Menjaga Garis, Menjaga Marwah: Makna Larangan Menikah Satu Suku di Minangkabau

Oleh : Annisa Putri*)

Di Minangkabau, cinta tidak hanya perkara dua hati. Ia juga perkara garis, suku, dan marwah. Larangan menikah satu suku bukan sekadar batas adat, melainkan pagar halus yang menjaga kehormatan dan keseimbangan dalam kehidupan sosial orang Minang. Di balik aturan yang tampak kaku itu, tersimpan filsafat hidup yang mendalam tentang kesadaran diri, tanggung jawab sosial, dan penghormatan terhadap asal-usul.

Suku dalam masyarakat Minangkabau bukan sekadar identitas, tetapi juga silsilah yang mengikat darah dan keturunan. Karena garis keturunan ditarik dari ibu, seluruh anggota suku dianggap satu keluarga besar. Itulah sebabnya menikah sesuku diibaratkan seperti menikahi saudara sendiri.

“Sasuku, sabako, sabatang tarandam,” ujar pepatah tua, sesuku berarti seakar, berasal dari batang yang sama. Maka, melanggarnya dianggap bukan sekadar pelanggaran adat, melainkan pelanggaran moral.

Namun filosofi larangan ini tidak lahir dari rasa curiga, melainkan dari rasa hormat. Adat Minang mengajarkan bahwa hubungan antar manusia harus dijaga agar tidak saling melukai. Dengan melarang pernikahan sesuku, masyarakat memastikan struktur sosial tetap jelas: siapa mamak, siapa kemenakan, siapa penghulu, dan siapa yang dijaga. Semua memiliki tempat dan peran masing-masing dalam harmoni adat.

Dalam pandangan modern, aturan ini sering dianggap terlalu kolot. Tapi, jika ditelusuri lebih dalam, justru di situlah letak kebijaksanaannya. Larangan menikah sesuku bukan berarti menentang cinta, melainkan mengajarkan bahwa cinta pun harus tahu arah dan batasnya.

Ia bukan hanya urusan dua orang, melainkan tanggung jawab terhadap keseimbangan sosial dan warisan leluhur. Seperti falsafah adat yang berbunyi, “Adat dipakai baru, pusako dipakai usang.” Adat boleh menyesuaikan zaman, tetapi nilai dasarnya tak boleh hilang.

Sanksi adat terhadap pelanggaran ini juga bersifat simbolis, denda beras, seekor kerbau, dan permintaan maaf kepada kaum. Semua itu bukan sekadar hukuman, melainkan cara masyarakat mengembalikan keseimbangan yang terganggu. “Nan salah dibetulkan, nan kusuik dileraikan,” kata orang tua-tua. Bukan untuk mempermalukan, tetapi untuk mengingatkan.

Di tengah dunia yang semakin terbuka, larangan ini memang diuji. Banyak generasi muda Minang yang hidup di rantau tidak lagi mengenal asal suku mereka. Namun, di banyak nagari, para ninik mamak masih berjuang menjaga tradisi ini melalui musyawarah, pendidikan adat, dan acara budaya. Mereka tidak sekadar mempertahankan aturan, tetapi mempertahankan nilai, bahwa cinta harus tetap berpijak pada kehormatan.

Larangan menikah satu suku adalah cermin kearifan lokal yang berakar pada rasa tanggung jawab, bukan hanya kepada diri sendiri, tetapi juga kepada leluhur dan generasi yang akan datang. Ia mengingatkan kita bahwa dalam kehidupan, tidak semua yang mungkin harus dilakukan. Ada batas-batas yang dijaga bukan karena sempitnya pikiran, tetapi karena luasnya kesadaran akan makna hidup bersama. []

Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *