Korupsi dan Luka yang Tak Kunjung Sembuh

Oleh : Mohammad Isa Gautama*)

SETIAP tanggal 9 Desember dunia memperingati Hari Anti Korupsi Sedunia. Di Indonesia, peringatan ini selalu diramaikan dengan slogan, seremoni, dan pidato pejabat tentang komitmen integritas.

Tetapi publik sudah hapal: begitu kamera dimatikan, sebagian dari mereka yang berpidato tentang kejujuran justru sedang menegosiasikan proyek di ruang tertutup. Tahun berganti, tema kampanye berubah, tetapi luka sosial bernama korupsi tetap menganga di tubuh bangsa.

Laporan Transparency International 2024 mencatat Indonesia berada di peringkat 99 dari 180 negara, dengan skor 37. Sempat membaik dibanding 2023 (skor 34), namun angka itu belum cukup untuk menandai perbaikan substansial. Skor tersebut masih menempatkan Indonesia dalam kategori negara dengan tingkat korupsi tinggi.

Publik tahu, peningkatan angka tidak selalu berarti peningkatan moral. Di lapangan, wajah korupsi justru makin terfragmentasi, bukan hanya di pusat kekuasaan, tapi juga di ruang-ruang pelayanan dasar: perizinan, pengadaan, bantuan sosial, bahkan rekrutmen pegawai negeri.

Fenomena ini memperlihatkan korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan sistem sosial yang tumbuh dari pembiaran panjang. Ia hidup dari kompromi yang diwariskan, dari ketidaktegasan hukum, dan dari budaya “asal bapak senang” yang menjadikan kejujuran terasa asing di kantor-kantor publik.

Yang lebih mengkhawatirkan, korupsi kini tidak lagi ditakuti. Ia dianggap bagian dari kelaziman birokrasi. Kita hidup dalam masyarakat yang tahu korupsi itu salah, tetapi tidak benar-benar marah.

Budaya yang Memfosil

Reformasi 1998 lahir dari semangat membangun pemerintahan yang bersih dan transparan. Namun dua dekade kemudian, kita justru menyaksikan lembaga antikorupsi yang dilemahkan. Sejak revisi Undang-Undang KPK tahun 2019, independensi lembaga itu tergerus.

Jumlah operasi tangkap tangan menurun drastis. Banyak kasus besar berhenti di meja administrasi tanpa kejelasan hukum. Para koruptor tidak lagi gentar. Mereka tahu ancaman hukuman bisa dinegosiasikan melalui jalur politik.

Dalam teori principal–agent, korupsi muncul ketika pengawasan lemah dan manfaat pribadi jauh lebih besar daripada risiko tertangkap. Kondisi ini menjelaskan mengapa sistem birokrasi Indonesia gagal mencegah korupsi.

Transparansi hanya menjadi jargon administratif, bukan nilai yang dihidupi. Bahkan dalam konteks collective action, korupsi menjadi perilaku sosial: semua orang tahu itu salah, tetapi semua juga melakukannya. Di sinilah bencana moral itu tumbuh, ketika pelanggaran menjadi kebiasaan dan kejujuran dianggap tidak realistis.

Survei Indikator Politik Indonesia (2024) menunjukkan 73 persen warga menilai pemberantasan korupsi semakin melemah. Angka ini menunjukkan krisis kepercayaan terhadap negara. Rakyat tak lagi yakin keadilan bisa ditegakkan secara setara.

Jika kepercayaan publik runtuh, hukum kehilangan daya legitimasi. Di sinilah korupsi bekerja paling efektif: bukan hanya mencuri uang rakyat, tetapi juga merampas rasa percaya terhadap negara.

Ironis, banyak pejabat bicara integritas di depan kamera, namun gagal mencontohkan dalam perilaku. Dalam konteks komunikasi publik, kredibilitas sumber pesan menentukan efektivitas pesan itu sendiri.

