“Tentang Pagi yang Tidak Selalu Cerah”

Sebuah Catatan Kecil untuk Hati yang Sedang Belajar Tegar

Oleh : Nurul Jannah*)

Tidak semua pagi datang dengan senyum mentari. Kadang, pagi menyapa dengan sunyi yang menekan dada. “Mengapa hidup terasa seberat ini?” “Kapan semuanya akan benar-benar baik-baik saja?”

Di saat-saat seperti itu, aku biasanya hanya bisa duduk diam di tepi hari. Menatap secangkir kopi yang mulai kehilangan hangatnya.

Aku tahu harus melangkah, tetapi kaki seolah kehilangan tenaga. Aku tahu harus tersenyum, tetapi hati terlalu letih untuk terus berpura-pura.

Aku pernah berada di pagi seperti itu. Pagi di mana aku tidak ingin bangun, tidak ingin berbicara. Bahkan tidak ingin melakukan apapun.

Karena ada lelah yang tak bisa dijelaskan. Lelah yang hanya dimengerti oleh hati yang terlalu sering dipaksa tegar.

Dan, di dalam diam itu, aku menemukan satu kesadaran. Bahwa tidak semua pagi perlu sempurna untuk disyukuri. Kadang, bisa membuka mata, duduk, dan menarik napas pun sudah merupakan anugerah besar untuk disyukuri.

Tidak semua hari harus terang. Kadang, warna abu-abu pun menyimpan pelajaran tentang keteguhan.

Aku belajar bahwa pagi yang berat bukanlah akhir dari segalanya. Terkadang, ia justru tanda bahwa kita sedang tumbuh.

Belajar sabar ketika doa belum juga dikabulkan. Belajar percaya bahwa matahari tak pernah benar-benar pergi. Ia hanya bersembunyi sebentar di balik awan.

Hidup pun begitu. Kita tidak harus selalu bersinar untuk tetap berarti. Kadang, hanya sanggup berjalan tertatih pun, sudah cukup disebut kemenangan. Tetap berdoa meski air mata belum kering pun sudah bisa menjadi bukti bahwa kita belum menyerah.

“Aku iri padamu, Nurul. Kamu selalu terlihat kuat,” sapa sahabatku sekali waktu.

Aku hanya tersenyum. Ia tidak tahu, bahwa kekuatan itu bukan karena aku tak pernah jatuh. Karena setiap kali aku retak, aku tetap memilih untuk bangkit, walau tertatih.

Kini aku mengerti, bahwa pagi yang tidak cerah, bukan tanda kegagalan. Ia adalah ruang di mana jiwa sedang ditempa.

Dari hati yang letih, aku belajar tentang ketulusan. Dari hari yang muram, aku belajar tentang cahaya. Dan dari air mata yang jatuh, aku belajar tentang doa yang sesungguhnya. Doa yang tak lagi memaksa, melainkan menyerahkan dengan pasrah.

Pagi yang kelabu ternyata juga punya keindahan. Hanya saja, dibutuhkan hati yang tenang untuk menemukannya. Mungkin, bukan mentari yang terlambat terbit, melainkan hatimu yang sedang disiapkan. Agar saat sinar itu akhirnya datang, kau tak hanya melihat cahayanya,
tapi juga merasakan hangatnya hingga ke dalam jiwa.

Tidak apa-apa jika pagimu tak seindah milik orang lain.

Tidak apa-apa jika hari ini kau hanya mampu berjalan tanpa senyum. Karena Tuhan tak pernah menilai seberapa terang cahayamu. Ia melihat seberapa tulus kau berusaha menyalakannya, bahkan di tengah gelap yang paling sunyi sekalipun.

Dan jika pagi ini terasa berat, jangan tergesa menyalahkan langit. Mungkin, justru lewat kabut inilah Tuhan sedang mengajarkanmu bagaimana cara mencintai kehidupan. Tanpa syarat, tanpa pamrih, dan tanpa harus selalu kuat.

Cukup dengan tetap percaya, bahwa setiap pagi, seberapa pun redupnya, selalu membawa peluang baru untuk memulai lagi. Dengan hati yang lebih dalam, dan jiwa yang lebih tegar.❤‍🔥🌹🌷

Jakarta, 14 November 2025

Nurul Jannah adalah seorang dosen lingkungan di IPB University, lulusan doktor lingkungan dari Hiroshima University, penulis produktif, dan penggerak literasi*)

Exit mobile version