Oleh : Nurul Jannah*)
Yang menangis bukan hanya para korban bencana.
Bukan hanya ibu yang kehilangan anaknya di antara derasnya arus lumpur,
atau lelaki yang memeluk puing rumahnya
seakan memeluk bayang masa lalu yang direbut heningnya malam.
Yang menangis adalah kita semua,
umat manusia yang hidup dan berpijak di bumi yang sama,
menghirup udara yang sama,
dan memperoleh amanah yang sama
yang sering kita khianati tanpa kita sadari.
Dan yang paling keras merintih adalah bumi itu sendiri,
mengusap luka, mengupas duka dengan bahasa gaib yang kita namai bencana,
bahasa yang hanya dipahami oleh hati nurani yang hidup dan benar-benar tunduk.
Di Sumatra, hujan turun yang seharusnya sebagai rahmat penuh berkah,
berubah sebagai isyarat dari langit,
seperti firasat yang turun ke dada para nabi as sebelum badai besar.
Air bah mengamuk di tengah malam,
tanah longsor merobek dalam punggung bukit,
desa-desa tertimbun seperti doa-doa berhamburan yang gugur sebelum sampai menyentuh Arsy,
dan ratusan nyawa kembali kepada Allah SWT, sang Pencipta
dengan cara yang tidak pernah mereka duga.
Rumah hanyut, jembatan patah,
jalan-jalan tercerabut dari tempatnya,
dan sekolah-sekolah yang biasanya penuh tawa
menjadi sunyi seperti ayat-ayat Allah yang kehilangan pembacanya.
Bencana itu bukan semata peristiwa,
tetapi pertanda,
cermin yang memantulkan wajah kita,
dalam bayang paling jujur yang pernah kita lihat.
Di Mana Luka Itu Menganga?
Di Aceh yang pernah berdamai dengan maut.
Di Sumatera Utara yang suburnya seperti hamparan doa,
namun kini retak seperti hati yang terlalu lama menahan derita.
Di Sumatera Barat yang gunung-gunungnya bertasbih,
namun lembahnya kini menjadi mihrab kesedihan
tempat bumi bersujud dalam diam.
Luka itu tidak hanya menganga di tanah,
tetapi menganga di angin,
di langit,
di dada bangsa ini,
seperti kabar gaib yang telah diingatkan Tuhan
namun lama kita abaikan.
Ia datang ketika manusia sedang sibuk membangun,
tetapi lupa mendengar napas bumi.
Ia datang saat hutan ditebang,
bukit digerogoti,
sungai disempitkan,
dan langit kita penuh asap keangkuhan.
Ia datang ketika kita merasa
bahwa alam adalah milik, bukan titipan.
Ketika kita lupa
bahwa sesuatu yang terluka
akan menagih balas,
dan bumi menagihnya dengan cara yang tidak bisa kita hindari.
Mengapa Semua Ini Terjadi?
Karena kita rakus.
Karena kita lalai.
Karena kita memanggil bencana,
tanpa sadar dengan tangan kita sendiri.
Kita lupa bahwa pohon adalah penjaga hujan.
Kita lupa bahwa bukit adalah penahan marahnya air.
Kita lupa bahwa sungai butuh ruang untuk bernapas.
Kita lupa bahwa bumi punya bahasa,
bahasa yang turun dari langit
dan naik kembali bersama air mata manusia.
Dan barangkali, sejatinya…
Allah sedang mengetuk hati kita,
agar kembali waras,
kembali sadar,
kembali sujud
sebelum langit menutup pintu peringatannya.
Dengan Apa Kita Menjawab Semua Panggilan Ini?
Dengan menundukkan ego.
Dengan memperbaiki hubungan kita dengan alam,
seperti memperbaiki hubungan dengan ibu
yang telah lama kita sakiti.
Dengan menanam, bukan menebang.
Dengan menahan diri, bukan merampas.
Dengan membangun peradaban yang ramah, bukan rakus.
Dengan menjadikan bencana ini
sebagai muhasabah terbesar,
bahwa kita bukan penguasa bumi,
kita hanya tamu singkat
yang akan dipanggil pulang
ketika waktu kita usai.
Kita menjawabnya dengan doa,
yang tidak hanya meluncur dari bibir,
tetapi menetes dari jiwa yang gentar,
oleh besarnya kuasa Allah.
“Ya Allah, kami telah lalai menjaga amanah-Mu.
Ajari kami mencintai bumi
sebelum bumi kembali bersaksi
atas kelalaian kami.”
Bencana di Sumatra adalah wahyu getir dari langit,
yang jatuh ke pangkuan kita,
dengan tinta air mata.
Dan tugas kita sekarang adalah menjaga agar bumi tidak perlu mengadukan kita lagi kepada Tuhan, untuk kedua kalinya.🙏
Jakarta, 3 Desember 2025
Nurul Jannah adalah seorang dosen lingkungan di IPB University, lulusan doktor lingkungan dari Hiroshima University, penulis produktif, dan penggerak literasi*)
