Oleh: Robby Malvinas*)
SEBUAH ironi besar tengah melanda sepak bola Sumatera Barat. Dari total 45 klub anggota PSSI Sumbar, sebanyak 39 klub kehilangan hak suara dalam Kongres Pemilihan Ketua Asprov PSSI Sumbar, akhir November 2025.
Mereka dianggap tidak aktif karena tidak berkompetisi sebelum kongres. Hanya 6 klub baru yang diakui sebagai voters: PSPP, BAFC, GMR FC, Gumarang FC, FKNB, Josal FC, dan Ricefiel Town.
Yang lebih menyakitkan, tak satu pun dari klub-klub perserikatan lama yang melegenda, seperti PSP Padang, PSKM Mentawai, Pespessel, Persis Solok, Persikas, PS Solsel, PS Gas Sawahlunto, Persiju Sijunjung, PS Dharmasraya, PSBS Batusangkar, Gasliko 50 Kota.
Selanjutnya, Persepak Payakumbuh, PS Pasbar, PSKPS Pasaman, PSKA Agam, PSKB Bukittinggi, PSLA Lubuk Alung, Persepar Pariaman, Persikopa Pariaman, hingga Taruna Mandiri tercatat sebagai pemilik suara sah. Semua hilang. Seolah tak pernah ada.
Akar persoalan ini bermula dari Kongres PSSI Pusat 2025 yang digelar di Hotel The Ritz-Carlton Jakarta pada Juni lalu. Salah satu keputusan penting kongres itu adalah pembahasan Statuta PSSI terkait voters yang berhak ikut dalam kongres pemilihan ketua PSSI provinsi.
Aturannya tegas: hanya klub yang berkompetisi sebelum kongres pemilihan yang memiliki hak suara.
Dengan dasar hukum itu, tidak ada celah bagi klub yang pasif. Mereka otomatis dianggap tidak aktif dan kehilangan status sebagai voters.
Masalahnya, di Sumatera Barat, Asprov PSSI Sumbar sepanjang tahun 2025 hanya menggelar Piala Soeratin U-13, U-15, dan U-17.
Turnamen usia muda itu bahkan sudah sampai ke tingkat nasional. Tapi untuk kompetisi senior seperti Liga 4 Sumbar, yang seharusnya menjadi ruang bagi klub anggota menunjukkan eksistensinya, tidak pernah digelar.
Padahal, di provinsi lain, Liga 4 bahkan sudah berjalan sejak pertengahan tahun.
Akibatnya fatal: puluhan klub lama tidak punya catatan keaktifan kompetisi sebelum kongres, dan secara otomatis kehilangan hak suara.
Kepala Daerah dan Klub yang Dibiarkan Mati
Tragedi administratif ini bukan hanya kesalahan Asprov atau PSSI semata. Ini adalah cermin kelalaian bersama.
Selama ini, banyak klub daerah hidup tanpa sokongan nyata dari pemerintah kabupaten/kota. Padahal, mereka membawa nama daerah dan menjadi simbol harga diri lokal.
Namun, ketika klub tak lagi punya dana, tak punya lapangan, dan tak punya kompetisi, tidak ada satu pun kepala daerah yang bersuara.
Mereka abai terhadap kewajiban konstitusional yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan, khususnya Pasal 10 dan 11, yang menegaskan bahwa pemerintah daerah wajib mengembangkan, membina, serta memfasilitasi kegiatan olahraga di wilayahnya.
Artinya jelas, ketika klub-klub sepak bola dibiarkan mati tanpa kompetisi, pemerintah daerah ikut bersalah.
Kehilangan hak suara bukan hanya persoalan administratif. Ini adalah penghapusan sejarah.
Nama-nama besar seperti PSP Padang, Persis Solok, atau Pespessel, yang pernah menjadi kebanggaan Sumatera Barat di pentas nasional, kini bahkan tak punya kursi dalam kongres.
Mereka yang dulu berjuang di lapangan kini tak dianggap eksis dalam sistem.
Ironisnya, klub-klub baru justru menjadi pemilik suara sah, sementara para penjaga sejarah terpinggirkan karena tak lagi berkompetisi.
Dosa Kolektif Sepak Bola Sumbar
Inilah yang patut disebut sebagai dosa kolektif sepak bola Sumatera Barat.
Dosa pengurus klub yang membiarkan timnya padam.
Dosa Asprov PSSI Sumbar yang tidak menyalakan kompetisi sebelum kongres.
Dan dosa kepala daerah yang menutup mata terhadap kematian pembinaan sepak bola di wilayahnya.
Hari ini, 39 klub kehilangan hak suara.
Besok, bisa jadi Sumatera Barat kehilangan masa depannya di sepak bola nasional.
Sepak bola bukan sekadar kongres dan jabatan. Ia adalah denyut hidup masyarakat. Maka, sebelum semuanya benar-benar hancur, inilah saatnya semua pihak menebus dosa itu, dengan tindakan nyata, bukan sekadar pidato.
Karena seperti diamanatkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan, pembangunan olahraga adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah, organisasi olahraga, dan masyarakat.
Jika semua abai, maka bukan hanya klub yang mati, tapi juga semangat sepak bola Sumatera Barat. []
Penulis adalah pemerhati sepak bola dan mantan pengurus PSP Padang*)
