Kekuatan Kata Mantra: Analisis Fungsi Bahasa Dalam Ritual Pengobatan Tradisional Minangkabau

Oleh : Rani Arjun Putri*)

Masyarakat Minangkabau memiliki kekayaan budaya lisan yang kuat, salah satunya adalah tradisi pengobatan dan ritual melalui mantra atau sijobang. Dalam pandangan Antropolinguistik, bahasa tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, melainkan sebagai sumber daya budaya yang merefleksikan dan membentuk pandangan dunia penuturnya.

Mantra, sebagai bentuk bahasa yang teritualisasi, serta sebagai contoh nyata dari fungsi performatif bahasa di mana pengucapan kata-kata itu sendiri dipercaya sebagai tindakan yang mampu mengubah keadaan, misalnya dari sakit menjadi sembuh dan ada juga keadaan sembuh menjadi sakit, itulah kekuatan kata mantra.

Mantra itu sendiri merupakan sebuah konsep yang sangat kaya, terletak di persimpangan antara bahasa, kepercayaan, dan tradisi.

Secara umum, mantra adalah susunan kata-kata atau kalimat yang diyakini memiliki kekuatan magis atau spiritual tertentu apabila diucapkan dalam konteks atau ritual yang spesifik.

Secara linguistik, mantra adalah teks lisan yang memiliki ciri-ciri struktural yang khas, membedakannya dari bahasa sehari-hari. Ciri-cirinya sering meliputi, leksikon kuno, struktur ritmis, anonimitas, dan bersifat tertutup.

Dalam studi Antropolinguistik, mantra dipahami sebagai salah satu bentuk paling kuat dari fungsi performatif bahasa. Mantra ini juga merupakan manifestasi budaya yang paling jelas bahwa bahasa memiliki kekuatan yang melampaui logika biasa.

Mantra diucapkan untuk menciptakan atau mengubah suatu realitas. Misalnya, mantra pengobatan tidak sekadar “menggambarkan” pasien yang sembuh, tetapi ucapan itu sendiri yang diyakini “memerintahkan” kesembuhan.

Pengucapan mantra menegaskan otoritas spiritual penutur (tukang ubat atau dukun) dan mengaktifkan kekuatan yang diyakini berada di luar kemampuan manusia biasa.

Mantra berfungsi sebagai jembatan komunikasi antara manusia dengan entitas spiritual (roh leluhur, jin/iblis, dewa, malaikat, atau kekuatan alam). Mantra ini diklasifikasikan berdasarkan tujuan kulturalnya.

Jenis-jenis mantra diantaranya: Mantra Pengobatan, Mantra Pertanian, Mantra Cinta/Penunduk, Mantra Pelindung. Masing-masing mantra membuktikan bahwa di banyak kebudayaan, kata-kata bukan hanya alat, melainkan energi atau kekuatan itu sendiri.

Fenomena kebahasaan yang menarik dalam tradisi Minangkabau adalah ditemukannya unsur linguistik yang secara khusus terikat pada konteks magis.

Prefiks pi- (seperti pitunang, pituah, piganta, pisuruah, pitanggang), yang menurut beberapa ahli linguistik Minangkabau terbatas pada kata-kata dalam dunia magis, menunjukkan adanya kategorisasi linguistik antara kata biasa dan kata berkekuatan spiritual.

Di Minangkabau sendiri, bahasa mantra sering menggunakan leksikon lama atau memiliki campuran kosa kata Arab (Islamisasi), yang memberikan nilai otoritas dan kesakralan yang diperlukan untuk ritual. Dalam Bahasa Minangkabau, prefiks pi- secara unik terasosiasi dengan konteks magis atau keadaan yang dipengaruhi oleh kekuatan supranatural.

Berikut adalah beberapa contoh leksikon yang menggunakan prefiks pi- dan analisis fungsinya: 1). pi- + tunang(pitunang), mantra yang digunakan untuk mengikat atau menundukkan hati seseorang (Pelet). 2). pi- + tunduak(pitunduak), mantra yang digunakan untuk membuat orang lain tunduk atau patuh. 3). pi- + tuah(pituah), nasihat keramat atau kata-kata bertuah yang diyakini membawa berkah atau kekuatan. 4). pi- + ganta(piganta), keadaan gentar atau takut yang bersifat non-fisik (magis).

Penggunaan prefiks pi- ini menunjukkan adanya kategorisasi linguistik yang memisahkan ranah dunia nyata (verba biasa) dari ranah magis. Secara fungsional, prefiks pi- bekerja untuk menarik kekuatan dari kata dasar dan mengarahkannya pada tujuan spiritual.

Jika datang adalah kata kerja biasa, maka pandatang atau kadatangan (turunan kata datang) merujuk pada entitas atau keadaan yang datang secara tidak terduga atau bersifat magis (musibah, hantu).

Mantra dalam ritual pengobatan berfungsi sebagai tindakan bicara yang otoritatif. Analisis teks mantra menunjukkan tiga fungsi performatif utama:

1, Fungsi Perintah (Imperatif): Mantra sering menggunakan struktur kalimat perintah langsung kepada penyakit atau entitas jahat.

Misalnya, “Kelua lah kau dari badan si supiak ko, disuruah dek Allah” (Keluarlah engkau dari badan perempuan ini, diperintah oleh Allah). Bahasa di sini tidak memohon, melainkan memerintah subjek non-fisik untuk tunduk.

2. Fungsi Penetapan Identitas (Nominatif): Mantra menegaskan otoritas tukang ubat dengan mengidentifikasi sumber kekuatan (misalnya, merujuk pada Nabi Khidir, Sutan Iskandar Zulkarnain, atau leluhur). Penetapan identitas ini secara sosial memberikan legitimasi pada tindakan penyembuhan yang dilakukan.

3. Fungsi Simbolis (Sinkretisme Leksikon): Mantra menunjukkan campuran leksikon Melayu/Minangkabau kuno dengan kutipan bahasa Arab (misalnya kun faya kun, bismillah).

Secara terbuka kajian antropologi sastra ini membuka mata kita serta memberikan kerangka yang kuat untuk memahami bahwa mantra bukanlah omong kosong, melainkan praktik bahasa tutur yang sangat terstruktur dan berfungsi secara budaya.

Mantra Minangkabau memiliki ciri khas pada ranah morfologis, terutama melalui prefiks pi- dan leksikon yang mengkategorikan ranah magis dan non-magis.

Kajian ini juga menegaskan bahwa bahasa adalah sistem pengetahuan yang vital, yang merefleksikan dan melanggengkan kearifan lokal Minangkabau dalam menghadapi kesehatan dan penyakit. []

Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Sastra Daerah Minangkabau pada Universitas Andalas*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *