Oleh : Randi Putra*)
Pada akhir tahun 2025, Pulau Sumatra dilanda bencana alam yang dahsyat berupa banjir bandang dan tanah longsor yang melanda tiga provinsi utama: Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
Kejadian ini, yang dimulai sejak akhir November 2025 akibat curah hujan ekstrem, telah menimbulkan korban jiwa yang sangat besar dan kerusakan infrastruktur yang luas. Hingga 28 Desember 2025, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan bahwa setidaknya 1.140 orang meninggal dunia, 163 orang masih hilang, dan hampir 450.000 warga mengungsi.
Bencana ini tidak hanya menjadi ujian bagi ketahanan masyarakat setempat, tetapi juga menggambarkan bagaimana prinsip keadilan sosial, sebagaimana tertuang dalam sila kelima Pancasila, harus diterapkan dalam penanganan krisis nasional.
Kronologi dan Penyebab Bencana
Bencana ini dipicu oleh curah hujan ekstrem yang melanda wilayah Sumatra sejak akhir November 2025. Menurut laporan, hujan deras yang berkepanjangan menyebabkan banjir bandang dan longsor di daerah pegunungan dan dataran rendah.
Di Sumatera Barat, misalnya, wilayah seperti Kabupaten Agam, Aceh Tamiang dan sekitarnya menjadi salah satu yang paling parah terdampak, dengan air bah yang menghanyutkan rumah-rumah dan jalan raya.
Di Aceh dan Sumatera Utara, longsor menutup akses jalan dan menghancurkan permukiman. Faktor lain yang memperburuk situasi adalah deforestasi dan perubahan iklim, yang membuat tanah lebih rentan terhadap erosi.
BNPB mencatat bahwa peristiwa ini termasuk dalam kategori bencana hidrometeorologi, yang semakin sering terjadi akibat pemanasan global.
Pada 20 Desember 2025, gempa bumi berkekuatan 4,6 magnitudo di Sumatra Selatan turut memperburuk kondisi, meskipun tidak secara langsung terkait dengan banjir utama.
Kronologi ini menunjukkan bagaimana rangkaian kejadian alam dapat saling memperkuat, menciptakan dampak yang lebih destruktif.
Dampak yang Luas dan Menghancurkan
Dampak bencana ini sangat parah, baik dari segi korban manusia maupun kerusakan materiil. Hingga 27 Desember 2025, korban meninggal mencapai 1.138 jiwa, dengan 163 orang hilang dan 449.846 jiwa mengungsi. Infrastruktur seperti jalan, jembatan, dan rumah sakit rusak berat, menyulitkan proses evakuasi dan distribusi bantuan.
Di Sumatera Barat, banjir bandang di Kecamatan Malalak menyebabkan kerusakan material yang signifikan, termasuk rumah-rumah yang hanyut dan lahan pertanian yang rusak.
Secara ekonomi, bencana ini memukul sektor pertanian dan pariwisata di wilayah tersebut. Ribuan hektar sawah dan kebun rusak, mengancam ketahanan pangan masyarakat setempat. Selain itu, hampir setengah juta pengungsi membutuhkan bantuan darurat seperti makanan, air bersih, dan tempat tinggal sementara.
Situasi ini semakin diperburuk oleh risiko penyakit menular pasca-bencana, seperti diare dan infeksi kulit akibat air yang tercemar.
Respons Pemerintah dan Masyarakat
Pemerintah pusat melalui BNPB telah mengkoordinasikan penanganan bencana sejak awal. Pada 28 Desember 2025, BNPB menyampaikan update terkini mengenai penanganan, termasuk pengerahan tim SAR untuk mencari korban hilang dan distribusi logistik.
Bantuan internasional juga mulai mengalir, dengan organisasi seperti Palang Merah dan lembaga kemanusiaan lainnya terlibat dalam operasi penyelamatan. Di tingkat lokal, polisi dan TNI membantu evakuasi, sementara relawan masyarakat bergotong royong membangun tenda pengungsian.
Meskipun demikian, ada kritik terhadap kecepatan respons, terutama di daerah terpencil yang sulit dijangkau. Beberapa laporan menyebutkan bahwa bantuan belum merata, dengan wilayah pedesaan menerima lebih sedikit dukungan dibandingkan kota besar. Hal ini menyoroti tantangan dalam memastikan akses yang adil bagi semua korban.
Kaitan dengan Sila Kelima Pancasila: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Sila kelima Pancasila, “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, menjadi sangat relevan dalam konteks bencana Sumatra ini. Prinsip ini menekankan bahwa negara harus menjamin kesejahteraan dan keadilan bagi semua warga, tanpa diskriminasi.
Dalam penanganan bencana, keadilan sosial tercermin melalui distribusi bantuan yang merata, prioritas pada kelompok rentan seperti anak-anak, lansia, dan masyarakat miskin, serta upaya pencegahan jangka panjang.
Bencana ini menguji penerapan sila tersebut. Di satu sisi, respons pemerintah menunjukkan solidaritas nasional, dengan alokasi dana darurat dan bantuan dari seluruh Indonesia, yang mencerminkan semangat gotong royong. Namun, ketidakmerataan akses bantuan di daerah terpencil mengingatkan kita pada potensi pelanggaran keadilan sosial. Masyarakat di Sumatra, yang mayoritas bergantung pada pertanian dan hidup di bawah garis kemiskinan, sering menjadi korban pertama bencana alam, sementara pemulihan mereka memerlukan dukungan berkelanjutan.
Untuk mewujudkan sila kelima, pemerintah perlu memperkuat sistem mitigasi bencana yang inklusif, seperti program reboisasi dan pendidikan lingkungan yang melibatkan masyarakat lokal. Selain itu, rekonstruksi pasca-bencana harus memprioritaskan keadilan, misalnya dengan membangun infrastruktur tahan bencana di wilayah marjinal.
Pancasila mengajarkan bahwa keadilan sosial bukan hanya tanggung jawab negara, tetapi juga panggilan bagi seluruh rakyat untuk saling membantu, sebagaimana terlihat dalam aksi relawan saat ini.
Kesimpulan
Bencana banjir bandang dan longsor di Sumatra pada Desember 2025 adalah tragedi yang menyedihkan, dengan ribuan korban dan kerusakan yang masif. Namun, di balik kesedihan ini, ada pelajaran berharga tentang pentingnya keadilan sosial sebagai pondasi bangsa.
Dengan menerapkan sila kelima Pancasila secara sungguh-sungguh, Indonesia dapat bangkit lebih kuat, memastikan bahwa setiap warga, di mana pun berada, mendapatkan haknya atas kehidupan yang layak dan aman.
Mari kita jadikan momen ini sebagai momentum untuk memperkuat solidaritas dan pencegahan bencana di masa depan. []
