Car Free Day atau Car Full Day?

Oleh : Lira Septia*)

Ada sebuah paradoks yang berulang setiap minggu pagi di GOR Haji Agus Salim, Padang. Sebuah ruang yang dijanjikan sebagai taman pernapasan kota justru kerap berubah menjadi ruang sesak, tempat besi beroda dan manusia saling berebut panggung. Car Free Day (CFD), nama yang seharusnya identik dengan kebebasan dari deru knalpot, kini lebih mirip pesta formalitas yang kehilangan makna.

Setiap minggu pagi, GOR Agus Salim, menjelma teater terbuka. Derap langkah kaki membentuk irama, tawa anak-anak berloncatan di udara, masyarakat menikmati hari libur dengan gembira, sementara pedagang menata lapaknya bagai properti panggung.

Inilah saat kota seharusnya menarik napas panjang, sejenak melupakan polusi dan kebisingan. Ironisnya, janji itu hanya sebentar, di balik riuh keramaian, hadir pula motor dan mobil yang berdiri pongah, parkir seenaknya, bahkan menyelusup di antara kerumunan pejalan kaki.

Motor-motor itu bukan sekadar tamu tak diundang, mereka berdiri bagai raja, merampas ruang yang mestinya milik rakyat. Klakson melengking di telinga, seolah pejalan kaki menggangu jalanan mereka. Alih-alih menjadi hari bebas kendaraan, CFD Padang terasa seperti hari kendaraan bebas; car full day, kendaraan bebas lalu-lalang semaunya sendiri.

Trotoar, rumah bagi pejalan kaki, pada hari itu menjelma garasi darurat. Masyarakat dengan sadar membawa kendaraan, sementara petugas dengan sadar membiarkan. Mungkin mereka sudah lelah menegur, mungkin juga sudah terbiasa menutup mata.

Akibatnya, ruang yang seharusnya teduh berubah jadi arena tarik-ulur antara kesadaran dan keacuhan. Pejalan kaki tak lagi berjalan dengan tenang, melainkan dengan was-was, seakan setiap langkah adalah tantangan. Mereka dipaksa mengalah pada kendaraan yang lupa kesadaran.

Seolah-olah, masyarakat membiarkan ruangnya direbut untuk kenyamanan pribadi, seolah-olah menutup mata pada kesalahan yang terpapar, membiarkan kendaraan menguasai jalanan milik mereka, mengalah pada yang salah.

Ada sebuah peristiwa kecil yang menampar kesadaran saya, seorang anak berlari, terlepas dari genggaman ibunya, wajahnya berseri-seri menikmati kebebasan sesaat. Tiba-tiba sebuah motor melintas begitu dekat, nyaris menabraknya, sang ibu menjerit, pengendara melaju seolah tak bersalah.

Saat itu saya sadar, bahaya bukan hanya lahir dari kelalaian, melainkan dari aturan yang kita biarkan jadi ornamen, indah dipasang, tapi tak pernah ditegakkan, ruang bebas sejenak yang dihadirkan hilang kenyamanannya.

Bahkan yang bersepeda tidak leluasa mengayuh, disuruh mengalah pada kendaraan yang melaju, masyarakat yang hadir ikut acuh pada kendaaran yang tak beraturan. Ke mana kesadaran itu hilang, kala tempat yang seharusnya nyaman hampir menjadi malapetaka?

Dan bukan hanya kendaraan yang mengusik ruang ini. Car free day pun menjelma pasar dadakan, hampir semua yang dibutuhkan berada di sana, para pedagang menebar lapak tanpa pola, menyesaki hampir seluruh jalur. Pejalan kaki berubah jadi penawar ruang.

Pejalan kaki yang ingin menikmati pagi minggu terpaksa mengalah pada penyelinap di lorong sempit di antara lapak. Tentu, berdagang adalah denyut kehidupan kota, peluang ekonomi bagi banyak keluarga. Tetapi ketika ruang publik sepenuhnya ditelan ‘pasar liar’, fungsi aslinya terhapus. Olahraga yang mestinya menenangkan, dan menyegarkan justru terasa seperti uji nyali, makna CFD mengabur.

Pemerintah kota padang sejatinya sudah memberi panggung: satu hari untuk bebas dari kendaraan, satu ruang untuk berbagi langkah. Namun panggung tanpa sutradara hanyalah sandiwara kacau. Aturan tinggalmenjadi naskah yang tak pernah dibacakan.

Masyarakat seperti menikmati panggung tanpa memerlukan naskah pada perannya, mereka berimprovisasi sesukanya. Petugas di lapangan (parkir, keamanan, ketertiban) lupa memainkan perannya. Akibatnya, drama yang seharusnya menggembirakan berubah jadi komedi getir, dipentaskan berulang saban minggu.

Padahal esensi CFD sederhana. Ia bukan sekadar menutup jalan bagi kendaraan, melainkan membuka jalan bagi kesadaran. Dia adalah jeda bagi kota untuk bernapas, ruang bagi anak-anak berlari tanpa rasa takut, tempat orang dewasa berjalan tanpa menoleh ke belakang, kesempatan bagi semua orang untuk menghirup udara jernih. Sebuah kota hanya seindah langkah warganya, jika langkah itu terganggu, maka cacatlah keindahan kota.

Namun kenyataan yang kita temui hanyalah dekorasi. Papan nama “Car Free Day” berdiri tegak di pintu masuk, tetapi maknanya runtuh perlahan. Kita lupakan makna itu tanpa peduli, kita menukar kenyamanan bersama dengan ego pribadi, yang lebih menyedihkan: banyak orang seolah sudah terbiasa dengan suasana ini, bahkan ikut menikmati seakan-akan pelanggaran adalah bagian sah dari pesta.

Sekali lagi, Car Free day seharusnya menjadi pesta udara segar. Sebuah pesta di mana tawa anak-anak lebih lantang dari suara mesin, di mana obrolan ringan lebih ramai dari klakson, di mana kaki yang melangkah lebih berharga dari roda yang berputar, tapi jika situasi ini terus dibiarkan, jangan salahkan bila CFD pelan-pelan dikenang sebagai Car Full Day: pesta penuh kendaraan, sesak, riuh, dan membahayakan. []

Mahasiswi Semester 5, Prodi Ilmu Komunikasi, Universitas Negeri Padang *)

Exit mobile version