Oleh : Musfi Yendra*)
Pemerintah Indonesia tengah memasuki fase penting dalam pengelolaan data sosial ekonomi melalui penguatan Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN). Agenda ini semakin strategis ketika Kementerian Sosial dan Badan Pusat Statistik (BPS) menggelar Rapat Koordinasi Nasional bertema “Statistik untuk Keadilan Sosial”, Kamis, 13 November 2025, di Jakarta.
Dalam forum tersebut ditegaskan bahwa data yang akurat, terbuka, dan terintegrasi adalah tulang punggung kebijakan publik. Dalam konteks tata kelola modern, DTSEN bukan sekadar basis angka, melainkan instrumen kunci dalam mewujudkan amanat sila ke-5 Pancasila: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Seperti disampaikan Seskab Teddy Indra Wijaya, “Percuma kalau ada kebijakan tapi tidak ada data. Sekarang di masa pemerintahan Bapak Prabowo, data itu dikumpulkan menjadi satu, tempatnya di BPS. Dan, pertama kali dalam sejarah seluruh data dikumpulkan jadi satu, menjadi acuan bersama, menjadi referensi bersama”.
Dalam perspektif keterbukaan informasi publik, DTSEN merupakan wujud konkret dari prinsip transparansi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Undang-undang tersebut menegaskan bahwa informasi publik harus dikelola dengan baik, akurat, dan dapat diakses untuk kepentingan masyarakat.
Melalui DTSEN, pemerintah membangun fondasi yang memungkinkan publik, lembaga negara, hingga pemerintah daerah memiliki acuan yang sama dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan program sosial.
Dengan demikian, DTSEN tidak hanya memudahkan penyaluran bantuan, tetapi juga memastikan tidak ada penyelewengan, tumpang tindih data, atau kelompok warga yang terabaikan karena informasi yang tidak lengkap.
Implementasi DTSEN selaras dengan mandat UU KIP terkait kewajiban badan publik menyediakan data secara cepat, tepat, dan sederhana. Penguatan satu data di BPS memberi ruang bagi masyarakat untuk memahami bagaimana alokasi program dirancang dan siapa saja penerima manfaatnya.
Ketika publik dapat mengakses informasi tentang basis data kemiskinan, program bantuan sosial, hingga indikator sosial ekonomi wilayah, tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah meningkat. Transparansi data juga memungkinkan pengawasan yang lebih kuat dari akademisi, media, maupun organisasi masyarakat sipil sehingga program perlindungan sosial lebih tepat sasaran.
Keterbukaan dan integrasi data juga menjadi mekanisme pencegahan kesalahan sistemik yang selama ini kerap menghantui kebijakan sosial. Tidak jarang masyarakat yang berhak menerima bantuan tidak masuk dalam daftar, atau sebaliknya, mereka yang telah mampu justru masih tercatat sebagai penerima. Dengan memperbaiki akurasi dan integrasi data, pemerintah menutup celah ketidaktepatan tersebut.
DTSEN menjadi alat untuk memastikan bahwa setiap rupiah yang dialokasikan benar-benar diterima oleh mereka yang membutuhkan. Di era pemerintahan Prabowo, langkah sentralisasi data oleh BPS menjadi terobosan penting yang menempatkan data sebagai rujukan bersama.
Jika melihat perkembangan negara lain, integrasi data dan keterbukaan informasi terbukti menjadi langkah transformatif dalam kebijakan sosial. Di Estonia, misalnya, penerapan sistem X-Road memungkinkan seluruh lembaga pemerintah berbagi data secara otomatis, sehingga program sosial berjalan cepat dan tepat sasaran. Warga cukup menggunakan identitas digital, sementara pemerintah memastikan setiap layanan mengacu pada data tunggal yang akurat.
Di Brasil, program Bolsa Família sukses menekan angka kemiskinan ekstrem karena basis data Cadastro Único dikelola secara transparan, terintegrasi secara nasional, dan terus diperbarui bersama pemerintah daerah. Dua contoh tersebut menunjukkan bahwa negara yang menempatkan data sebagai infrastruktur utama kebijakan sosial mampu mencapai efisiensi tinggi sekaligus menekan potensi penyimpangan.
Penerapan DTSEN di Indonesia bergerak ke arah yang sama. Dengan sinergi Kemensos, BPS, dan pemerintah daerah, sistem data nasional kini menjadi lebih presisi. Keakuratan data tidak hanya bergantung pada teknologi, tetapi juga pada kolaborasi lintas institusi serta pengawasan publik.
Prinsip keterbukaan informasi menjadi elemen yang memastikan bahwa data tidak dikelola secara tertutup, melainkan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama. Hal ini sejalan dengan semangat UU KIP yang mengutamakan partisipasi publik dan akuntabilitas badan publik.
Penguatan DTSEN juga berkelindan dengan agenda besar pemerintah dalam memperluas perlindungan sosial, menekan ketimpangan, dan memetakan kebutuhan pembangunan secara presisi. Data yang baik memungkinkan pemerintah merancang program penanggulangan kemiskinan, bantuan pendidikan, subsidi pangan, hingga pemberdayaan masyarakat secara lebih terukur.
Keadilan sosial tidak mungkin dicapai tanpa informasi yang valid tentang siapa yang perlu dibantu, bagaimana kondisi sosial ekonomi wilayah tertentu, serta apa indikator yang harus menjadi dasar kebijakan.
Di saat yang sama, keterbukaan informasi membuat masyarakat lebih memahami bagaimana negara bekerja. Ketika data dibuka, proses perencanaan menjadi lebih transparan dan publik dapat menilai apakah program benar-benar berjalan sesuai harapan.
Transparansi ini juga melindungi aparatur pemerintah dari tuduhan sewenang-wenang karena setiap keputusan memiliki basis data yang jelas. Dengan demikian, DTSEN bukan hanya alat teknokratis, tetapi juga simbol keberpihakan negara kepada rakyat melalui kebijakan yang berbasis fakta.
Rakornas DTSEN yang diselenggarakan Kemensos dan BPS bukan sekadar agenda rutin pemerintah. Ia adalah tonggak penting untuk memperkuat tata kelola data nasional, memastikan bahwa informasi publik tersedia dengan kualitas terbaik, serta membangun sistem perlindungan sosial yang inklusif.
Melalui DTSEN, amanat sila ke-5 menemukan bentuk konkret dalam praktik pemerintahan: kebijakan yang adil, program yang tepat sasaran, dan pengelolaan data yang transparan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan melanjutkan sinergi dan keterbukaan, Indonesia melangkah menuju tata kelola pembangunan yang lebih modern, akuntabel, dan berkeadilan. []
Ketua Komisi Informasi Provinsi Sumatera Barat*)
