Oleh : Shelza Putri Danty*
TAK bisa terbantahkan, Indonesia kini berlomba menjadi salah satu destinasi wisata berkelas dunia. Dari pulau indah, desa wisata, hingga geopark yang diakui UNESCO. Semua dikemas dengan branding internasional, brosur banyak bahasa, dan slogan Go Global.
Namun, di balik gemerlap itu, ada ironi: di negeri yang dibanggakan sebagai ‘surga wisata’, Bahasa Indonesia justru sering diperlakukan seperti warga kelas dua. Lebih parahnya, wisatawan lokal yang jumlahnya jauh lebih banyak sering menjadi penonton di negeri sendiri.
Di tempat wisata, turis asing sering mendapatkan penjelasan yang setengah-setengah dalam Bahasa Indonesia. Padahal jika menggunakan Bahasa Indonesia cerita budaya dan sejarah akan lebih menarik karena terdapat ungkapan khas dan cara bercerita yang membumi.
Bahasa Indonesia yang seharusnya menjadi kebanggaan malah sering tersisih, hanya yang muncul di spanduk ”Selamat Datang” tanpa ada cerita yang benar-benar menghidupkannya.
Contohnya bisa kita lihat di salah satu kota yang ada pada provinsi Sumatera Barat yaitu kota Bukittinggi. Di tempat-tempat wisata seperti Jam Gadang, Ngarai Sianok, Lobang Jepang, sampai Kampuang Cino, terdapat papan informasi dan penjelasan sejarah sering menggunakan bahasa Inggris. Sementara, Bahasa Indonesia hanya sebagai terjemahan seadanya.
Dalam menjelaskan tentang sejarah Jam Gadang atau cerita rakyat Minangkabau para pemandu wisata lebih banyak menggunakan bahasa asing. Padahal lebih menarik menggunakan tutur Minang dalam Bahasa Indonesia sehingga bisa menjadi nilai budaya bagi Kota Bukittinggi. Hal ini tidak bisa terus dibiarkan.
Ada beberapa cara yang bisa kita lakukan agar Bahasa Indonesia tetap hidup di negara sendiri. Yaitu : Pertama, pengelola wisata perlu menata ulang cara bercerita di tempat wisata. Jadi, cerita sejarah, legenda atau filosofi tempat bukan cuma diterjemahkan ke bahasa asing, tetapi dihidupkan dengan menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan menarik.
Pemandu wisata juga perlu dilatih supaya lancar berbahsa Indonesia, bukan cuma pakai istilah ”Internasional” biar kelihatan keren.
Kedua, papan petunjuk, brosur, dan materi audio-visual harus pakai Bahasa Indonesia sebagai bahasa utama. Bahasa asing cukup jadi pelengkap, bukan malah mendominasi.
Di zaman digital, media sosial resmi tempat wisata juga bisa dipakai untuk mengangkat literasi Bahasa Indonesia untuk membuat cerita pendek, fakta budaya unik sampai kisah rakyat yang membuat wisatawan lokal dan asing bisa merasakan keunikan cara tutur kita.
Ketiga, pemerintah daerah dan lembaga pariwisata harus membuka ruang kerjasama dengan penulis lokal, jurnalis warga dan lain-lainnya untuk menyusun cerita wisata. Jangan hanya memikirkan visual dan kemewahan pada bangunan saja, tetapi juga memperhatikan kualitas cerita pada tempat bersejarah.
Jika diceritakan menggunakan Bahasa Indonesia pastinya akan lebih menarik, terutama bagi turis asing yang akan berusaha untuk memahami dan mempelajari bahasa Indonesia.
Keempat, masyarakat lokal juga harus yakin kalau Bahasa Indonesia bukan penghalang untuk naik kelas di wisata Internasional, sebaliknya menjadi nilai plus. Turis asing datang ke Indonesia untuk mencari keaslian, bukan bahasa asing yang sama di negera asal mereka. Disinilah Bahasa Indonesia menjadi identitas yang membuat negara Indonesia berbeda dari negara lain.
Pada akhirnya, kita harus ingat Bahasa Indonesia bukan cuma untuk komunikasi, tetapi juga rumah cerita, penanda jati diri dan cerminan martabat budaya. Jika ingin wisata di Indonesia bekelas Internasional, jangan jadikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa cadangan. Justru Bahasa Indonesia harus menjadi garda depan dalam menyambut tamu, menceritakan kisah dan menunjukkan dibalik indahnya alam Nusantara, selalu ada kata kata yang membuat kita bangga. []
Penulis adalah Mahasiswa Universitas Andalas Departemen Ilmu Politik*
