Oleh : Wini Elfian*)
Dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat semakin sering mengeluhkan penggunaan sirene atau yang lebih akrab dikenal sebagai suara “wut-wut” yang muncul dari mana saja, seperti dari mobil pejabat, kendaraan pribadi berstiker aneh, sampai iring-iringan tanpa identitas yang jelas.
Fenomena ini bukan cuma soal kebisingan, tapi sudah berubah menjadi simbol ketidakadilan seakan-akan ada dua kelas pengguna jalan, yang boleh seenaknya dan yang harus patuh pada aturan. Gerakan stop wut-wut muncul sebagai respons dari kejenuhan publik, sebuah bentuk protes sosial terhadap penyalahgunaan privilese di ruang publik.
Pada dasarnya, sirene memang punya fungsi penting. Polisi, ambulans, dan pemadam kebakaran butuh akses cepat untuk menyelamatkan nyawa. Masalahnya mulai muncul ketika sirene dipakai bukan untuk keadaan darurat, tapi untuk kepentingan pribadi atau sekadar mempercepat perjalanan seseorang yang merasa dirinya lebih penting dari pengguna jalan lain.
Kita sering melihat video viral mobil mewah menghardik pengendara lain dengan suara sirene, atau rombongan yang bukan kendaraan darurat memaksa jalanan kosong demi kenyamanan mereka. Ketika sirene dipakai secara sembarangan, nilai urgensi yang seharusnya melekat pada suara itu jadi hilang.
Sebagai mahasiswa yang tiap hari bergulat dengan teori keadilan, ruang publik, dan etika pemerintahan, saya melihat fenomena ini sebagai cermin dari masalah yang lebih dalam: ketimpangan kekuasaan yang bahkan terasa hingga level jalan raya.
Suara “wut-wut” yang dipakai tidak semestinya menciptakan rasa tidak aman bagi masyarakat. Justru sebaliknya, sirene seharusnya jadi penanda bahwa ada nyawa yang harus diselamatkan atau tugas negara yang harus didahulukan. Namun, ketika sirene dipakai oleh pihak yang tidak berwenang, maknanya bergeser menjadi bentuk intimidasi kecil yang setiap orang bisa lihat dan dengar.
Gerakan “stop wut-wut” bukanlah gerakan anti-polisi, bukan pula protes terhadap kendaraan darurat. Ini merupakan sebuah kritik terhadap perilaku oknum semata baik itu warga biasa, pejabat, maupun institusi tertentu, yang di mana mereka memanfaatkan alat negara untuk kepentingan pribadi.
Gerakan ini mengajak publik untuk sadar bahwa ruang jalan raya adalah ruang bersama, tempat aturan harus berlaku sama untuk semua. Bukan soal siapa yang punya mobil paling besar, siapa yang punya jabatan, atau siapa yang punya akses memasang stiker aneh-aneh.
Mendorong gerakan ini bukan hanya soal mengurangi kebisingan atau menertibkan lalu lintas. Ada pesan moral yang lebih besar: bahwa kesetaraan harus dirasakan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Jika masyarakat terbiasa melihat aturan dilanggar oleh pihak yang mestinya memberi contoh, kepercayaan publik pada institusi juga ikut menurun.
Akhirnya, masyarakat jadi apatis, karena merasa negara tidak melindungi mereka secara adil. Sudah saatnya kita bersuara. Menghentikan penyalahgunaan sirene adalah langkah kecil, tapi penting, untuk mengembalikan rasa keadilan dan ketertiban di ruang publik.
Kita tidak boleh membiarkan suara “wut-wut” menjadi simbol bahwa ada yang lebih berkuasa dari hukum. Gerakan ini mengingatkan: jalanan milik bersama, aturan berlaku untuk semua, dan privilese bukan tiket untuk melangkahi orang lain. []
Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Andalas*)
