Oleh : Musfi Yendra*)
Hak masyarakat untuk memperoleh informasi publik, sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), merupakan kunci bagi pengawasan tata kelola sumber daya alam di Indonesia.
Dalam konteks kerusakan lingkungan dan meningkatnya bencana ekologis—peristiwa malapetaka yang menimpa alam sebagai akibat langsung dari aktivitas manusia, desakan keterbukaan data mengenai perizinan hutan menjadi sangat penting.
Selama puluhan tahun, praktik perizinan yang tidak transparan dalam sektor kehutanan, energi, dan lingkungan hidup telah berkontribusi besar pada hilangnya hutan dan meningkatnya risiko bencana, terutama di wilayah Sumatra.
Publik berhak meminta informasi dari Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kehutanan, dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terkait seluruh dokumen Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH).
Izin-izin tersebut meliputi Izin Usaha Pemanfaatan Kawasan (IUPK), Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan (IUPJL), Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK), dan berbagai bentuk perizinan lain yang menentukan penggunaan ruang dan perubahan bentang hutan.
Peraturan Komisi Informasi (PerKI) Nomor 1 Tahun 2021 mempertegas kewajiban badan publik menyediakan informasi tersebut secara proaktif dan memberikan akses cepat ketika diminta masyarakat. Keterbukaan ini bukan hanya soal hak administratif, tetapi merupakan instrumen untuk menyelamatkan lingkungan dan mencegah dampak buruk yang merugikan masyarakat luas.
Jika melihat rentang waktu dari 1990 hingga 2025, urgensi transparansi menjadi semakin jelas. Food and Agriculture Organization (FAO) mencatat bahwa Indonesia pada 1990 memiliki sekitar 118,5 juta hektare hutan. Tiga puluh lima tahun kemudian, jumlah ini menyusut drastis sehingga lebih dari 20,3 juta hektare tutupan hutan hilang akibat konversi lahan, ekspansi perkebunan, pembangunan infrastruktur, pertambangan dan praktik perizinan yang tidak diawasi dengan baik—disebut deforestasi.
Sementara, data terbaru Kementerian Kehutanan pada 2024 menunjukkan luas hutan Indonesia tinggal sekitar 95,5 juta hektare atau hanya menghuni 51,1 persen dari total daratan. Pada tahun yang sama, angka deforestasi netto masih berada pada kisaran 175,4 ribu hektare meski berbagai program restorasi dan rehabilitasi dijalankan.
Secara global, laporan FAO 2025 mencatat dunia tetap kehilangan sekitar 10,9 juta hektare hutan per tahun pada periode 2015–2025—sebuah fakta yang menunjukkan bahwa deforestasi, termasuk di Indonesia, masih merupakan krisis yang berlangsung aktif, bukan sekadar jejak masa lalu.
Kerusakan ekologis ini tidak terjadi secara tiba-tiba. Bencana alam yang kini terjadi di Sumatra: Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat berupa banjir bandang, longsor¬— sebelumnya kebakaran lahan, dan kabut asap, bukan hanya disebabkan faktor alam, tetapi merupakan akumulasi dari hilangnya tutupan hutan selama puluhan tahun.
Organisasi Greenpeace dalam berbagai laporan investigasinya menunjukkan bagaimana kerusakan hutan sering berjalan rapi melalui mekanisme “legal on paper”, namun “merusak di lapangan”. Perusahaan mendapatkan izin pemanfaatan kawasan, tetapi praktik operasionalnya melampaui batas izin, merambah area hutan lindung, atau tidak mematuhi analisis dampak lingkungan.
Selain itu tumpang-tindih izin, lemahnya verifikasi dokumen, dan minimnya publikasi data menjadi penyebab utama sulitnya memastikan apakah suatu perusahaan benar-benar beroperasi sesuai aturan.
Keterbukaan informasi publik dalam sektor kehutanan memungkinkan masyarakat mengakses dokumen izin, peta konsesi, rencana kerja tahunan, laporan pengawasan, AMDAL, hingga catatan pelanggaran. Dengan data tersebut, publik dapat menilai apakah perubahan kawasan dilakukan secara sah, apakah perusahaan mematuhi kewajiban lingkungan, dan apakah izin yang dikeluarkan sejalan dengan prinsip kelestarian ekosistem.
Masyarakat dapat mengajukan permohonan resmi kepada PPID di masing-masing kementerian dan lembaga berwenang. UU KIP mewajibkan badan publik memberikan jawaban paling lambat 10 hari kerja, ditambah 7 hari jika diperlukan perpanjangan waktu.
Jika permintaan ditolak, tidak lengkap, atau diabaikan, pemohon berhak mengajukan keberatan dalam 30 hari, hingga menyelesaikannya melalui mekanisme sengketa informasi di Komisi Informasi. Mekanisme ini memastikan bahwa negara tidak boleh menyembunyikan data yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Transparansi memainkan peran yang sangat signifikan dalam mencegah terjadinya bencana. Ketika data perizinan tertutup, potensi penyimpangan meningkat. Banyak kasus penebangan liar terjadi bukan karena ketiadaan aturan, tetapi karena publik tidak memiliki akses untuk memantau apakah izin yang dikeluarkan sesuai dengan kondisi lapangan.
Di Sumatra, banjir besar kerap berulang di daerah-daerah yang berdekatan dengan kawasan konsesi. Tanpa informasi mengenai siapa pemegang izin dan bagaimana izin tersebut digunakan, masyarakat sulit menuntut pertanggungjawaban.
Krisis transparansi deforestasi selama ini akhirnya seperti bencana yang terencana. Deforestasi selama 35 tahun terakhir membuktikan bahwa kerusakan dapat terjadi perlahan namun pasti.
Kedepan, keterbukaan informasi memungkinkan akademisi, peneliti, jurnalis, dan organisasi lingkungan menggunakan data resmi untuk memverifikasi perubahan tutupan lahan, memetakan konflik agraria, serta mengidentifikasi potensi kerusakan lebih jauh.
Permohonan informasi publik dalam kerangka UU KIP bukan sekadar langkah administratif, tetapi merupakan tindakan strategis untuk menyelamatkan masa depan lingkungan Indonesia.
Dengan membuka dokumen perizinan, publik dapat memastikan bahwa pengelolaan hutan tidak hanya berpihak pada kepentingan ekonomi jangka pendek, tetapi juga pada kelestarian alam dan keselamatan masyarakat.
Transparansi adalah alat paling efektif untuk menghentikan praktik ilegal, memperkuat akuntabilitas, dan memastikan bahwa hutan tetap menjadi warisan bagi generasi mendatang.
Ini saatnya hak akses informasi digunakan secara maksimal untuk menjaga bumi yang kita tinggali bersama. []
Ketua Komisi Informasi Provinsi Sumatera Barat*)
