Fatamorgana Satirea

Cerpen Yunardi Sikumbang

Satirea selalu merasa hidupnya belum lengkap. Padahal, kalau dilihat orang sekampung, hidup keluarganya sudah lebih dari cukup. Ibu dan bapaknya pensiunan PNS, punya tanah pusaka yang luas, rumah pun tak pernah kekurangan beras. Semua kebutuhan Satirea—mulai dari uang jajan sampai sekolah di pesantren ternama—terpenuhi tanpa banyak ribut.

Tapi entah mengapa, setelah tamat kuliah, Satirea justru bersikeras ingin merantau ke Jakarta.

“Untuk apa lagi kau ke sana, Nak? Di sini pun kau sudah cukup,” kata ibunya suatu malam.

Satirea hanya tersenyum kecil. Dalam hatinya ia selalu merasa: “Belum, aku belum kaya.”

Sejak mondok di pesantren dulu, Satirea punya banyak teman dari keluarga kaya raya. Ada yang orang tuanya punya perusahaan di Jakarta, ada yang pengusaha di kota besar lain, ada pula yang liburannya ke luar negeri seolah pergi ke warung depan rumah.

Dibanding mereka, hidup keluarga Satirea terasa sederhana sekali—padahal di kampung dia termasuk anak orang terpandang.

Waktu liburan, ia sering diajak teman-temannya ke Jakarta. Gratis. Tidur di rumah mewah, naik mobil mahal, makan di tempat-tempat yang hanya pernah ia lihat di TV. Dari situlah cita-cita “mau jadi orang kaya” mulai menempel kuat di pikirannya.

Makanya, ketika kesempatan pertama datang begitu ia lulus kuliah, tekadnya sudah bulat. Ia pergi meski orang tuanya tak merestui.

***²

Awal tinggal di Jakarta, semuanya berjalan mudah. Berkat jaringan teman-temannya, Satirea cepat mendapat pekerjaan. Mungkin saking mudahnya, ia jadi hobi pindah-pindah kantor—sesuai mood.

Sampai suatu hari, ia diterima menjadi asisten seorang pengusaha sukses. Tidak lama kemudian, ia dinikahi oleh anak sang bos, Ariea—lelaki gagah, parlente, dan penerus beberapa perusahaan keluarga.

“Hidupku akan berubah,” begitu pikir Satirea.

Ia membayangkan tinggal di rumah mewah, punya anak lucu, mengenakan tas mahal, dan tentu saja… menjadi bagian dari kaum jet set ibu kota.

Sayangnya, kebahagiaan itu cuma bertahan satu setengah tahun.

Satirea mulai merasa tidak cocok dengan Ariea. Bukan karena uang—soal itu jelas aman. Tapi gaya hidup Ariea jauh berbeda dari nilai-nilai yang ditanamkan orang tua Satirea. Lelaki itu suka dugem, merokok, pulang larut malam. Berkali-kali Satirea menasihati dengan sabar, tapi tak ada perubahan.

Suatu malam, setelah pertengkaran yang melelahkan, kata itu meluncur begitu saja:

“Kalau kamu tidak mau berubah… ceraikan aku.”

Kalimat yang bahkan membuat dirinya sendiri terkejut. Tapi ia sudah tak sanggup lagi.

Ariea yang sedang emosi membalas, “Baik! Aku juga muak lihat hidupmu yang kampungan! Jilbab, shalat malam, pengajian setiap minggu… aku ingin hidup bebas!”

Pernikahan itu pun runtuh secepat ia dibangun. Dan karena Satirea yang meminta cerai, ia keluar dari rumah itu tanpa membawa apa pun—kecuali pandangan suram tentang masa depannya.

Sejak itu hidupnya berputar tak tentu arah.

