyepelekan komunitas baca. Menganggapnya hanya untuk pinjam buku. Menganggapnya kuno di era gawai. Padahal, di sanalah benih literasi disemai.

Di era digital, komunitas baca harus lentur. Harus bertransformasi. Tidak bisa hanya duduk menunggu pemustaka. Harus banyak jemput bola.

Anak-anak kini lahir di antara gawai. Bayi sudah kenal ‘hape’. Bermain jari sejak dini. Mereka jarang membolak-balik isi buku.

Komunitas baca tidak boleh cemburu. Komunitas baca harus lincah berdamai. Bersahabat dengan teknologi. Menggunakan gawai sebagai jembatan. Bukan musuh.

Bagaimana caranya?

Komunitas baca bisa membuat konten. Konten yang segar. Konten yang memikat. Buat video pendek, tunjukkan koleksi buku, tunjukkan suasana ruang baca. Tunjukkan kegiatan kreatif dan inovatif lainnya.

Untuk menyiarkan dan mensyiarkan, gunakan media sosial. Instagram, Facebook, TikTok, YouTube. Sapa pembaca di sana. Ajak datang ke komunitas baca, selain ke perpustakaan umum lainnya.

Komunitas baca juga bisa menjadi studio. Tempat rekaman podcast. Tempat anak-anak belajar jadi host. Bicara buku, bicara mimpi, bicara masa depan dan cita-cita.

Jangan biarkan rak buku sepi dan berdebu. Jangan biarkan buku jadi sarang rayap. Komunitas baca hidup kalau orang datang. Maka, selalu hidupkan setiap waktu. Ada uang tidak ada uang, terus digerakkan.

Anak-anak butuh ruang. Ruang aman. Ruang nyaman. Ruang berkawan dengan buku. Mereka senang berkumpul. Mereka senang mendengar cerita. Mereka senang menulis. Dan, mendukung itu, tugas komunitas baca adalah memfasilitasi.

Program komunitas baca harus banyak. Adakan kelas menulis. Adakan kelas mendongeng. Adakan kelas puisi. Adakan kelas seni. Buka kelas-kelas lainnya yang asyik dan menyenangkan.

Buku bisa melahirkan karya. Buku bisa menumbuhkan imajinasi. Imajinasi yang tak didapat di layar. Imajinasi yang membuat mereka menjadi manusia sesungguhnya.

Tapi ada satu masalah besar. Masalah finansial. Bagaimana komunitas baca hidup tanpa uang? Bagaimana komunitas baca bertahan tanpa dukungan dana?

Tidak semua komunitas baca punya donatur tetap. Tidak semua komunitas baca dapat bantuan. Kadang pengelola rogoh kocek sendiri. Kadang pengelola mengalahkan lapar demi literasi.

Itu nyata. Itu pahit. Saya banyak melihat komunitas baca demikian. Hidup segan mati tak mau. Yang memilih gulung tikar pun tak terhitung lagi jumlahnya.

Tapi ini bukan akhir. Selalu ada jalan.

Komunitas baca bisa membuka kotak donasi. Menerima sumbangan buku. Menerima sumbangan uang. Menerima sumbangan alat tulis. Sumbangan-sumbangan dalam bentuk lain bisa didapatkan dari tangan-tangan orang baik yang peduli literasi.

Tak salah pengelola komunitas baca membuat proposal. Ajak perusahaan sekitar. Perusahaan punya dana CSR. Itu bisa membantu komunitas baca. Ajak juga warga sekitar. Ajak siapa pun yang peduli. Artinya, pengelola komunitas baca jangan diam. Jangan menunggu. Harus bergerak. Harus proaktif.

Komunitas baca juga bisa berdagang. Jualan kopi. Jualan the telur. Jualan kue buatan ibu-ibu. Atau bertani. Bisa juga beternak, dan semua usaha produktif yang halal.

Pembaca datang, membeli semua produk inklusi sosial komunitas baca. Hasil jualan untuk perawatan buku. Untuk bayar listrik. Untuk bayar internet. Untuk pengganti BBM relawan.

Komunitas baca juga bisa bikin bazar. Bazar buku. Bazar mainan. Bazar barang bekas layak pakai.

Kreatif saja mencari napas. Jangan gengsi. Jangan menunggu saja. Bergerak. Banyak bergerak, banyak berdampak.

Masyarakat harus tahu, komunitas baca bukan sekadar rak buku. Komunitas baca rumah bersama. Tempat belajar gotong royong.

Libatkan relawan. Libatkan guru. Libatkan orang tua. Libatkan siapa saja.

Jangan merasa bisa sendiri. Literasi butuh komunitas. Komunitas butuh solidaritas. Solidaritas butuh cinta.

Komunitas baca harus menanam cinta. Cinta pada buku. Cinta pada ilmu. Cinta pada sesama.

Di era digital, tantangan makin nyata. Gawai makin murah. Kuota makin mudah. Buku makin ditinggalkan.

Tapi jangan kalah. Buku tetap punya keajaiban. Kertas tetap punya bau khas. Halaman tetap punya rahasia.

Tugas komunitas baca: merawat rahasia itu. Menjaganya agar tak hilang. Menanamnya di hati anak-anak. Menumbuhkannya jadi pohon pengetahuan.

Di kota besar, komunitas baca bisa berkolaborasi. Kerja sama dengan sekolah. Kerja sama dengan kampus. Kerja sama dengan perpustakaan daerah. Kerja sama dengan perusahaan swasta.

Buat program bersama. Tukar koleksi buku. Adakan kunjungan rutin. Adakan festival literasi.

Di kampung, komunitas baca bisa jadi pusat kegiatan. Pusat belajar kelompok. Pusat bimbingan belajar. Pusat pengajian.

Buku jadi jembatan. Menghubungkan anak desa dengan dunia. Membuka cakrawala. Menjadi jendela impian.

Mimpi tidak boleh dibatasi. Buku membebaskan mimpi. Komunitas baca memayungi mimpi. Masyarakat menyalakan mimpi.

Bayangkan satu anak duduk di pojok rak buku. Matanya berbinar. Tangannya membalik halaman.

Satu anak bisa berubah. Satu anak bisa menulis buku. Satu anak bisa jadi penulis besar. Satu anak bisa jadi pemimpin masa depan.

Semua berawal dari komunitas baca. Tempat sederhana. Tempat sunyi. Tempat kata-kata bersemayam. Tempat obor literasi dinyalakan.

Di sanalah kata-kata bertunas. Di sanalah mimpi bertumbuh. Di sanalah peradaban berakar. Mari kita jaga bersama. Mari kita dukung bersama. []

Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, pendiri Sekolah Menulis elipsis, menetap di pinggir Kota Padang Panjang.*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *