Oleh : MOHAMMAD ISA GAUTAMA*)
Ketika kampus dibayangkan, yang terlintas biasanya gedung kuliah, riset, dan aktivitas mahasiswa yang dinamis. Jarang sekali kita membayangkan kampus sebagai salah satu “emitor” gas rumah kaca, produsen sampah, atau penyumbang banjir di hilir.
Padahal, di tengah krisis iklim global, kampus bukan sekadar konsumen pengetahuan, tetapi juga produsen jejak ekologis yang nyata. Secara global, emisi gas rumah kaca mencapai rekor sekitar 55 miliar ton CO₂ ekuivalen pada 2023, dengan konsentrasi CO₂ menembus 423 ppm dan pemanasan rata-rata 2024 sudah sekitar 1,52°C di atas era praindustri. Ini tentu menyesakkan dada kita.
Mirisnya, Indonesia berada di pusaran krisis itu. Negara ini masuk jajaran sepuluh besar penyumbang emisi dunia, dengan lonjakan emisi sekitar 18,3 persen pada 2022. Ironisnya, sektor kehutanan yang seharusnya menjadi penyerap karbon justru menyumbang sekitar 45 persen emisi Indonesia, disusul sektor energi sebesar 36 persen.
Di atas kertas, kita bicara SDG 13 (Climate Action), tetapi di lapangan, penebangan hutan, PLTU batu bara, dan konsumsi energi boros tetap berjalan kencang. Di sinilah peran kampus seharusnya tampil, bukan hanya sebagai pengamat, tapi motor perubahan.
Konteks ini terasa sangat dekat bagi Sumatera Barat, terutama Kota Padang yang menjadi simpul pemerintahan, ekonomi, dan pendidikan. Dalam lima tahun terakhir, Padang menghadapi rangkaian bencana: banjir, longsor, abrasi pantai, kekeringan, hingga kebakaran hutan.
Banjir terjadi hampir setiap tahun, diperparah oleh alih fungsi lahan resapan menjadi kawasan terbangun dan permukaan kota yang “kedap air” akibat dominasi aspal dan beton.
Kampus-kampus besar di Padang berdiri di tengah sistem ekologis yang rapuh ini, menikmati lokasi strategis dan akses infrastruktur, tetapi sekaligus ikut menambah beban lingkungan jika tata ruang, mobilitas, dan konsumsi energinya tidak dikendalikan.
Jika krisis iklim adalah soal ketidakadilan antargenerasi, maka kampus adalah panggung utama moral. Mahasiswa yang hari ini duduk di ruang kuliah akan hidup di dunia yang lebih panas, lebih sering banjir, dan lebih mudah terbakar.
Menunda transformasi kampus hijau berarti mendelegasikan ongkos adaptasi pada generasi yang justru paling sedikit mengambil keputusan. Pertanyaannya sederhana, tetapi berat: beranikah kampus di Sumbar, terutama di Padang, berhenti nyaman sebagai “penyaji seminar tentang SDGs” dan mulai berperan sebagai laboratorium hidup SDG 4 (Quality Education), SDG 11 (Sustainable Cities and Communities), SDG 12 (Responsible Consumption and Production), dan SDG 13 (Climate Action) dalam praktik sehari-hari?
Kampus Penggerak
Di level global, kajian terbaru menunjukkan universitas memegang peran penting dalam pencapaian SDGs melalui empat dimensi utama: pendidikan, riset, outreach, dan tata kelola. Namun survei lintas 65 negara menunjukkan hanya sekitar 32 persen perguruan tinggi yang benar-benar mengintegrasikan SDGs secara penuh dalam pengajaran, sementara 18 persen bahkan belum mengintegrasikannya sama sekali.
Artinya, mayoritas kampus masih berhenti pada retorika, bukan perubahan struktural. Di Indonesia, situasinya mirip: spanduk “SDGs Center” mudah ditemukan, tetapi laporan jejak karbon kampus, target penurunan emisi, atau peta risiko iklim jangka panjang masih sangat terbatas.
Gerakan Green Campus di Indonesia sebenarnya sudah punya kerangka yang cukup matang melalui UI GreenMetric, yang sejak 2010 menilai kampus berdasarkan enam kategori: tata guna lahan dan infrastruktur, energi dan perubahan iklim, limbah, air, transportasi, serta pendidikan dan riset.
Namun, penelitian di Fakultas Teknik Universitas Pattimura, misalnya, menunjukkan implementasi Green Campus baru mencapai sekitar 19,2 persen dari skor maksimum, dengan kategori limbah dan air masih mendapat nilai nol. Ini menegaskan bahwa jarak antara slogan “kampus hijau” dan kerja sehari-hari masih sangat lebar.
Satu studi terbaru di President University menunjukkan bahwa emisi dari aktivitas kampus (listrik, genset, dan transportasi) mencapai sekitar 969 ribu kg CO₂ per tahun. Vegetasi kampus hanya mampu menyerap sekitar 774 ribu kg CO₂ per tahun, sehingga masih ada “defisit karbon” sekitar 195 ribu kg CO₂ yang mengambang di atmosfer tanpa kompensasi. Realita ini menyiratkan satu hal: bahkan kampus yang sudah mulai menghitung jejak karbon pun masih jauh dari netral. Banyak kampus di Indonesia bahkan belum sampai pada tahap pengukuran, apalagi penurunan.
Di sisi lain, SDGs juga memaksa kampus menjawab pertanyaan yang tidak nyaman: apakah kampus hanya mengajarkan keberlanjutan, atau juga mengelola diri secara berkelanjutan.
Laporan-laporan tentang integrasi SDGs di perguruan tinggi menunjukkan bahwa sebagian besar kampus masih memusatkan energi pada riset dan kurikulum, sementara perubahan operasional seperti efisiensi energi, pengelolaan limbah, dan dekarbonisasi mobilitas kampus berjalan lambat karena hambatan anggaran dan resistensi birokrasi. Padahal, SDG 13 menuntut aksi nyata, bukan sekadar publikasi.
Menjemput itu, kampus di Sumbar sejatinya tidak berada di ruang hampa. Universitas Andalas, misalnya, sudah lama dikenali sebagai kampus “hijau” dan pernah menempati peringkat keempat nasional dalam UI GreenMetric pada 2015. Evaluasi lebih baru dengan standar yang sama menunjukkan kategori terbaik Unand ada pada tata ruang dan infrastruktur serta energi dan perubahan iklim, sementara transportasi, air, dan limbah masih relatif tertinggal.
Di sisi lain, kajian di Universitas Negeri Padang menunjukkan sudah ada praktik ramah lingkungan di pemanfaatan lahan dan pendidikan, tetapi permasalahan penggunaan energi, pengelolaan limbah, air, dan transportasi masih dominan. Gambaran ini jelas: upaya sudah dimulai, tetapi belum menyentuh akar permasalahan.
Sumbar Berbenah
Jika kita sorot ke Padang, gambaran lingkungan kota sangat relevan bagi kampus. Kajian tentang ketahanan komunitas mencatat bahwa Padang menghadapi banjir hampir setiap tahun dan berada pada risiko multi bencana: banjir, longsor, abrasi pantai, gempa, dan potensi tsunami akibat siklus Sunda Megathrust.
Penelitian lain menunjukkan sekitar 18,29 persen kawasan resapan air di bagian barat kota sudah dalam kondisi kritis, terutama karena alih fungsi lahan dan permukaan kota yang kedap air. Dalam situasi seperti ini, setiap hektar lahan kampus, setiap parkiran beton, dan setiap gedung baru akan menentukan seberapa parah banjir di sekitar kampus dan pemukiman sekitarnya.
Beberapa kampus di Sumbar telah bergerak. Unand membangun platform Green Campus dengan program kendaraan ramah lingkungan dan stasiun pengisian mobil listrik operasional di lingkungan kampus.
UIN Imam Bonjol Padang menginisiasi program kampus hijau melalui pengelolaan sampah yang lebih sistematis, termasuk penyediaan fasilitas tempat sampah terpilah. Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat di Bukittinggi menggagas instalasi pengolahan air limbah (IPAL) berbasis edukasi sebagai upaya pengelolaan pencemaran air yang lebih berkelanjutan.
Politeknik Negeri Padang menggelar kampanye energi hijau di ruang publik kota. Potret ini menggembirakan, tetapi masih tersebar dan belum menjelma menjadi gerakan terkoordinasi lintas kampus.
Justru di titik ini kritik perlu diajukan. Banyak inisiatif kampus hijau di Sumbar masih berformat “event” dan proyek berbasis hibah, bukan transformasi struktural yang terikat pada target emisi, indikator SDGs, dan pelaporan berkala.
Kurikulum energi terbarukan bisa sangat maju, tetapi gedung kuliah tetap boros listrik, kendaraan pribadi tetap membanjiri area kampus, dan pengelolaan air hujan masih bergantung pada saluran drainase lama. Dengan kata lain, kampus mengajarkan adaptasi iklim di kelas, tetapi gagal mengadaptasi dirinya sendiri.
Solusinya bukan menambah jumlah slogan, melainkan mengubah cara kampus dikelola. Pertama, setiap kampus besar di Sumbar, terutama di Padang, perlu menyusun inventarisasi emisi dan jejak karbon kampus minimal untuk energi, transportasi, dan limbah padat.
Studi seperti di President University membuktikan bahwa ini bisa dilakukan dengan data tagihan listrik, konsumsi bahan bakar, dan survei transportasi. Tanpa berhati-hati terhadap angka, klaim “kampus hijau” hanyalah metafora. Setelah data tersedia, target penurunan emisi yang selaras dengan agenda nasional dan SDG 13 harus ditetapkan, dipublikasikan, dan diawasi.
Kedua, kampus di Padang harus memposisikan dirinya sebagai benteng ekologis kota. Ini berarti memperluas dan menghubungkan ruang hijau kampus dengan koridor ekologis kota, mengelola air hujan dengan prinsip kota spons (rain garden, kolam retensi, sumur resapan), serta membatasi perluasan area parkir kendaraan bermotor.
Di kota yang rawan banjir dan abrasi, keputusan rektorat tentang jenis paving di halaman kampus sesungguhnya adalah keputusan adaptasi iklim. Ini langsung berkaitan dengan SDG 11 tentang kota dan pemukiman berkelanjutan.
Ketiga, integrasi SDGs harus keluar dari ruang seminar dan masuk ke kebijakan akademik. Minimal, setiap program studi di bidang teknik, ekonomi, sosial, dan pendidikan di kampus-kampus Sumbar dapat mewajibkan satu mata kuliah atau modul yang secara eksplisit mengaitkan keilmuan mereka dengan SDG 13 dan risiko iklim lokal Padang.
Literatur menunjukkan bahwa ketika SDGs diintegrasikan ke dalam kurikulum melalui pengalaman belajar dan pengabdian masyarakat, kesadaran dan kapasitas kritis mahasiswa meningkat signifikan. Kampus di Sumbar punya keunggulan konteks: mereka bisa mengaitkan teori langsung dengan banjir di Kuranji, abrasi di pesisir, atau panas kota yang makin ekstrem.
Akhirnya, kampus-kampus di Padang perlu berkoalisi, bukan berkompetisi, dalam urusan lingkungan. UI GreenMetric atau THE Impact Rankings boleh saja memicu kompetisi sehat, tetapi krisis iklim tidak mengenal batas pagar kampus.
Forum kolaborasi kampus hijau Sumbar yang secara rutin memetakan risiko iklim, berbagi data emisi, dan merancang proyek bersama dengan pemerintah daerah serta komunitas lokal akan jauh lebih relevan daripada sekadar saling pamer peringkat.
Di tengah dunia yang sudah melampaui 1,5°C pemanasan global, kampus yang tidak berbenah akan tercatat bukan sebagai bagian dari solusi, tetapi bagian dari masalah. Sumbar masih punya waktu untuk memilih sisi sejarah yang mana.
Penulis adalah Dosen Ilmu Komunikasi dan Koordinator Divisi Sosialisasi dan Hilirisasi Riset pada Research Center fo Climate Change (RCCC) Universitas Negeri Padang.*)