Ia mencoba melamar kerja lagi di Jakarta, tapi tidak semudah dulu. Relasi yang dulu mengangkatnya perlahan hilang. Ia sempat tinggal di panti asuhan karena tak punya tempat lain. Untuk pulang ke kampung, ia malu. Ia masih ingin membuktikan dirinya bisa kaya raya.

Namun pada saat yang sama, kabar buruk datang: ibunya sakit.

Mau tak mau, Satirea pulang. Biaya perjalanan dan hidup kembali ditanggung kakak-kakaknya. Ia merawat ibunya dengan setia hingga wafat.

Sayangnya, setelah kedua orang tuanya meninggal, kondisi ekonomi keluarga justru makin terjepit. Kakak tertua bekerja sebagai guru PNS, adik bungsu belum punya pekerjaan tetap, sementara kakak lelaki satu-satunya terlalu sibuk mengejar mimpi jadi kaya sampai lupa keadaan rumah.

Tanah pusaka sudah banyak terjual entah untuk biaya hidup atau percobaan bisnis yang gagal. Kini, keluarga itu hanya mengandalkan gaji satu orang—kakak perempuan Satirea.

Dan Satirea? Tetap belum menyerah.

“Jakarta belum selesai denganku,” katanya suatu sore.

Walau semua orang melarang, ia kembali juga ke ibu kota. Anehnya, lagi-lagi ongkos ke Jakarta ditanggung keluarga.


Kini, setiap bulan kakak-kakaknya harus mentransfer uang kontrakan rumahnya di pinggiran kota. Satirea hidup sederhana—sangat jauh dari cita-cita awalnya.

Namun entah mengapa, tekadnya tetap belum padam.

Katanya, “Suatu hari nanti aku akan kaya.”

Kadang kata-katanya terdengar seperti doa. Kadang seperti ilusi. Atau mungkin, seperti seorang anak yang terlalu mencintai mimpinya hingga enggan bangun dari tidur panjang.

Tapi siapa yang tahu? Jakarta memang keras, tapi kadang—di saat yang tak disangka—ibu kota bisa memberi kejutan untuk orang yang tidak lelah mencoba.

Untuk Satirea, hidup belum selesai. Dan mungkin, di balik hiruk pikuk gedung tinggi yang sering membuatnya kecewa, ia masih percaya ada secercah harapan menunggu.

Entah kapan.
Tapi ia yakin akan tiba juga.

Dan kita, seperti dia, hanya bisa menunggu sambil tersenyum—barangkali mimpi itu memang akan menemukan jalannya.

Arai Pinang, 9 Mei 2025

Sinopsis

Satirea, perempuan dari keluarga terpandang di kampung, terobsesi menjadi orang kaya setelah mengenal dunia mewah teman-temannya saat mondok di pesantren. Ia merantau ke Jakarta demi mengejar mimpi itu, bahkan menikahi pria kaya yang ternyata berlawanan nilai dengannya hingga mereka bercerai. Kehidupan keras ibu kota membuatnya terjatuh, kembali pulang, lalu merantau lagi meski harus hidup dari kiriman keluarga. Meski berkali-kali gagal, Satirea tetap percaya bahwa suatu hari fatamorgana yang ia kejar akan berubah menjadi kenyataan. *

SEKILAS TENTANG PENULIS

Yunardi Sikumbang, lahir di Parak Jigarang, Kelurahan Anduring, Kecamatan Kuranji, Kota Padang, 13 Juli 1964. Alumni IKIP Padang (kini Universitas Negeri Padang) ini telah mengabdikan diri di dunia pendidikan, mengajar di sejumlah SMP di Sumatera Barat, dan purna tugas sebagai Pengawas SMP Disdik Kota Padang pada awal 2025.
Selain menjadi pendidik, ia aktif menulis cerpen, artikel, serta kritik sastra di berbagai media: Haluan, Singgalang, Padang Ekspres, dan Mingguan Canang. Saat ini tetap produktif menulis di media online fokusumbar.com.*

Exit mobile version