Reportase Obituari dan Launching Buku “A Tribute To Pipiet Senja: Jejak Inspirasi dan Warisan Sastra”
Oleh: Nurul Jannah*)
Pukul satu siang, 7 Desember 2025, Minggu yang getir itu, Gedung HB Yasin lantai 4 di Taman Ismail Marzuki mulai dipenuhi langkah-langkah yang datang dengan satu rasa yang sama: rindu yang tak lagi tahu harus pulang ke mana.
Wajah-wajah yang hadir membawa cerita masing-masing. Tentang pertemuan yang singkat, tentang pesan-pesan sederhana, tentang kalimat-kalimat kecil yang diam-diam pernah menyelamatkan hidup mereka.
Hari itu bukan semata acara biasa. Hari itu adalah peristiwa batin. Sebuah pertemuan jiwa-jiwa yang pernah disentuh oleh cahaya yang sama.
Bertajuk “Obituari: A Tribute To Pipiet Senja, Jejak Inspirasi dan Warisan Sastra”, acara ini menjelma ruang perjumpaan yang sakral antara kenangan, cinta, dan karya. Sekaligus menjadi momentum peluncuran buku “A Tribute to Pipiet Senja”; sebuah karya kolaboratif yang ditulis oleh 100 penulis yang mengenal Manini, sebutan penuh cinta bagi Pipiet Senja, perempuan yang menulis dengan separuh napas dan seluruh jiwanya.
Buku ini diinisiasi oleh Keluarga Besar Penyair Seksih, diterbitkan oleh Cakra Budaya Indonesia, serta disponsori oleh PT Bestari Buana Murni, hingga buku “A Tribute to Manini” dapat dibagikan secara gratis kepada seluruh kontributor. Sebuah ikhtiar yang lahir bukan dari kewajiban, melainkan dari hutang batin kepada seorang perempuan yang telah menyalakan cahaya di hidup begitu banyak orang.
Acara ini terselenggara juga berkat kebaikan para donatur dari berbagai pihak: dari Keluarga Penyair Seksih, komunitas Obor Sastra, sahabat-sahabat Manini, hingga dukungan dari Bapak Fadli Zon, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Semua menyatu dalam satu niat: merawat nyala yang ditinggalkan Manini, Pipiet Senja.
Nyala Senja di Atas Panggung
Ketika lampu panggung perlahan meredup, ruangan seketika sunyi. Nafas para hadirin tertahan. Lalu sebuah fragmen kehidupan dipentaskan oleh Teater Cakra dengan judul “Nyala Senja”, disutradarai langsung oleh Nuyang Jaimee, yang juga bertindak sebagai Ketua Pelaksana acara ini.
Fragmen ini bukan pertunjukan biasa. Ia adalah kilas balik yang dimainkan dengan jantung dan air mata.
Adegan demi adegan mengalir seperti denyut nadi. Tentang perjuangan, tentang sakit, tentang kesendirian, tentang ketegaran yang tak pernah berisik, namun justru mengalahkan ribuan teriakan.
Suara aktor-aktor di panggung tidak berteriak, tetapi justru mengoyak dengan lirihnya. Banyak mata yang mulai basah, dada yang mulai sesak.
Beberapa hadirin menunduk, tak sanggup membendung gelombang rasa yang tiba-tiba menerjang.
Di sanalah Pipiet seakan hadir kembali. Bukan sebagai nama, tetapi sebagai perempuan yang pernah bertarung dengan tubuh rapuh dan jiwa yang tak pernah menyerah.
Buku yang Ditulis dengan Air Mata dan Rindu
Peluncuran buku “A Tribute to Pipiet Senja” menjadi titik hening yang paling dalam. Seratus penulis menghadirkan suara mereka dalam bentuk esai, cerpen, puisi, dan refleksi. Semuanya ditulis dengan satu kesadaran yang sama, bahwa Manini bukan sekadar penulis, ia adalah rumah bagi banyak jiwa yang nyaris tamat di tepi keputusasaan.
Setiap halaman terasa seperti napas yang masih hangat. Setiap kalimatnya bukan hanya cerita, melainkan kesaksian hidup. Kesaksian bahwa Pipiet Senja pernah hadir, pernah menyapa, pernah menguatkan, dan tak pernah benar-benar pergi.
Diskusi, Testimoni, dan Jejak yang Tak Terhapus
Acara berlanjut pada Diskusi: Mengenal Pipiet Senja dalam Berbagai Perspektif. Suara demi suara menggambarkan Pipiet Senja dari beragam sisi, sebagai penulis, sahabat, ibu batin, penyintas, dan pejuang sunyi.
Diskusi ini tak hanya menghadirkan pemikiran, tetapi juga pengakuan emosional yang jujur, nyaris telanjang di hadapan duka.
