Banner Bupati Siak

Mahasiswa Ditengah Penantian Menuju Anatolia

Oleh : Ervin Sandri*

Penundaan keberangkatan mahasiswa program SIBAC-SIP UIN Imam Bonjol Padang ke Turki dalam rangka short course tentu menjadi kabar yang menyisakan kekecewaan. Namun, di tengah penantian ini, justru ada ruang refleksi yang berharga: bagaimana menyikapi ujian ini dengan visi keilmuan dan spiritualitas yang utuh?

Di sinilah pemikiran Said Nursi, ulama besar Turki yang hidup dalam badai penjajahan dan represi sekulerisme, hadir sebagai inspirasi. Said Nursi tidak hanya mengajarkan pentingnya ilmu, tetapi juga menekankan bahwa iman dan aksi sosial harus berjalan beriringan.

Bagi para mahasiswa yang sedang menunda langkah fisik menuju Anatolia, mungkin ini saatnya melangkah lebih dalam menemukan kembali makna belajar, beriman, dan berjuang lewat perspektif tokoh besar negeri yang sedang kami tuju.

Siapa sangka, langkah kaki yang tertunda justru bisa jadi jalan hati yang terbuka. Begitulah rasanya bagi saya dan team, mahasiswa program Short Course SIBAC SIP UIN Imam Bonjol Padang, yang semestinya hari-hari ini tengah bersiap menyusuri jalan-jalan bersejarah di Turki. Tapi rencana itu tertunda. Ada kecewa? Tentu. Tapi ternyata, di balik penundaan ini, ada pertemuan yang jauh lebih dalam bukan dengan orang, tapi dengan pemikiran. Bukan dengan tempat, tapi dengan jiwa. Namanya: Said Nursi.

Bayangkan, kami ingin ke Turki untuk mengenal peradaban, tapi malah dipertemukan dulu dengan tokoh yang justru melahirkan peradaban berpikir di tengah badai zaman. Said Nursi bukan hanya sekadar ulama. Ia seorang pejuang ilmu dan iman di tengah tekanan sistem sekuler Turki awal abad ke-20. Pemikirannya tidak hanya menggugah otak, tapi juga mengguncang hati terutama buat kami para mahasiswa yang sedang mencari arah: untuk apa sebenarnya belajar?

Penundaan keberangkatan mahasiswa program SIBAC-SIP UIN Imam Bonjol Padang ke Turki dalam rangka short course tentu menjadi kabar yang menyisakan kekecewaan. Namun, di tengah penantian ini, justru ada ruang refleksi yang berharga: bagaimana menyikapi ujian ini dengan visi keilmuan dan spiritualitas yang utuh?

Di sinilah pemikiran Said Nursi, ulama besar Turki yang hidup dalam badai penjajahan dan represi sekulerisme, hadir sebagai inspirasi. Said Nursi tidak hanya mengajarkan pentingnya ilmu, tetapi juga menekankan bahwa iman dan aksi sosial harus berjalan beriringan. Bagi para mahasiswa yang sedang menunda langkah fisik menuju Anatolia, mungkin ini saatnya melangkah lebih dalam menemukan kembali makna belajar, beriman, dan berjuang lewat perspektif tokoh besar negeri yang sedang kami tuju.

Ketika Belajar Bukan Sekadar Nilai

Said Nursi pernah berkata bahwa ilmu tanpa iman adalah buta, dan iman tanpa ilmu adalah lumpuh. Kalimat itu menampar halus, tapi dalam. Betapa seringnya kita kuliah hanya untuk nilai, menghafal teori tanpa rasa, bahkan sibuk mengumpulkan sertifikat tanpa pernah bertanya: untuk siapa semua ini? Padahal, menurut Nursi, ilmu adalah jalan menuju pengabdian. Bukan pengabdian pada gelar, tapi pada Tuhan dan sesama manusia.

Membaca Nursi di tengah penundaan ini, seperti diingatkan ulang: belajar itu bukan cuma soal tempat, tapi soal sikap. Turki memang tempat yang indah, tapi kalau jiwa kita belum siap, bahkan masjid biru pun hanya akan jadi objek selfie, bukan tempat kontemplasi.

Dari Penantian ke Perjumpaan

Penundaan ini bukan akhir, tapi jeda. Dan di dalam jeda ini, kami justru punya waktu untuk benar-benar menyelami makna keilmuan yang lebih hakiki. Bukan hanya soal keberangkatan ke Turki, tapi keberangkatan menuju pemahaman diri.

Kami mulai membaca Risalah Nur, karya fenomenal Nursi yang penuh refleksi tentang tauhid, ujian hidup, ilmu, dan tanggung jawab sosial. Di sana, kami menemukan bahwa menjadi mahasiswa bukan hanya soal menjadi pintar, tapi juga peka dan peduli. Nursi mengajarkan bahwa ilmu harus melahirkan keberanian keberanian untuk membela kebenaran, menyuarakan keadilan, dan tetap teguh saat ujian datang.

Turki Bisa Menunggu, Tapi Kesadaran Tidak

Kalau dipikir-pikir, Turki bisa menunggu. Masjid, museum, salju, dan sejarah itu tidak akan lari. Tapi kesadaran kesadaran untuk menjadi mahasiswa yang utuh secara intelektual dan spiritual itu tidak boleh ditunda.

Mungkin inilah makna dari “perjalanan belum jadi, tapi pertemuan sudah terjadi”. Pertemuan dengan pemikiran yang seharusnya memang lebih dulu kita pahami sebelum menapak jejaknya secara fisik.

Jadi, meski belum menjejakkan kaki di Anatolia, kami percaya: kami sudah melangkah. Bukan ke tempat, tapi ke arah yang lebih dalam. Dan siapa tahu, saat nanti benar-benar tiba di Turki, kami datang bukan hanya sebagai pelancong, tapi sebagai pencari. Yang tak hanya melihat peninggalan Said Nursi, tapi sudah membawa semangatnya dalam diri.

Mungkin hari ini kami belum menginjak tanah Turki. Belum sempat berziarah ke makam Badiuzzaman Said Nursi, belum sempat duduk di ruang-ruang akademik yang dulu jadi ladang perjuangannya. Tapi kami percaya, pertemuan yang paling dalam bukan selalu tentang tatap muka, melainkan tentang menyentuh makna.

Said Nursi telah hadir dalam proses kami menginspirasi cara berpikir, mengajak kami menyelaraskan ilmu dengan iman, serta menyadarkan bahwa menjadi mahasiswa bukan cuma soal gelar, tapi soal nilai dan kontribusi nyata.

Dan saat kaki kami nanti benar-benar melangkah ke Anatolia, kami akan pergi bukan dengan tangan kosong, melainkan dengan hati yang sudah disiapkan. Karena dalam setiap penundaan, selalu ada ruang untuk pertumbuhan.

Kami mungkin belum sampai ke Turki. Tapi kami tahu, kami sedang menuju ke arah yang benar. []

*Mahasiswa sIBac-Sip 2025 UIN Imam Bonjol Padang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *