Antara Lelah dan Lillah Perjalanan Sunyi Seorang Penghafal Qur’an

Oleh : Anggi Saputri*)

1. Pendahuluan

Menjadi penghafal Al-Qur’an bukan sekadar prestasi spiritual, melainkan juga perjalanan panjang yang menuntut kesabaran, ketulusan, dan konsistensi.

Dalam dunia modern yang sangat berkembang pesat, menjaga hafalan Al-Qur’an menjadi tantangan yang tidak ringan. Banyak hafidz dan hafidzah muda yang berjuang di antara rasa lelah fisik, kejenuhan mental, dan godaan dunia.

Namun, di balik kelelahan itu tersimpan niat yang “lillah” semata-mata karena Allah. Bagi orang yang menghafal Al- Qur’an manfaatnya tidak saja dapat di raih melalui pengalaman, tetapi juga melalui pembacaannya.

Menurut Rasulullah Saw, setiap orang yang membaca Alquran akan mendapat satu kebaikan dari tiap huruf yang dibacanya, bahkan boleh saja ditambah dengan 10 kebaikan (Su’aib dan Muhammad, 2011:67).

Dalam dunia modern yang penuh tantangan, perjuangan penghafal Al Qur’an semakin berat. Kehadiran teknologi, media sosial, dan hiburan digital membuat fokus dan konsentrasi menjadi ujian tersendiri. Para santri tahfidz dituntut untuk menjaga kesucian hati di tengah derasnya arus informasi yang sering kali melalaikan.

Disinilah letak keistimewaan mereka di antara hiruk pikuk dunia yang semakin materialistis, mereka memilih menundukkan kepala, melafalkan ayat-ayat suci, dan menjadikan Al-Qur’an sebagai pusat kehidupannya.

Keputusan ini bukan hal yang mudah dibutuhkan kesabaran, kedisiplinan, dan keyakinan yang kuat bahwa setiap huruf yang dihafal adalah investasi amal yang kekal.

Dengan demikian, ungkapan “antara lelah dan lillah” tidak hanya menggambarkan kondisi fisik seorang penghafal, tetapi juga menjadi simbol dari perjuangan batin manusia modern dalam mempertahankan nilai keikhlasan dan kesabarannya di era serba pragmatis dan modren saat ini.

2. Pembahasan

1. Makna “Antara Lelah dan Lillah” dalam Konteks Kehidupan Tahfidz

Kata tahfiz merupakan bentuk masdar dari haffaza, asal dari kata hafiza yahfazu yang artinya “menghafal”. Hafiz menurut Quraisy Syihab terambil dari tiga huruf yang mengandung makna memelihara dan mengawasi.

Dari makna ini kemudian lahir kata menghafal, karena yang menghafal memelihara dengan baik ingatannya. Juga makna “tidak lengah”, karena sikap ini mengantar kepada keterpeliharaan, dan “menjaga”, karena penjagaan adalah bagian dari pemeliharaan dan pengawasan, kesempurnaannya.

Tahfiz Al-Qur’an adalah proses untuk memelihara, menjaga dan melestarikan kemurnian Al-Qur’an yang diturunkan kepada Rasulullah SAW, di luar kepala agar tidak terjadi perubahan dan pemalsuan serta dapat menjaga dari kelupaan baik secara keseluruhan maupun sebagiannya.

“Sedangkan program pendidikan menghafal Al-Qur’an adalah menghafal Al- Qur’an dengan mutqin (hafalan yang kuat) terhadap lafadz-lafadz nya dan menghafal maknanya dengan kuat yang memudahkan untuk menghindarkannya setiap mengahadapi berbagai masalah kehidupan, yang mana Al-Qur’an senantiasa ada dan hidup di dalam hati sepanjang waktu sehingga memudahkan untuk menerapkan dan mengamalkannya” (Al Lahim, 2008:19).

Sedangkan Ungkapan “antara lelah dan lillah” menggambarkan dilema sekaligus keseimbangan antara rasa manusiawi dan keikhlasan ilahiah.

