Oleh : Arrumy Marwa P*)
Dalam era digital yang ditandai dengan derasnya arus informasi dan pergeseran perilaku komunikasi publik, humas pemerintah dituntut untuk beradaptasi terhadap pola konsumsi media yang semakin dinamis. Kehadiran media sosial tidak hanya mengubah cara masyarakat menerima informasi, tetapi juga mengubah peran lembaga pemerintah dalam berkomunikasi dengan warga negara.
Dalam konteks ini, strategi media publikasi pemerintah tidak lagi cukup mengandalkan konferensi pers, rilis berita, atau situs resmi semata, melainkan harus melibatkan kolaborasi yang lebih interaktif dengan aktor-aktor digital seperti influencer dan content creator.
Kolaborasi digital ini lahir dari kesadaran bahwa masyarakat, khususnya generasi muda, lebih percaya pada figur yang dianggap dekat dan autentik dibandingkan institusi formal yang cenderung kaku. Influencer, dengan gaya komunikasi personal dan kemampuan menjangkau ribuan hingga jutaan pengikut, menjadi jembatan strategis antara pemerintah dan publik.
Melalui mereka, pesan-pesan kebijakan publik dapat dikemas secara ringan, relevan, dan mudah dipahami. Dengan demikian, humas pemerintah tidak lagi sekadar berperan sebagai penyampai informasi, tetapi juga sebagai pengelola narasi publik yang mampu menanamkan citra positif terhadap institusi pemerintah.
Pemanfaatan influencer dalam strategi komunikasi pemerintah bukan sekadar tren, tetapi merupakan bentuk transformasi komunikasi publik. Menurut teori Two-Step Flow of Communication dari Katz dan Lazarsfeld, pengaruh sosial sering kali disalurkan melalui tokoh opini sebelum mencapai masyarakat luas.
Dalam konteks digital saat ini, influencer berperan sebagai opinion leader yang menginterpretasikan kebijakan pemerintah ke dalam bahasa dan format yang lebih mudah diterima publik.
Misalnya, kampanye vaksinasi COVID-19 di Indonesia menunjukkan bagaimana kerja sama antara Kementerian Kesehatan dengan influencer muda dan artis berhasil mendorong partisipasi masyarakat dalam program vaksinasi nasional. Strategi ini terbukti efektif dalam membangun kepercayaan dan mengubah perilaku publik melalui pendekatan yang komunikatif dan empatik.
Namun, strategi kolaboratif ini tidak lepas dari tantangan etis dan profesional. Pertama, humas pemerintah harus memastikan bahwa kerja sama dengan influencer tetap menjaga prinsip netralitas dan tidak terjebak dalam kepentingan politik tertentu.
Dalam konteks birokrasi publik, setiap pesan yang disampaikan seharusnya bersifat informatif, edukatif, dan non-partisan. Kedua, keaslian dan kredibilitas influencer menjadi faktor krusial dalam menentukan keberhasilan kampanye digital.
Penggunaan figur yang memiliki reputasi baik, nilai moral yang kuat, serta keterlibatan sosial yang positif akan memperkuat pesan yang disampaikan. Sebaliknya, jika kolaborasi dilakukan dengan tokoh yang kontroversial atau memiliki rekam jejak negatif, maka hal tersebut justru dapat menurunkan citra pemerintah di mata publik.
Selain itu, pengukuran efektivitas kampanye digital juga menjadi aspek penting dalam manajemen kehumasan modern. Keberhasilan tidak hanya diukur dari jumlah tayangan atau engagement rate, tetapi juga dari perubahan persepsi dan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pemerintah.
Humas pemerintah perlu mengembangkan sistem evaluasi berbasis data untuk menganalisis dampak komunikasi digital terhadap opini publik. Penggunaan social media analytics dapat membantu mengidentifikasi isu-isu strategis, memantau respon masyarakat, dan menyesuaikan strategi komunikasi secara real-time. Dengan cara ini, humas pemerintah tidak hanya reaktif terhadap situasi, tetapi juga mampu mengantisipasi dinamika opini publik yang berkembang di dunia maya.
