Nagari Batuah: Antara Bencana Alam dan Memilih Pemimpin

Gambar ilustrasi AI

Cerpen: Yunardi Sikumbang

Dua hari setelah banjir bandang menggulung Nagari Batuah, bau lumpur masih pekat menggantung di udara. Sungai yang biasanya jernih berubah menjadi aliran keruh berwarna teh pekat. Batang-batang pohon berserakan, sebagian besar terlihat jelas bekas gergajian mesin. Rumah-rumah yang dulunya berdiri damai di bantaran sungai kini tinggal papan patah, atap terburai, dan kenangan yang hanyut bersama air bah.

Di tengah suasana itu, suara toa dan teriakan penyambutan memecah duka masyarakat.

“Sebentar lagi alat berat akan datang! Tiga truk sembako sudah di lokasi, dan saya bawa uang tunai lima ratus juta untuk saudara-saudara kita!”

Dengan nada lantang, Pak Dr. H. Sidae berdiri di antara reruntuhan, lengkap dengan kacamata hitam dan rompi lapangan yang terlihat masih baru.

Kamera para wartawan menyorotnya dari berbagai sudut. Sidae memang sengaja mengundang mereka. Ia tahu momen bencana selalu menjadi panggung yang menjanjikan.

“Lihatlah rakyatmu, Pak Wali!” teriaknya sambil menunjuk ke arah sungai.
“Mereka butuh pemimpin yang turun ke lapangan, bukan duduk di belakang meja!”

Sorak-sorai menyahut.

“Hidup Pak Sidae! Hidup pemimpin yang peduli rakyat!”

Wajah-wajah letih itu berseri untuk sesaat. Mereka butuh harapan, dan Sidae datang membawa kotak-kotak bantuan yang ditumpuk rapi di belakang truk.

Tak ada yang tahu, sebagian besar pohon yang terbawa hanyut itulah sumber kekayaan Sidae.

Sementara itu, jauh dari kerumunan yang heboh, Pak Wali Nagari Sabil bekerja diam-diam di jalan menuju Masjid Raya. Tanpa kamera, tanpa sorak-sorai.

Hanya ada beberapa warga, baju dinasnya yang lusuh oleh lumpur, dan sebilah parang untuk membersihkan batang-batang kayu yang menghalangi akses warga.

Sejak malam pertama banjir, Pak Sabil langsung menghubungi kepala dusun, ninik mamak, datuak-datuak, serta bupati. Ia tidak membawa uang tunai, tidak membawa wartawan. Hanya membawa koordinasi, tenaga, dan kesederhanaannya.

Tetapi tidak semua orang melihat itu.

Selesai berpidato, Sidae tidak kembali ke tenda pengungsian. Ia meluncur ke villanya yang megah, jauh dari sungai dan aman dari musibah. Di sana, Pak Sogun, orang kepercayaannya, menyambut.

“Bagaimana, aman villa kita?”

“Aman, Pak Bos,” jawab Sogun. “Kayu-kayu juga sudah 90 persen sampai pelabuhan, hanya sedikit yang tertahan aparat.”

Sidae menghela napas lega. “Bagus. Semua harus rapi. Dalam kondisi bencana seperti ini, kita harus tampil sebagai pahlawan. Bantuan jangan ditahan, bencana ini bisa jadi berkah.”

Sogun sedikit menunduk. “Tapi uang kas kita menipis, Bos. Banyak habis buat menyenangkan para aparat.”

Sidae tersenyum tipis. “Tidak apa. Pelanggan dari Singapura baru transfer dua miliar. Fokus saja, tahun depan saya harus jadi Wali Nagari Batuah.”

Ia menyerahkan satu koper berisi uang tunai. “Ini satu miliar untuk ‘operasi kemanusiaan’. Jalankan seperti biasa.”

Dan malam itu, media sosial dipenuhi berita heroik mengenai Pak Sidae yang dermawan, yang peduli, yang hadir.

Pasca bencana, pemilihan wali nagari digelar. Kandidatnya hanya dua:

Pak Sabil, inkumben yang tenang, penyabar, dan dihormati tokoh agama.

Pak Sidae, flamboyan, royal, dan terkenal cepat naik darah.

Timses Sidae sudah menggelontorkan dana satu miliar rupiah. Brosur memenuhi setiap rumah. Kepala kampung, ketua pemuda, hingga perangkat nagari mendapat “bonus”.

Dalam kampanye besar-besaran, Sidae berpidato:

“Untuk apa membangun banyak masjid? Yang penting adalah ekonomi masyarakat! Kita butuh kerja nyata, bukan ceramah!”

Sebagian warga bersorak. Sebagian lain diam dan saling pandang.

Pak Sabil tetap sederhana. Ia hanya berceramah Jumat, mengisi kajian, dan menyambangi warga dengan senyum tenangnya.

Timses Sidae yakin menang. Survei internal mereka menunjukkan 60 persen suara untuk sang doktor.

Ketika kotak suara dibuka, benar saja: Sidae unggul 65 persen.

Namun tim Sabil tidak tinggal diam. Mereka mengadukan berbagai dugaan manipulasi suara, politik uang, dan tekanan terhadap panitia pemilu ke Kerapatan Adat Nagari (KAN).

Rapat adat berlangsung tegang. Bukti-bukti disodorkan. Saksi-saksi bersuara.

Dan keputusan mengejutkan pun keluar: Pak Sabil dinyatakan menang.

Beberapa hari kemudian, cerita sebenarnya beredar dari surau ke surau, dari kedai kopi ke kedai kopi.

Ternyata yang menjatuhkan Sidae bukanlah politik uang, bukan pula kasus kayu yang mulai tercium.

Melainkan satu kalimatnya sendiri. “Tidak perlu membangun masjid dan musholla banyak-banyak.”

Ucapan itu jatuh seperti batu di hati para ulama, guru mengaji, dan orang tua nagari.

Dalam masyarakat yang masih memegang adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah, perkataan itu menjadi jurang.

Di Nagari Batuah, banjir bandang mungkin meruntuhkan rumah-rumah, tapi kata-kata dapat meruntuhkan kekuasaan. []

Arai Pinang, 5 Desember 2025

Sinopsis Singkat

Setelah banjir bandang melanda Nagari Batuah, dua calon pemimpin menunjukkan wajahnya: Sidae yang memanfaatkan bencana untuk pencitraan, dan Sabil yang bekerja diam-diam membantu warga. Saat pemilihan digelar, Sidae sempat unggul lewat kampanye uang, namun keputusan adat membalikkan hasil. Bukan korupsi atau manipulasi yang menjatuhkannya, melainkan ucapannya yang meremehkan pembangunan masjid, sebuah kesalahan yang membuat masyarakat religius Nagari Batuah memilih menjauh.

Sekilas Tentang Penulis

Yunardi Sikumbang, lahir di Parak Jigarang, Kelurahan Anduring, Kecamatan Kuranji, Kota Padang, 13 Juli 1964. Alumni IKIP Padang (kini Universitas Negeri Padang) ini telah mengabdikan diri di dunia pendidikan, mengajar di sejumlah SMP di Sumatera Barat, dan purna tugas sebagai Pengawas SMP Disdik Kota Padang pada awal 2025.
Selain menjadi pendidik, ia aktif menulis cerpen, artikel, serta kritik sastra di berbagai media: Haluan, Singgalang, Padang Ekspres, dan Mingguan Canang. Saat ini tetap produktif menulis di media online fokusumbar.com.*

Exit mobile version