Tiga narasumber utama hadir: Bunda Free, Kurniawan Junaedi, dan Fanny J. Poyk. Percakapan dipandu oleh Nuyang Jaimee dengan penuh rasa, hangat, dan emosi yang jujur. Di titik ini, semakin terasa betapa dalam dan indah jejak langkah Pipiet Senja.
Testimoni keluarga dan sahabat terdekat membuat suasana makin tenggelam dalam haru. Cerita-cerita kecil, tentang kebiasaan, pesan singkat, tawa sederhana, justru berubah menjadi pukulan paling sunyi dan paling dalam di dada para hadirin.
Salah satu testimoni paling menggetarkan datang dari sahabat terdekat Manini dari Malaysia, Dr. Hashim Yaacob. Dengan suara bergetar, ia berkata bahwa Pipiet Senja bukan hanya sahabat pena, tetapi juga secara jiwa, tempat berbagi luka, harap, dan doa lintas batas negara.
“Manini mengajarkan saya bahwa menulis bukan soal terkenal, tetapi tentang bagaimana satu kalimat bisa menyelamatkan satu kehidupan.” Kalimat itu jatuh seperti embun di tengah duka, menenangkan sekaligus mengoyak hati.
Puncaknya adalah penayangan videografi perjalanan hidup Pipiet Senja. Potongan gambar, suara, dan jejak waktu dirangkai perlahan, seakan menarik kembali Manini ke tengah ruangan. Tangis tak lagi bisa dibendung. Rindu menemukan jalannya sendiri.
Dan Teater Cakra kembali menutup perjalanan itu dengan Fragmen Perjalanan Hidup Pipiet Senja, seolah menegaskan bahwa kisah ini belum selesai, ia hanya berpindah bentuk.
Senja Itu Tidak Pernah Padam
Acara selesai menjelang petang. Di luar gedung, langit berubah warna. Merah keemasan. Lalu perlahan menggelap. Senja.
Tak satu pun yang menganggapnya kebetulan.
Karena hari itu, semua orang pulang dengan satu kesadaran yang sama bahwa Pipiet Senja tidak pergi. Ia tinggal. Di tulisan. Di kenangan. Di doa-doa yang diam-diam terus menyebut namanya dalam sepi.
Obituari ini bukan penutup. Ia justru menjadi titik nyala, bahwa warisan sastra bukan hanya tentang buku, tetapi tentang kehidupan yang disentuh dan dihidupkan kembali melalui kata-kata. Tentang luka yang disulap menjadi cahaya. Tentang jatuh yang diubah menjadi bangkit.
Dan Manini, dengan caranya yang paling sunyi dan paling setia, telah menjelma menjadi lentera batin bagi siapa saja yang pernah berdiri di batas putus asa dan harapan.
Maka ketika senja benar-benar turun sore itu, yang padam hanya matahari, bukan nyala yang ia titipkan di dada para pecinta dan pewaris puisinya.
Terima Kasih Tak Terhingga
Dalam nyala yang tak pernah padam itu, kami menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada seluruh panitia, yang telah menggagas, merawat, dan menyelenggarakan acara ini dengan cinta, keikhlasan, dan dedikasi yang utuh. Setiap detail yang terjaga menjadi bukti bahwa acara ini dikerjakan bukan dengan tergesa, melainkan dengan kesungguhan hati.
Terima kasih yang sedalam-dalamnya kami persembahkan kepada 100 kontributor buku “A Tribute to Pipiet Senja”, para penulis yang telah menghidupkan kembali Manini melalui esai, puisi, cerpen, dan refleksi penuh cinta. Karya-karya Anda bukan sekadar tulisan, melainkan napas yang membuat Pipiet Senja tetap hidup di lorong-lorong batin pembaca.
Terima kasih kepada para sponsor pribadi yang telah memberi daya tanpa sorot, menguatkan langkah tanpa pamrih, dan menjadi tangan-tangan cahaya bagi terselenggaranya peristiwa batin ini dengan layak dan bermartabat.
Dan kepada seluruh hadirin yang hadir, yang datang membawa rindu, yang duduk bersama air mata, yang pulang dengan dada penuh kenangan, terima kasih yang tak akan pernah cukup diwakili oleh kata. Kehadiran Anda adalah bukti bahwa cinta kepada Manini tidak pernah sendiri. Ruangan ini hidup karena langkah Anda.
Semoga setiap cinta yang tercurah hari itu, setiap air mata yang jatuh dalam diam, dan setiap doa yang terucap lirih di antara sesak dada, kembali kepada semua yang hadir sebagai keberkahan, kekuatan, dan cahaya. Seperti cahaya Manini, yang tak pernah benar-benar padam.❤🔥🌹🎀
Salam sastra.
Bogor, 8 Desember 2025
Nurul Jannah adalah seorang dosen lingkungan di IPB University, lulusan doktor lingkungan dari Hiroshima University, penulis produktif, dan penggerak literasi*)