Dalam kerangka pelayanan publik yang responsif dan inklusif, kolaborasi digital juga mencerminkan upaya pemerintah untuk lebih dekat dengan masyarakat. Humas pemerintah dapat memanfaatkan berbagai platform seperti Instagram, TikTok, YouTube, maupun X (Twitter) untuk menyebarkan informasi mengenai layanan publik, kebijakan sosial, serta program pembangunan.
Melalui pendekatan yang kreatif dan humanis, pemerintah dapat menampilkan wajah yang lebih terbuka, ramah, dan mendengar aspirasi warga. Hal ini sejalan dengan prinsip good governance yang menekankan transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas dalam setiap proses komunikasi publik.
Keterlibatan influencer juga dapat menjadi strategi untuk memperluas jangkauan komunikasi ke kelompok masyarakat yang selama ini kurang terlibat dalam diskursus kebijakan publik. Misalnya, melalui kolaborasi dengan kreator konten edukatif, pesan tentang literasi digital, kesehatan mental, atau pemberdayaan ekonomi dapat disampaikan dengan cara yang lebih menarik dan berdampak. Dengan demikian, komunikasi pemerintah menjadi lebih inklusif dan adaptif terhadap kebutuhan beragam segmen masyarakat.
Meski begitu, penting bagi humas pemerintah untuk tetap mempertahankan fungsi edukatif dan informatif dalam setiap kolaborasi. Pemerintah tidak boleh terjebak dalam euforia popularitas media sosial yang menekankan pada likes dan views, tetapi harus berorientasi pada substansi pesan yang mencerdaskan publik. Di sinilah peran etika komunikasi publik menjadi landasan utama agar strategi digital tidak kehilangan nilai-nilai profesionalisme dan integritas birokrasi.
Transformasi digital juga menuntut peningkatan kapasitas sumber daya manusia di bidang kehumasan pemerintah. Aparatur humas perlu dibekali kemampuan digital literacy, content management, serta pemahaman mendalam mengenai algoritma dan perilaku pengguna media sosial.
Selain itu, dibutuhkan kemampuan kolaboratif lintas sektor, karena strategi komunikasi modern tidak bisa dilakukan secara parsial. Sinergi antara lembaga pemerintah, media massa, komunitas, dan influencer merupakan kunci dalam menciptakan komunikasi publik yang efektif dan berkelanjutan.
Pada akhirnya, penggunaan influencer dan kolaborasi digital bukan sekadar alat promosi, tetapi menjadi bagian dari strategi komunikasi pemerintah yang holistik. Di tengah menurunnya kepercayaan terhadap institusi formal, pendekatan ini dapat memperkuat kedekatan emosional antara pemerintah dan masyarakat. Selama dilakukan secara etis, profesional, dan transparan, strategi ini mampu membangun citra positif yang berakar pada kepercayaan, bukan sekadar citra kosmetik.
Humas pemerintah masa kini dihadapkan pada tantangan besar: bagaimana mengelola arus informasi di tengah banjir konten, menjaga kepercayaan publik, dan menegakkan prinsip pelayanan yang responsif serta inklusif. Kolaborasi digital dengan influencer hanyalah salah satu wujud adaptasi terhadap perubahan zaman, tetapi nilai-nilai integritas, transparansi, dan tanggung jawab publik tetap menjadi fondasi utama.
Dengan mengelola komunikasi publik secara strategis dan manusiawi, pemerintah dapat membangun hubungan yang lebih harmonis dengan masyarakat di era digital yang serba cepat ini—sebuah hubungan yang tidak hanya berbasis pada citra, tetapi pada kepercayaan dan partisipasi nyata warga negara.
Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Andalas*)



