Mengapa Sekolah Perlu Sanggar Sastra?

Saya lagi berikan literasi kepada siswa SMP Negeri 4 Padang Panjang yang telah memproklamirkan pembentukan sanggar sastra di sekolahnya. (foto; ist)

Oleh : Muhammad Subhan*)

Saya senang. Kemarin, SMP Negeri 4 Padang Panjang memproklamirkan pembentukan sanggar sastra di sekolah itu. Pembukaannya sederhana tetapi hangat. Saya melihat bara semangat di mata guru dan siswa.

Di ruangan aula di lantai dua, pukul 8.30 pagi, saya sudah tiba memenuhi undangan. Dari pintu saya melihat dua puluh enam pelajar menatap ke depan dengan mata yang memancarkan rasa ingin tahu.

Menariknya, dari jumlah itu hanya satu laki-laki. Sisanya dua puluh lima perempuan. Kepadanya saya bertanya, “Benar mau menulis? Suka menulis?” Dia mengangguk mantap. Mau dan suka, jawabnya. Jawaban itu sudah modal pertama bagi seorang calon penulis.

Menulis memang bukan bakat semata. Bakat mungkin membuka pintu, tetapi tanpa kemauan pintu itu tidak pernah benar-benar terbuka.

Kesukaan adalah energi pertama yang menggerakkan tangan untuk menuliskan kalimat demi kalimat. Jika kemauan itu dirawat, kesukaan akan tumbuh menjadi kebiasaan, lalu perlahan-lahan berubah menjadi kebutuhan.

Di masa depan, kemampuan menulis bukan hanya berguna bagi dunia pendidikan, tetapi juga bagi berbagai pekerjaan: administrasi, jurnalistik, humas, desain konten, riset, hingga perencanaan.

Menulis selalu menemukan tempatnya sendiri.

Pada pertemuan perdana Sanggar Sastra Siswa SMP Negeri 4 Padang Panjang dimulai dengan kelas cerpen. Ternyata, banyak siswa yang menyukai cerpen.

Saya bacakan beberapa karya maestro: mulai dari cerpen yang tenang namun tajam, hingga cerita yang penuh kejutan. Siswa menyimak dengan tekun. Dari raut wajah mereka tampak bahwa imajinasi mulai bekerja: “Oh, begini rupanya cerpen,” kata salah satu di antara mereka.

Setelah itu, saya bicarakan tentang bagaimana memilih judul, bagaimana membuka cerita yang menarik pembaca sejak paragraf pertama, bagaimana menciptakan tokoh yang hidup, bagaimana menempatkan konflik, dan bagaimana menciptakan ending yang menarik. Saya ajak mereka mengenal sudut pandang orang pertama, kedua, dan ketiga. Saya minta mereka menulis satu alinea pendek sesuai sudut pandang yang dipilih.

Eh, ternyata, imajinasi mereka segar. Potongan-potongan cerita yang mereka buat menjadi premis yang dapat dikembangkan, bahkan beberapa tampak sudah siap menjadi cerpen utuh.

Dari sinilah saya semakin yakin: sanggar sastra sangat penting hadir di sekolah.

Selama ini, ketika ada lomba menulis cerpen di tingkat kota, provinsi, atau nasional, guru sering terburu-buru mencari siswa yang “tampak berbakat”. Ada siswa yang memang pandai menulis, tetapi banyak pula yang dipilih sekadar karena tulisan mereka sedikit lebih rapi dibanding yang lain.

Peserta lomba sering tidak dipersiapkan secara matang. Mereka tidak diberi pembinaan berkelanjutan, tidak didampingi memahami teknik menulis, tidak dibiasakan menerima kritik atau melakukan revisi. Akibatnya, potensi yang ada tidak tumbuh maksimal.

Di sinilah sanggar sastra menemukan perannya.

Sanggar bukan ruang mendadak, tetapi ruang pelatihan yang berkesinambungan; bukan ruang instan, tetapi ruang tumbuh perlahan. Dengan adanya sanggar, siswa yang berminat menulis difasilitasi untuk belajar, mencoba, gagal, memperbaiki, mencoba lagi, hingga menemukan gaya penulisannya sendiri.

