Banner Bupati Siak

Media Sosial sebagai Cermin, Cita, dan Cipta Mahasiswa

Oleh : Randa Gusmanedi*

Media sosial telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan mahasiswa masa kini. Seiring berkembangnya teknologi, platform digital seperti Instagram, TikTok, Twitter, Facebook, dan LinkedIn menjadi tempat berkumpulnya berbagai aktivitas, mulai dari mencari informasi, membangun relasi, hingga membentuk identitas diri.

Mahasiswa sebagai bagian dari generasi digital tak bisa lepas dari pusaran arus ini. Dalam keseharian, media sosial menjadi ruang untuk mencurahkan pikiran, mengekspresikan perasaan, memamerkan pencapaian, dan bahkan menyuarakan aspirasi sosial. Ia tidak hanya menjadi alat komunikasi, melainkan juga panggung eksistensi.

Dalam dunia akademik, media sosial menyimpan potensi luar biasa. Banyak mahasiswa kini mengakses YouTube untuk memahami materi kuliah yang rumit, mengikuti kelas daring dari tokoh akademisi ternama, atau bergabung dalam forum diskusi di Telegram dan Discord. Tidak sedikit pula dosen yang memanfaatkan Instagram atau TikTok untuk menyampaikan konsep-konsep pelajaran dengan cara yang lebih ringan dan menyenangkan. Di satu sisi, ini menunjukkan bahwa pembelajaran tak lagi terkungkung di ruang kelas. Dunia digital telah membuka ruang pendidikan alternatif yang lebih luas dan fleksibel.

Namun, manfaat tersebut tidak lepas dari sisi gelap yang membayang. Media sosial menjadi sumber distraksi utama bagi banyak mahasiswa. Sering kali, niat awal membuka Instagram untuk mencari informasi tugas berakhir dengan satu jam penuh scrolling tanpa arah. Waktu produktif terbuang hanya karena candu akan visual dan informasi yang terus-menerus muncul di beranda. Bahkan, tak sedikit mahasiswa yang mengeluh bahwa waktu belajar mereka tersita hanya untuk melihat video pendek yang sebenarnya tidak berdampak apa-apa terhadap perkembangan akademis mereka.

Kecanduan terhadap media sosial menjadi fenomena nyata yang tak bisa dianggap enteng. Rasa cemas yang muncul ketika tidak membuka notifikasi, ketergantungan terhadap likes dan komentar, serta kebutuhan untuk selalu hadir dalam tren digital menciptakan tekanan mental tersendiri. Mahasiswa terjebak dalam siklus keterhubungan yang melelahkan secara emosional. Fear of missing out (FOMO) membuat mereka terus memantau aktivitas teman-temannya, bahkan ketika itu mengganggu waktu istirahat dan belajar.

Yang lebih mengkhawatirkan adalah dampak terhadap kesehatan mental. Di era visual ini, media sosial sering kali menampilkan standar kehidupan yang tampak sempurna. Pencapaian teman, foto liburan, prestasi akademik, bahkan gaya hidup mewah sering kali menjadi tolak ukur keberhasilan.

Mahasiswa merasa tertinggal, rendah diri, atau tidak cukup baik hanya karena membandingkan diri dengan potret kehidupan orang lain yang belum tentu mencerminkan realita sesungguhnya. Media sosial menjelma menjadi ruang kompetisi yang penuh tekanan tak kasat mata.

Padahal, apa yang ditampilkan di media sosial hanyalah potongan-potongan terbaik dari hidup seseorang. Filter, pencahayaan, pengambilan sudut gambar, hingga narasi yang disusun dengan hati-hati, semuanya membentuk realitas semu yang menipu. Mahasiswa yang tidak memiliki kesadaran kritis terhadap hal ini akan mudah terperangkap dalam ilusi. Mereka menjadi korban dari ekspektasi palsu yang diciptakan oleh media sosial, merasa gagal hanya karena tidak mampu menampilkan kehidupan seperti yang mereka lihat di layar.

Meski begitu, media sosial tetap memiliki potensi besar sebagai ruang aktualisasi diri. Banyak mahasiswa yang berhasil memanfaatkan platform ini untuk menunjukkan potensi dan karya mereka. Dari menulis opini, membuat video edukatif, berbagi tips belajar, hingga memamerkan hasil riset atau karya seni.

Media sosial memberi ruang bagi mahasiswa untuk membangun citra positif dan menciptakan nilai lebih bagi dirinya. Bahkan, tidak sedikit mahasiswa yang berhasil membangun personal branding yang kuat hingga dilirik oleh perusahaan atau institusi akademik.

LinkedIn, sebagai contoh, telah menjadi platform penting bagi mahasiswa yang ingin membangun jejaring profesional sejak dini. Dengan profil yang terstruktur, mereka dapat memamerkan portofolio, sertifikat, pengalaman organisasi, dan prestasi lainnya. Terhubung langsung dengan para profesional, alumni, atau rekruter menjadi peluang besar untuk memperluas kesempatan di dunia kerja. Media sosial, dalam hal ini, menjadi jembatan antara dunia akademik dan dunia profesional.

Fenomena mahasiswa sebagai content creator juga menarik untuk diperbincangkan. Banyak dari mereka yang menjadi influencer edukasi, menyebarkan konten positif, atau bahkan menciptakan sumber penghasilan dari kreativitas digital. Dari membuat vlog kegiatan kampus, berbagi tips beasiswa, hingga membuat konten inspiratif, semua menjadi wujud nyata bahwa mahasiswa mampu produktif di dunia digital. Kreativitas mereka membawa pengaruh besar di kalangan sesama mahasiswa maupun pelajar.

