Pengalihan Isu di Era Viral: Ketika Gosip Lebih Menggoda daripada Fakta

Oleh : Ryan Maulana Putra*)

Di tengah bencana yang menelan banyak korban dan masalah sosial yang mendesak, linimasa media sosial justru ramai membicarakan gosip perselingkuhan tokoh publik. Fenomena ini seolah berulang setiap kali ada isu penting yang menyentuh kepentingan masyarakat luas.

Ketika publik seharusnya fokus pada krisis atau kebijakan yang berdampak nyata, perhatian justru teralihkan pada isu pribadi yang jauh dari urgensi publik. Inilah wajah baru komunikasi massa di era viral: cepat, sensasional, dan sering kali dangkal.
Fenomena pengalihan isu bukan hal baru.

Namun, di era digital, mekanismenya menjadi jauh lebih efektif. Ketika satu isu viral di media sosial, algoritma platform akan terus memperkuat penyebarannya, menjadikannya trending, dan menenggelamkan isu lain yang sebenarnya lebih penting.

Media arus utama pun sering ikut terbawa arus, menyorot gosip atau drama publik karena dianggap “lebih menjual”. Akibatnya, ruang publik yang seharusnya menjadi arena diskusi rasional, berubah menjadi panggung sensasi dan hiburan massal.

Kasus terbaru, misalnya, mencuatnya isu perselingkuhan mantan pejabat dengan seorang artis yang bertepatan dengan berita bencana besar di Sumatera. Sebagian warganet menilai, munculnya gosip tersebut bukan kebetulan, melainkan strategi pengalihan perhatian publik.

Benar atau tidak, yang pasti isu ringan semacam itu dengan cepat menutupi diskusi soal korban, penanganan darurat, dan tanggung jawab pemerintah. Ini menunjukkan bahwa dalam lanskap komunikasi sekarang, perhatian publik adalah komoditas yang bisa diarahkan dengan mudah.

Masalah utamanya bukan hanya pada media, tetapi juga pada masyarakat yang kian mudah teralihkan. Kecepatan informasi membuat publik kehilangan daya tahan terhadap isu berat.

Gosip dianggap lebih menarik karena menawarkan drama, emosi, dan kedekatan psikologis—sesuatu yang tidak ditemukan dalam berita serius. Akibatnya, empati terhadap isu kemanusiaan menurun, dan kesadaran kritis perlahan terkikis.

Di sinilah krisis literasi media menjadi sorotan. Banyak orang belum mampu membedakan mana berita yang penting secara sosial dan mana yang sekadar sensasi sesaat. Literasi media bukan sekadar kemampuan membaca berita, tetapi juga kemampuan memahami konteks, memverifikasi sumber, dan menyadari arah framing media.

Tanpa kemampuan itu, masyarakat mudah digiring oleh narasi yang dibuat untuk kepentingan tertentu entah politik, ekonomi, maupun popularitas.

Selain itu, tanggung jawab moral juga perlu dimiliki oleh media dan figur publik. Media seharusnya tidak hanya mengejar klik atau rating, tapi juga menjaga fungsi sosialnya sebagai penyampai kebenaran dan pendorong kesadaran publik.

Sementara itu, tokoh publik perlu lebih bijak dalam menyikapi rumor agar tidak memperkeruh ruang informasi yang sudah sesak oleh hoaks dan spekulasi.

Kita memang hidup di era di mana semua hal bisa viral dalam hitungan detik. Tapi kecepatan tidak seharusnya mengalahkan kedalaman. Masyarakat perlu belajar menahan diri untuk tidak langsung terpancing oleh isu yang belum tentu penting. Sebab, setiap kali perhatian kita teralihkan ke gosip, ada fakta penting yang terlewat.

Pada akhirnya, pengalihan isu di era viral bukan hanya soal strategi politik atau media, tapi juga soal karakter masyarakat dalam mengonsumsi informasi. Kita perlu belajar kembali untuk memandang berita bukan sebagai hiburan, tetapi sebagai cermin kehidupan bersama. Karena selama gosip masih lebih menggoda daripada fakta, kesadaran sosial akan terus kalah oleh keinginan untuk sekadar ikut ramai. []

Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam*)

Exit mobile version