PSSI Sumbar Menjelang Kongres: Antara Harapan Baru dan Bayang-Bayang Politik

Oleh: Nur Saadah Khudri, S.Hum., MA*)

MENJELANG Kongres PSSI Sumbar akhir November nanti, percakapan tentang masa depan sepak bola di Ranah Minang kembali menghangat. Di warung kopi, grup WhatsApp, hingga koridor kampus, satu pertanyaan sederhana, tapi berat, muncul berkali-kali: “Siapa yang akan memimpin, dan mau dibawa ke mana sepak bola Sumatera Barat setelah kongres nanti?”

Sebagai daerah yang punya sejarah panjang dalam melahirkan atlet, kita tentu berharap kongres kali ini bukan sekadar ajang rebutan kursi atau arena transaksional jelang pemilu. Kita ingin kongres ini jadi momentum baru: saat PSSI Sumbar benar-benar berani menata ulang fondasi sepak bola kita, bukan hanya mengubah wajah pemimpinnya.

Tidak bisa dipungkiri, hubungan olahraga dan politik selalu rumit. Sosiolog olahraga John Hargreaves pernah menulis bahwa “olahraga adalah cermin politik suatu bangsa.” Kalau olahraga kita loyo, sering kali itu menunjukkan ada yang tidak beres dalam tata kelola organisasi atau bahkan kepemimpinannya.

Begitu juga di Sumatera Barat. Setiap kali pemilihan ketua asosiasi sepak bola dilakukan, selalu terselip aroma politik. Tidak semua buruk, tentu. Dalam banyak kasus, keterlibatan politisi bisa membawa anggaran lebih besar, jejaring luas, atau kebijakan yang lebih berpihak kepada pembangunan olahraga.

Tetapi masalahnya muncul ketika ruang olahraga semakin sempit dan dipenuhi manuver kekuasaan. Ketika pembinaan yang harusnya jadi fokus utama malah tenggelam oleh agenda pencitraan. Saat itulah publik mulai gelisah.

Pakar geopolitik olahraga, Prof. Simon Chadwick, mengingatkan bahwa prestasi olahraga merupakan “aset simbolik” yang sangat kuat untuk legitimasi politik. Dari kacamata ini, tidak heran jika kursi PSSI, bahkan di level provinsi, adi posisi yang menarik bagi banyak tokoh.

Yang jadi persoalan: apakah mereka datang untuk olahraga, atau datang karena olahraga?

Kongres PSSI Sumbar: Momentum atau Sekadar Rutinitas?

Kongres akhir November nanti sebenarnya jadi salah satu momen paling penting dalam perputaran roda sepak bola daerah. Di tangan ketua terpilih, bukan hanya nasib kompetisi dan pembinaan usia dini yang ditentukan, tapi juga arah besar sepak bola Sumbar dalam lima tahun ke depan.

Masyarakat kita sangat berharap kongres ini tidak berjalan sekadar business as usual.

Tidak cukup memilih sosok populer; yang kita butuhkan adalah pemimpin dengan visi jelas, rekam jejak bersih, dan keberanian menempatkan kepentingan atlet di atas kepentingan politik.

Kita ingin ketua yang paham bahwa pembinaan sepak bola bukan hanya soal seremonial pembukaan turnamen, bukan sekadar memasang spanduk di stadion, bukan sekadar hadir di final.

Pembinaan itu soal konsistensi: kompetisi yang rapi, infrastruktur yang layak, pelatih yang terstandardisasi, dan ekosistem klub yang diberi ruang untuk hidup.

Prof. Alan Bairner pernah memberikan peringatan tajam: “Ketika politisi menguasai organisasi olahraga, batas antara kepentingan atlet dan kepentingan kekuasaan menjadi kabur.”
Kita tentu tidak ingin peringatan ini kembali terbukti di Sumbar.

Politik Boleh Hadir, Tapi Jangan Menguasai

Yang perlu digarisbawahi adalah satu hal: publik tidak alergi pada politisi. Banyak politisi yang justru punya kemampuan managerial, jaringan luas, dan akses sumber daya yang tidak dimiliki aktivis olahraga murni.

Yang dikhawatirkan adalah dominasi.
Kita ingin politik hadir sebagai mitra, bukan pengendali. Kita ingin pemimpin yang datang membawa sesuatu—bukan mengambil sesuatu.

Kalau keterlibatan politik bisa memperkuat pembinaan, memperbaiki fasilitas, atau menambah anggaran, tentu itu positif. Tetapi jika kehadirannya justru membuat organisasi sulit bergerak, penuh drama internal, atau sibuk menjaga loyalitas kelompok, maka sepak bola akan menjadi korban.

Pada akhirnya, suara terbesar datang dari masyarakat. Dari pelatih yang bertahun-tahun mengurus anak-anak sepak bola di lapangan kampung. Dari klub-klub kecil yang sering kali hidup seadanya. Dari para atlet muda yang berlatih tanpa kepastian masa depan. Dari suporter yang tak pernah lelah mencintai sepak bola meski kerap dikecewakan.

Mereka semua ingin hal sederhana:
PSSI Sumbar yang profesional, transparan, berintegritas.

Kongres nanti harus mampu menjawab itu. Agar stadion-stadion kita kembali bergemuruh bukan karena intrik politik, tapi karena gol-gol indah, munculnya bintang baru, dan prestasi yang membanggakan.

Sumatera Barat punya banyak talenta. Banyak energi. Banyak harapan. Yang kita butuhkan tinggal satu: kepemimpinan yang benar-benar berpihak pada masa depan olahraga, bukan masa depan kekuasaan.

Kongres PSSI Sumbar akhir November nanti adalah kesempatan. Kesempatan untuk memilih jalan baru.
Kesempatan untuk membuktikan bahwa sepak bola kita tidak akan kembali terjebak dalam lingkaran lama: gaduh, stagnan, lalu terlambat berubah.

Kini tinggal menunggu: Apakah kongres nanti akan lahirkan harapan, atau hanya menambah catatan panjang kekecewaan?

Kita semua sedang mengawasi.
Dan lebih penting lagi, kita semua sedang berharap. []

Penulis adalah Wakil Ketua DPW Sumatera Barat Partai Bulan Bintang dan Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNES Padang

Exit mobile version