“Lelah” adalah bagian wajar dari perjuangan manusia di antaranya bangun di jam tiga malam untuk melaksankan shalat tahajud sekaligus di gunakan untuk waktu menghafal atau ziyadah (menambah hafalan baru) sampai sebelum matahari terbit di waktu subuh, muroja’ah (mengulang hafalan) yang telah di setorkan walaupun tidak lancar-lancar tetapi itu semua adalah bagian dari perjuangan seorang yang memperjuangkan kitabullah dan cara agar ayat-ayat yang di lantunkan selalu terjaga di dalam dada.

Namun “lillah” yang berarti “karena Allah” menjadi energi batin yang membuat setiap rasa lelah terasa ringan. Dalam konteks pendidikan Islam,motivasi lillah merupakan puncak keikhlasan dalam belajar. Seorang penghafal Al Qur’an yang menjadikan hafalannya semata-mata untuk Allah akan memiliki daya tahan luar biasa terhadap tekanan dan ujian.

Hafalan bukan sekadar kemampuan memori, melainkan bentuk ibadah. Maka, antara lelah dan lillah adalah ruang di mana hati diuji, iman ditumbuhkan, dan keikhlasan dipupuk. Menghafal Qur’an juga bukan tentang banyak atau tidak hafalannya tetapi tentang siapa yang istiqomah dalam menjaganya (Nining Nursanti, 2020:4).

2. Proses dan Tantangan Seorang Penghafal Al-Qur’an

Menghafal Al-Qur’an telah membudaya bahkan berkembang terutama di kalangan santri, ini terjadi karena menurut masyarakat khususnya Islam di Indonesia beranggapan bahwa Al-Qur’an menjadi suatu hal yang sangat sakral dan perlu diagungkan. Sehingga bagi mereka menghafal Al-Qur’an adalah suatu perbuatan yang bisa mendatangkan keberkahan karena kemuliaannya.

“Namun dalam Proses menghafal Al-Qur’an melibatkan semua aspek. Rata-rata hafidz menghabiskan waktu 2–4 tahun untuk menyelesaikan hafalannya. Setiap hari kita harus siap untuk membaca, mengulang dan meghafalnya agar melekat kuat dalam ingatan” (Atabik, 2014:11).

Namun perjalanan ini tidak selalu mudah, sangat banyak tantangan yang akan datang karena di zaman sekarang banyak ujian yang melanda apalagi minimnya akhlak para remaja di zaman sekarang ini. Dari lingkungan yang tidak nyaman, pergaulan yang bebas dan banyalk lainnya (Sari Nurhidayah, 2022:9).5.

Antara Hafalan dan Pengamalan Makna Lillah yang Sesungguhnya Hafidz sejati bukan hanya yang fasih melafalkan ayat, tetapi yang menampilkan akhlak Al-Qur’an dalam keseharian jujur, rendah hati, sabar, dan berkasih sayang.

Karena jika kita telah memutuskan ingin menjadi penghafal Qur’an maka perilaku, tindakan, sikap kita itu haruslah sejalan dan sesuai dengansyariat yang telah di tentukan, maka terkadang dari itulah banyak orang yang menyerah untuk menjadi penghafal Qur’an, karena jika kita terus bermaksiat maka hafalan tidak akan bertahan lama yakinlah dengan hal itu, itulah perbedaan hafalan Qur’an dengan hafalan yang lain seperti hafalan pembelajaran umum kita bermaksiat pun hafalan nya masih tetap terjaga di dalam ingatan kita.

Jadi tidak semua orang sanggup dalam menghafal kerena hanya orang terpilihlah yang allah berikan nikmat untuk menghafal. Walaupun terkadang kita ingin rasanya berputus asa, karena syurga itu terlalu mahal untuk di gapai perlu perjuangan, pengorbanan, serta terkadang tumpah darah untuk mendapatkannya.

Kita lihat di luar sana banyak para pejuang syahid selain dari menghafal Qur’an yang memperjuangkan agama allah mereka tidak berputus asa sekalipun mereka dalam keadaan lapar, haus, sakit inikah yang di namakan perjuangan?