Sanggar juga memungkinkan sekolah bekerja sama dengan praktisi sastra dari luar, seperti penulis, editor, jurnalis, atau pegiat literasi. Kolaborasi seperti ini penting. Siswa perlu melihat dan mendengar langsung dari para pelaku dunia kepenulisan, agar mereka memahami bahwa dunia literasi bukan dunia kosong, tetapi dunia yang hidup dan menghidupi banyak orang.

Sering terjadi, kegiatan sastra diposisikan sebagai kegiatan “pinggiran”, bukan prioritas utama. Padahal, sanggar sastra seharusnya berdiri sejajar dengan ekstrakurikuler lain seperti pramuka, olahraga, atau seni musik. Selama ini, karena dianggap tidak penting, sanggar sastra berjalan angin-anginan: hari ini ada, minggu depan hilang. Tidak ada jadwal jelas, tidak ada struktur yang rapi, tidak ada target karya.

Untuk itu, sanggar sastra harus diberi waktu belajar yang khusus dan terjadwal, ruang yang nyaman, serta dukungan dari sekolah.

Sanggar bukan sekadar tempat berkumpul, tetapi tempat berkarya. Harus ada target yang realistis: misalnya, setiap siswa menulis satu cerpen setiap sepekan, atau setiap bulan ada satu sesi membaca karya bersama.

Idealnya, setiap pekan karya-karya siswa dibicarakan, dibahas, dan dibedah. Mereka belajar memberi dan menerima kritik, belajar melihat karya dari sudut pandang pembaca lain, serta belajar memperbaiki tulisan mereka.

Diskusi seperti ini bukan hanya melatih keterampilan menulis, tetapi juga membentuk karakter: rendah hati, terbuka, sabar, dan berani.

Ketika pembinaan berjalan baik, sanggar akan menghasilkan karya-karya yang dapat dipublikasikan. Sekolah bisa mengirimkannya ke media massa atau menghimpunnya dalam bentuk buku antologi. Buku itu di kemudian hari diluncurkan dan dibedah. Karya yang terbit adalah bukti nyata bahwa sanggar sastra bukan kegiatan basa-basi, tetapi ruang yang produktif dan berdaya.

Ada satu hal penting yang kadang terlupakan: sanggar sastra adalah ruang reflektif dan terapeutik bagi siswa.

Di zaman ketika perundungan, tekanan akademik, dan kecemasan sosial semakin meningkat, menulis dapat menjadi jalan bagi siswa untuk mengungkapkan perasaan yang sulit mereka ceritakan secara lisan. Melalui tokoh-tokoh dan alur cerita, mereka bisa memindahkan beban psikologis ke atas kertas. Dari sana, mereka bisa pelan-pelan memahami diri, berdamai dengan pengalaman, atau menemukan cara baru melihat hidup.

Dulu, sewaktu sekolah, saya memilih sastra sebagai pelarian, dan hingga sekarang.

Sastra tidak hanya membentuk kemampuan kognitif, tetapi juga membentuk empati. Ketika siswa menulis cerita tentang tokoh yang ditindas, mereka belajar merasakan luka. Ketika mereka menulis tentang kegigihan, mereka belajar bertahan. Ketika mereka menulis tentang kegagalan, mereka belajar menerima.

Dalam banyak kasus, sastra menjadi semacam obat yang tidak terlihat tetapi bekerja secara halus.

Sanggar sastra memberi siswa tempat aman untuk menyuarakan isi hati. Ruang yang tidak menghakimi, tidak menekan, tetapi memberi jalan bagi pemulihan.

Pembentukan Sanggar Sastra Siswa SMP Negeri 4 Padang Panjang merupakan langkah penting. Semoga menjadi inspirasi bagi sekolah-sekolah lain. Kemarin, siswa baru menulis satu dua halaman. Mana tahu, di hari-hari berikutnya mereka menulis berhalaman-halaman: cerpen, novel, naskah drama, atau esai yang menginspirasi banyak orang.

Sanggar sastra adalah ruang kreatif yang dapat menumbuhkan imajinasi. Ia melahirkan penulis, tetapi lebih dari itu: ia melahirkan pribadi-pribadi yang peka, reflektif, kreatif, dan berani bersuara.

Dan, mereka yang menulis, mengutip Pramoedya, “Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.” []

Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, founder Sekolah Menulis Elipsis.*)

Exit mobile version