Oleh : Aura Fairana*)
Setiap kali orang berbicara tentang wisata di Kota Padang, pantai selalu muncul sebagai ikon utama. Hamparan pasir panjang dengan pemandangan laut lepas menjadi daya tarik utama yang membuat warga dan wisatawan tak pernah bosan berkunjung.
Namun, di balik keindahan itu, ada satu hal penting yang jarang dibicarakan, apakah pantai Padang ramah anak?
Bukan hanya karena ombaknya yang kerap membahayakan, tetapi juga karena ketiadaan penjaga pantai yang bisa memberikan rasa aman bagi pengunjung. Kondisi ini membuat orang tua sering diliputi rasa was-was ketika membawa anak mereka bermain di sana. Anak-anak memang bisa bermain pasir, berlari di tepi air, atau sekadar menikmati suasana.
Tetapi tanpa adanya sistem pengawasan yang memadai, rasa aman itu hanya semu. Tidak ada penjaga pantai yang siaga, tidak ada peringatan yang jelas, dan tidak ada jaminan keselamatan bagi para pengunjung, terutama anak-anak yang masih rentan.
Fenomena ini bukan sekadar kelalaian kecil, tetapi sebuah cermin bahwa pemerintah kota belum menjadikan keselamatan anak sebagai prioritas dalam pengelolaan wisata. Padahal, di tengah arus digital yang begitu deras, orang tua justru mencari alternatif wisata alam yang bisa membuat anak-anak bergerak aktif, belajar, sekaligus bersosialisasi. Pantai seharusnya menjadi ruang publik yang bisa menjawab kebutuhan itu, bukan malah menghadirkan risiko baru.
Jika dibandingkan dengan daerah lain, misalnya Yogyakarta, perbedaan ini tampak begitu mencolok. Pantai-pantai populer di Yogyakarta memiliki lifeguard atau tim penyelamat yang bertugas setiap hari. Keberadaan mereka bukan hanya simbol keamanan, tetapi juga bentuk tanggung jawab pemerintah daerah dalam melindungi masyarakat dan wisatawan.
Dengan adanya penjaga pantai, orang tua merasa lebih tenang, anak-anak bisa bermain lebih bebas, dan ekosistem wisata menjadi lebih sehat serta teratur. Wisata pantai pun akhirnya memberikan pengalaman yang tidak hanya indah, tetapi juga aman.
Sayangnya, hal serupa belum terlihat di Padang. Pemerintah kota tampak belum menaruh perhatian serius terhadap aspek keamanan wisata, khususnya bagi anak-anak. Padahal, wisata ramah anak bukan sekadar hiburan, melainkan bagian dari pemenuhan hak anak untuk memiliki ruang publik yang aman dan mendidik. Kota seharusnya tidak hanya dipenuhi ruang rekreasi massal tanpa konsep, melainkan dirancang dengan visi jangka panjang yang memperhatikan kebutuhan generasi muda.
Pantai Padang hari ini lebih banyak berfungsi sebagai ruang terbuka untuk bersantai, berjualan, atau sekadar menikmati sore hari. Namun, aspek keselamatan nyaris tidak tersentuh. Banyak pengunjung datang untuk bertamasya, tetapi fasilitas penunjang keselamatan, terutama bagi anak-anak, hampir tidak ada. Jika dibiarkan, kondisi ini bukan hanya merugikan masyarakat, tetapi juga mencoreng citra Padang sebagai destinasi wisata.
Padahal, pemerintah sebenarnya punya kuasa, anggaran, dan perangkat kebijakan untuk mengubah keadaan ini. Kehadiran penjaga pantai adalah langkah sederhana namun vital yang seharusnya segera diwujudkan.
Selain itu, fasilitas tambahan seperti area bermain khusus anak yang aman dan bersih, papan informasi keselamatan, hingga regulasi tegas terhadap pedagang liar dan pungutan tidak resmi akan membuat Pantai Padang lebih tertata.
Koreksi yang perlu dicatat adalah: selama ini pemerintah tampak lebih sibuk menjadikan pantai sebagai ruang ekonomi ketimbang ruang rekreasi yang aman. Keberadaan pedagang, parkir liar, dan keramaian yang tidak terkendali seolah dibiarkan tanpa pengawasan ketat.
Akibatnya, orang tua tidak hanya khawatir soal keselamatan anak terhadap ombak laut, tetapi juga harus menghadapi kerentanan lain seperti pungutan liar, copet, dan harga makanan yang tidak wajar. Semua ini menambah beban mental dan finansial bagi keluarga yang seharusnya datang untuk bersantai.
Pemerintah Kota Padang perlu memandang isu ini secara lebih serius. Wisata ramah anak tidak bisa hanya muncul sebagai slogan, tetapi harus diwujudkan melalui kebijakan nyata. Pantai Padang seharusnya menjadi laboratorium alam bagi anak-anak, tempat mereka belajar tentang laut, pasir, dan ekosistem pesisir. Bukan hanya tempat hiburan, tetapi juga ruang edukasi.
Ada sejumlah solusi yang bisa ditempuh pemerintah yaitu, membangun sistem penjaga pantai (lifeguard) yang bekerja penuh waktu, terutama di titik-titik ramai pengunjung. Kehadiran mereka akan meningkatkan rasa aman sekaligus mencegah terjadinya kecelakaan laut. Berikutnya, menata ulang kawasan pantai dengan menghadirkan area khusus anak yang lebih aman, bersih, dan terpisah dari keramaian pedagang.
Selanjutnya, pemerintah perlu mengembangkan wisata edukasi berbasis pantai, misalnya program belajar tentang ekosistem laut, kegiatan bersih-bersih pantai yang melibatkan anak, permainan tradisional pesisir, atau festival ramah keluarga.
Tak kalah penting, memasang papan informasi keselamatan dengan bahasa sederhana dan visual yang ramah anak agar mereka juga memahami risiko dan cara menjaga diri. Juga, pemerintah sudah seharusnya nerinovasi lewat kolaborasi dengan komunitas lokal, lembaga pendidikan, maupun CSR perusahaan. Dengan cara ini, pembangunan fasilitas tidak semata-mata bergantung pada APBD, tetapi juga melibatkan partisipasi masyarakat luas.
Jika semua langkah itu dilakukan, Pantai Padang akan berubah dari sekadar ruang wisata seadanya menjadi ikon kota yang membanggakan. Anak-anak bisa tumbuh dengan pengalaman yang menyenangkan, orang tua merasa lebih tenang, dan masyarakat mendapat ruang publik yang benar-benar aman dan mendidik.
Pada akhirnya, persoalan Pantai Padang bukan hanya soal keindahan alam, melainkan soal bagaimana pemerintah menafsirkan tanggung jawabnya terhadap warganya. Kota yang layak anak adalah kota yang memberikan ruang tumbuh bagi generasi mudanya. Pantai Padang bisa menjadi wajah dari komitmen itu, atau justru menjadi bukti ketidakpedulian pemerintah. Pilihannya ada pada kebijakan yang diambil hari ini. []
Mahasiswa Semester 5, Prodi Ilmu Komunikasi, Universitas Negeri Padang*)