Maka mulai saat ini bangkitlah, mulai semangat baru, istiqomah dan selalu berusaha untuk meningkatkan kualitas dari hafalanmu bukan hanya kuantitasnya, serta implementasinya (Muhammad Hidayat, 2023:7).

3. Penutup

Menjadi penghafal Al-Qur’an bukanlah perjalanan yang mudah, melainkan perjuangan panjang yang menuntut keteguhan hati, kesabaran, dan keikhlasan yang mendalam.

Setiap hafidz dan hafidzah melewati masa-masa berat di mana semangat diuji, niat dipertanyakan, dan hafalan harus terus dijaga agar tetap melekat dalam ingatan.

Namun di balik setiap kelelahan yang mereka rasakan, tersimpan kekuatan spiritual yang luar biasa yaitu kesadaran bahwa semua perjuangan itu dilakukan lillah, semata-mata karena Allah.

Ungkapan “antara lelah dan lillah” menjadi cerminan nyata dari keseharian para penghafal Al-Qur’an. Lelah adalah sisi manusiawi yang tidak bisa dihindari, tetapi lillah adalah kekuatan ilahi yang membuat mereka terus melangkah tanpa menyerah.

Setiap tetes keringat, setiap malam tanpa tidur, dan setiap pengulangan ayat adalah bagian dari proses mendekatkan diri kepada Allah. Melalui proses itulah muncul kedewasaan spiritual: keikhlasan dalam beribadah, ketenangan dalam perjuangan, serta rasa syukur dalam setiap ujian.

Perjalanan sunyi ini tidak hanya membentuk pribadi yang kuat secara spiritual, tetapi juga memberikan teladan bagi masyarakat luas. Di tengah arus modernisasi dan kemerosotan nilai moral, kehadiran para penghafal Al-Qur’an menjadi simbol keteguhan iman dan ketulusan hati.

Mereka menunjukkan bahwa menghafal bukan hanya soal daya ingat, melainkan tentang kemauan untuk menjaga kalam Allah dalam kehidupan. Nilai-nilai yang tertanam dalam diri mereka disiplin, kesabaran, dan ketulusan merupakan cerminan karakter Qur’ani yang seharusnya menjadi contoh bagi setiap generasi.

Akhirnya, perjalanan antara lelah dan lillah mengajarkan bahwa kelelahan yang dilandasi keikhlasan tidak akan pernah sia-sia. Setiap rasa letih akan berbuah manis ketika diniatkan untuk mencari ridha Allah. Para penghafal Al-Qur’an membuktikan bahwa di balik perjuangan yang sunyi, terdapat kebahagiaan yang suci. Dari mereka kita belajar bahwa jalan menuju Allah tidak selalu mudah, tetapi selalu indah bagi hati yang tulus. []

4. Daftar Pustaka

Hidayat, M. (2023). Budaya Tahfidz di Tengah Modernitas: Studi Fenomenologis pada Santri Milenial. Jurnal Sosial Keagamaan, 7(3), 223–239.

Nurhidayah, S. (2022). Motivasi dan Tantangan Santri dalam Menghafal Al Qur’an di Pondok Tahfidz. Jurnal Pendidikan Islam dan Psikologi, 5(2), 114–128.

Mirsanti, N. (2020). Kontrol diri pada remaja penghafal Al-Qur’an di Pondok Pesantren Modern Muhammadiyah Boarding School (MBS) 2 Yogyakarta. Hisbah: Jurnal Bimbingan Konseling dan Dakwah Islam, 17(1), 87–100. Su’aib dan Muhammad (2011). Tantangan Penghafal Qur’an di era globalisasi.

Jurnal Pendidikan Islam dan Psikologi, 6(9), 67. Atabik, (2014). Gaya Hidup Penghafal Qur’an di Era Milenial. Jurnal Keagamaan, 9(3), 8.

Al-Lahim, (2008). Motivasi Penghafal Qur’an. Jurnal Keagamaan dan Pendidikan, 10(5), 19.

Mahasiswa Prodi PAI Fakultas Tarbiyah dan Keguruan STAI-PIQ Sumbar *)

Exit mobile version