Ketika pejabat yang menyerukan antikorupsi justru menjadi tersangka gratifikasi, pesan moralnya mati sebelum sampai ke telinga rakyat. Inilah bentuk paling parah dari krisis komunikasi politik: kata-kata kehilangan makna karena tidak didukung laku.

Lebih tragis lagi, generasi muda tumbuh dalam lanskap sosial yang menganggap suap kecil sebagai hal lumrah. Di kantor pelayanan publik, “uang terima kasih” disebut sopan santun. Di proyek pembangunan, mark-up dianggap strategi bertahan.

Di lembaga pendidikan, plagiarisme masih ditoleransi. Semua itu adalah bibit dari satu penyakit besar: hilangnya rasa malu. Budaya tanpa malu ini bagaikan tulang belulang yang memfosil, mengeras dan semakin awet.

Jalan Sunyi Integritas

Hari Anti Korupsi Sedunia seharusnya tidak berhenti pada seremoni. Ia mestinya menjadi momentum untuk membangun sistem yang mencegah peluang korupsi sejak dini. Pencegahan berbasis risiko jauh lebih penting daripada sekadar penindakan.

Pengadaan barang dan jasa, perizinan, dan politik anggaran adalah area paling rawan dan harus diawasi secara digital dan terbuka. Setiap proyek pemerintah wajib memiliki public dashboard yang bisa dipantau masyarakat. Transparansi tidak boleh menjadi hak istimewa pejabat, melainkan hak publik.

Lebih jauh, tanpa kompas moral, sistem secanggih apa pun akan dimanipulasi. Karena itu, pendidikan antikorupsi perlu diarahkan bukan hanya pada pengetahuan, tapi pembentukan watak. Anak muda harus dibiasakan menolak jalan pintas, baik di ruang akademik maupun sosial.

Kejujuran tidak lahir dari pidato, tetapi dari kebiasaan kecil yang diulang setiap hari. Di sinilah kampus, sekolah, dan keluarga harus berperan aktif menanamkan nilai bahwa integritas bukan pilihan, melainkan kewajiban.

Di sisi lain, reformasi pendanaan politik menjadi keharusan. Selama biaya pemilu dibiayai oleh sponsor besar, korupsi akan tetap hidup untuk menutup ongkos politik. Partai harus berani membuka sumber dan penggunaan dananya secara publik.

Negara harus menata ulang mekanisme subsidi politik agar kompetisi elektoral tidak melahirkan transaksi kekuasaan. Demokrasi yang dibiayai oleh uang gelap hanya akan melahirkan kebijakan gelap.

Intinya, perlawanan terhadap korupsi tidak memerlukan massa besar, cukup dimulai dari keputusan kecil untuk menolak ikut dalam lingkaran kotor itu. Dalam setiap kantor, kampus, sekolah, dan komunitas, selalu ada ruang untuk memilih bersih meskipun sepi. Keberanian moral sering lahir dari kesunyian.

Sejarah bangsa menunjukkan bahwa perubahan besar selalu dimulai oleh minoritas yang tidak mau kompromi. Mereka yang menolak disuap, yang menolak tanda tangan fiktif, yang menolak diam. Mereka mungkin tidak terkenal, tapi justru merekalah pilar terakhir integritas bangsa. Negara yang gagal melindungi mereka sejatinya sedang menghukum kebenaran.

Sekali lagi, semoga momentum Harkordia membuahkan kejujuran untuk melihat betapa parah luka yang ditimbulkan oleh korupsi. Selama kita masih menoleransi kebohongan kecil, kita sedang memupuk kejahatan besar.

Dan selama integritas masih dianggap pilihan, bukan kewajiban, maka hari antikorupsi hanyalah tanggal di kalender. Saatnya bangsa ini berhenti berpura-pura, menolak normalisasi kejahatan, dan memperkuat komitmen, integritas dan konsistensi mentalitas antikorupsi. [*]

Kepala Pusat Kajian Gerakan Bersama Antikorupsi (PK Gebrak) Univeritas Negeri Padang*)

Exit mobile version