Namun menjadi konten kreator tidak selalu mudah. Di balik konten yang tampak sempurna, tersimpan kerja keras yang tidak sedikit. Mahasiswa harus pandai membagi waktu antara tugas kuliah, kegiatan organisasi, dan kewajiban sebagai kreator. Tekanan untuk terus konsisten, mempertahankan engagement, dan menghadapi komentar negatif kadang menjadi beban tersendiri. Tak jarang, mereka mengalami kelelahan mental yang berdampak pada performa akademik maupun sosial.

Masalah etika dalam bermedia sosial juga menjadi isu penting. Mahasiswa sebagai kaum intelektual muda seharusnya menjadi teladan dalam menggunakan media sosial secara etis dan bertanggung jawab. Namun kenyataannya, masih banyak yang terjebak dalam penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan perilaku digital yang merugikan orang lain. Kurangnya kesadaran terhadap etika digital menunjukkan bahwa literasi media masih menjadi pekerjaan rumah besar.

Literasi digital seharusnya menjadi bagian dari kurikulum pendidikan tinggi. Kampus memiliki tanggung jawab untuk membekali mahasiswa dengan pemahaman yang mendalam tentang etika bermedia, verifikasi informasi, serta kesadaran akan jejak digital. Dengan demikian, mahasiswa dapat menjadi pengguna aktif yang kritis dan bertanggung jawab, bukan hanya sekadar konsumen pasif dari arus informasi yang begitu deras.

Di sisi lain, media sosial juga berperan besar dalam pengorganisasian gerakan sosial. Mahasiswa dikenal sebagai kelompok yang vokal dalam menyuarakan keadilan sosial. Kini, melalui media sosial, suara mereka dapat menjangkau khalayak luas, membentuk opini publik, dan memobilisasi dukungan. Aksi solidaritas, petisi daring, kampanye digital, dan gerakan #SaveThis atau #ReformasiDikorupsi menjadi contoh bagaimana media sosial memperkuat peran mahasiswa dalam ruang publik.

Namun, muncul pula risiko aktivisme semu. Media sosial bisa menjebak mahasiswa dalam ilusi perjuangan, di mana cukup dengan mengunggah poster, mereka merasa telah berkontribusi dalam perubahan sosial. Padahal, perjuangan sejati membutuhkan langkah nyata dan konsistensi di lapangan. Aktivisme digital harus menjadi pelengkap dari aksi fisik, bukan pengganti yang kosong makna.

Dari segi hubungan sosial, media sosial telah mengubah pola komunikasi antar mahasiswa. Obrolan di grup WhatsApp menggantikan diskusi langsung, emoji menjadi pengganti ekspresi, dan like menjadi simbol dukungan. Meski efisien, komunikasi semacam ini kerap kehilangan kedalaman. Interaksi menjadi dangkal, miskin makna, dan cenderung menurunkan empati.

Akibatnya, banyak mahasiswa mengalami kesulitan membangun relasi secara langsung. Mereka lebih nyaman berbicara lewat layar daripada bertatap muka. Padahal, kehidupan kampus menuntut kerja sama, komunikasi verbal, dan kemampuan berinteraksi dalam banyak ruang sosial. Ketergantungan pada komunikasi digital bisa menjadi penghambat pengembangan kemampuan interpersonal mahasiswa.

Budaya juga mengalami transformasi besar akibat media sosial. Mahasiswa kini lebih cepat terpapar budaya global, baik dalam hal musik, gaya hidup, hingga bahasa. Di satu sisi, ini memperkaya wawasan dan membuka cakrawala baru. Namun di sisi lain, bisa mengikis nilai-nilai budaya lokal jika tidak disikapi dengan bijak. Penggunaan media sosial yang tidak berakar pada jati diri budaya bisa menciptakan generasi yang tercerabut dari akar identitasnya.

Agar media sosial tidak menjadi jebakan, mahasiswa perlu menyadari bahwa mereka adalah pengendali, bukan yang dikendalikan. Media sosial harus menjadi alat, bukan tuan. Mereka harus mampu mengatur waktu penggunaan, menyaring konten yang dikonsumsi, dan memprioritaskan hal-hal yang bermanfaat. Menjaga keseimbangan antara dunia digital dan dunia nyata adalah kunci agar mahasiswa tetap produktif dan sehat secara mental.

Pada akhirnya, media sosial bukanlah musuh yang harus dijauhi, tapi juga bukan sahabat yang selalu baik. Ia adalah ruang yang netral, yang bisa membawa manfaat atau mudarat tergantung bagaimana kita menggunakannya.

Mahasiswa, sebagai agen perubahan dan generasi harapan bangsa, harus mampu memaksimalkan potensi media sosial untuk kebaikan baik untuk dirinya, masyarakat, maupun bangsanya. Dengan sikap kritis, bijak, dan bertanggung jawab, media sosial akan menjadi medan pengabdian yang luas, bukan sekadar ruang hiburan yang meninabobokkan. []

*Penulis adalah Guru SD IT Darul Azzam Rao Kabupaten Pasaman sekaligus Mahasiswa STAI YDI Lubuk Sikaping dengan Program Studi Pendidikan Agama Islam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *