Oleh : Idal, M.Pd*)
Bencana banjir dan galodo yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat di akhir November 2025, kembali membuka mata kita bahwa bencana bukan sekadar fenomena alam.
Ia adalah cermin retak dari “Dosa Ekologis Kolektif” yang dilakukan manusia baik disengaja maupun tidak melalui kelalaian merawat bumi yang dititipkan Tuhan kepada kita.
Alam tidak pernah berkhianat, manusialah yang lalai. Kerusakan kawasan hulu sungai, pembukaan lahan tanpa kendali, perambahan hutan, hingga pembangunan yang mengabaikan daya dukung lingkungan menjadi pemicu utama meningkatnya risiko banjir.
Ketika bukit-bukit gundul tak lagi mampu menahan air, hujan yang turun sebentar pun dapat berubah menjadi banjir bandang dan galodo.
Di Sumbar, misalnya, galodo yang menghantam Daerah Aliran Sungai (DAS) menunjukkan bahwa sedimentasi dan kerusakan hutan di hulu memperparah laju material yang terbawa air.
Di Sumut dan Aceh, pola yang sama terjadi: sungai menyempit, drainase tersumbat, dan tata ruang dilanggar. Bencana seolah datang tiba-tiba, padahal ia hasil dari akumulasi kesalahan jangka panjang.
Barangkali, mungkin inilah yang disebut dengan dosa ekologis, ketika keserakahan mengalahkan keberlanjutan. Istilah “dosa ekologis kolektif” merujuk pada perilaku bersama yang merusak alam mulai dari individu, kelompok, pelaku ekonomi, hingga pemangku kebijakan.
Dosa ini tidak hanya terjadi saat hutan ditebang atau bukit dikeruk, tetapi juga ketika kita membiarkan pelanggaran berlangsung tanpa kontrol.
Kita berdosa secara ekologis ketika kita menutup mata terhadap aktivitas tambang dan tebang liar, membiarkan pembangunan merusak kawasan resapan, membuang sampah ke sungai karena dianggap “paling mudah”, hingga tidak merawat lingkungan di sekitar rumah sendiri.
Dosa ini bersifat kolektif karena dampaknya dirasakan oleh semua. Tidak peduli siapa yang merusak, seluruh masyarakat menanggung akibatnya.
Pelajaran dari Al-Qur’an dan Kearifan Nusantara telah memberikan pesan kepada kita jauh sebelumnya. Al-Qur’an mengingatkan bahwa “Kerusakan di darat dan laut terjadi karena ulah manusia” (QS. Ar-Rum: 41).
Pesan ini sejalan dengan falsafah lokal Minangkabau, “Alam Takambang Jadi Guru”, yang mengajarkan bahwa manusia seharusnya belajar dari harmoni alam, bukan merusaknya.
Ketika manusia melalaikan amanah sebagai khalifah penjaga bumi, alam pun merespons dengan caranya sendiri. Bukan sebagai hukuman, tetapi sebagai peringatan bahwa keseimbangan yang dilanggar akan kembali menuntut keseimbangan.
Sekarang saatnya kita berbenah bersama. Mengatasi “Dosa Ekologis Kolektif” tidak cukup dengan menyalahkan cuaca, gunung, atau sungai. Perbaikan harus dimulai dari kita sendiri dan diperkuat kebijakan yang tegas.
Paling tidak ada beberapa langkah yang harus menjadi komitmen bersama, yaitu:
- Rehabilitasi hulu dan kawasan kritis, bukan sekadar penanaman simbolis.
- Penegakan hukum lingkungan yang tidak tebang pilih.
- Penataan kembali ruang kota dan desa berdasarkan kajian ekologis, bukan kepentingan sesaat.
- Edukasi publik tentang pentingnya menjaga lingkungan dari hal kecil, tidak membuang sampah sembarangan, menjaga saluran air, merawat pohon, dan lainnya.
- Keterlibatan komunitas lokal sebagai garda terdepan penjaga ekosistem.
Bencana sebagai cermin kehidupan. Banjir dan galodo bukan sekadar musibah. Ia adalah cermin yang memaksa kita melihat kembali hubungan yang retak antara manusia dan lingkungan. Jika dosa ekologis kita tidak ditebus dengan perubahan perilaku dan kebijakan, maka bencana serupa hanya tinggal menunggu waktu.
Kini saatnya kita bertanya pada diri sendiri. Apakah kita ingin terus menjadi bagian dari masalah, atau mulai menjadi bagian dari solusi?
Dosen Luar Biasa UIN Imam Bonjol Padang dan Guru Bahasa Indonesia SMPN 18 Padang*)
