Banner Bupati Siak

Selalu Terhubung, Tapi Kenapa Masih Merasa Sepi?

Oleh : Nofan Alfandi*

“Bahkan teknologi yang menjanjikan untuk menyatukan kita, justru memecah belah kita. Masing-masing dari kita sekarang terhubung secara elektronik ke seluruh dunia, namun kita merasa benar-benar sendirian’’ Mr. Brown

Beberapa waktu terakhir, makin banyak orang yang mulai resah dengan hubungan mereka dan benda kecil bernama ponsel. Di tengah kesibukan, layar lima inci itu menjadi pelarian, teman, bahkan tempat berteduh dari realitas yang melelahkan.

Tapi di saat yang sama, justru karena terlalu sering bersandar padanya, banyak yang mulai merasa kehilangan arah, waktu, dan koneksi nyata. Kita bilang ingin lebih terhubung, tapi diam-diam mulai terjebak. Maka, satu pertanyaan pun muncul: “Kita pakai ponsel untuk terhubung, atau kita terhubung justru untuk semakin terjebak?”

Dilema soal ponsel pun tak kalah rumit: “Kita memakai ponsel untuk terhubung, atau terhubung justru karena terjebak di dalamnya?” Pertanyaan ini mungkin terdengar sederhana, tapi jawabannya tak sesingkat itu. Di satu sisi, ponsel memudahkan segalanya dari bekerja, belajar, hingga bersilaturahmi.

Namun di sisi lain, kehadirannya perlahan mengambil alih. Kita bilang ingin lebih dekat dengan banyak orang, tapi sering kali justru menjauh dari mereka yang benar-benar hadir di depan mata. Apakah ponsel membuat kita lebih hidup? Mungkin. Tapi bisa jadi, hanya jika kita tidak sepenuhnya dikuasai olehnya.

Ketika kita memiliki ponsel, banyak hal terasa lebih mudah. Informasi bisa diakses dalam hitungan detik, pekerjaan bisa diselesaikan tanpa harus hadir fisik, bahkan obrolan keluarga berpindah ke ruang virtual. Ponsel telah menjadi perpanjangan dari tangan dan pikiran kita.

Tanpanya, sebagian orang merasa tertinggal atau terputus dari dunia. Maka tak heran, jika hari ini seseorang merasa gelisah bukan karena sendirian, tapi karena tak memegang ponsel. Jika ponsel tak bisa menyelesaikan masalah, mungkin bukan salah fungsinya tapi karena kita sudah terlalu bergantung padanya.

Banyak orang hari ini seolah tidak bisa bermimpi tanpa ponsel di genggaman. Ia bukan lagi sekadar alat komunikasi, melainkan jembatan menuju akses informasi, peluang pendidikan, bahkan masa depan. Namun di balik semua kemudahan itu, masih banyak yang terjebak pada sisi gelapnya: kecanduan, ilusi kesuksesan instan, dan pencitraan semu. Bagi sebagian anak muda, ponsel menjadi pintu harapan tapi bagi yang lain, justru menjadi labirin yang menyesatkan. Maka pertanyaannya bukan lagi soal siapa yang punya ponsel, tapi siapa yang benar-benar bebas menggunakannya.

Layanan digital kini merambah hampir semua bidang, termasuk kesehatan. Lewat ponsel, kita bisa daftar rumah sakit, konsultasi, bahkan pantau antrian. Tapi nggak semua orang bisa menikmati kemudahan itu. Masih banyak yang kesulitan beli kuota, atau bahkan tak punya perangkat yang mendukung. Di sisi lain, mereka yang hidup dalam kenyamanan digital bisa dapat layanan cepat, tanpa perlu menunggu berjam-jam. Di sinilah letaknya kesenjangan.

Pertanyaannya bukan lagi soal siapa yang punya ponsel, tapi siapa yang benar-benar bisa menggunakannya untuk hidup lebih baik. Kalau ponsel bisa jadi penyelamat, lalu bagaimana nasib mereka yang tak punya kesempatan memegangnya?

Ketimpangan dalam dunia digital juga bisa jadi bencana yang tak kasatmata. Bukan cuma soal tidak punya ponsel, tapi hilangnya akses pada informasi, peluang, dan pilihan. Di era seperti sekarang, yang tidak punya perangkat seperti tertinggal dari dunia. Anak-anak yang tak bisa belajar daring, ibu-ibu yang tak bisa mendaftar bantuan karena tak paham aplikasi.

Saat hidup makin sempit, ponsel yang seharusnya jadi alat bantu malah terasa seperti tembok yang memisahkan. Ketika semua bergantung pada koneksi, mereka yang tak punya jaringan justru makin tersingkir, bukan karena bodoh, tapi karena tak punya alat untuk mengejar.

Pertanyaan “ponsel untuk terhubung atau terhubung untuk terjebak?” memang bisa dijawab dengan cara berbeda, tergantung cara orang memakainya. Ada yang merasa ponsel mendekatkan mereka dengan keluarga, pekerjaan, dan mimpi-mimpi. Tapi ada juga yang justru kehilangan semuanya karena terlalu tenggelam dalam layar. Bagi sebagian orang, ponsel adalah alat bantu.

Tapi bagi yang lain, ponsel bisa jadi sumber cemas, perbandingan, dan keterasingan. Terhubung memang penting, tapi bukan berarti semua bentuk keterhubungan membuat hidup jadi utuh. Karena tidak semua notifikasi berarti perhatian. Dan tidak semua scroll membawa ketenangan.

Layaknya listrik, ponsel hari ini jadi kebutuhan dasar. Tapi hidup tidak hanya soal terhubung. Ada hal-hal yang tak bisa disampaikan lewat pesan singkat atau emoji seperti pelukan, kehadiran, atau mata yang benar-benar melihat. Ponsel memang bisa mendekatkan, tapi juga bisa membuat kita lupa cara bersentuhan. Ia hanyalah alat, bukan inti dari hidup itu sendiri. Karena kalau semua hubungan hanya berputar di layar, lalu di mana ruang untuk benar-benar hadir sebagai manusia?

Di tengah hidup yang makin terkoneksi tapi terasa makin sepi, pertanyaan ini bukan hanya layak diajukan, tapi perlu terus kita renungkan. Karena cara kita menjawabnya mencerminkan apa yang benar-benar kita cari: koneksi yang mendekatkan, atau hanya distraksi yang terus menyita perhatian. Pada akhirnya, ponsel memang penting. Tapi jangan sampai dalam upaya untuk selalu terhubung, justru kita kehilangan diri sendiri.

Jadi bagaimana jawabannya. Ponsel itu buat terhubung, atau justru bikin kita terjebak? (*)

Penulis adalah Mahasiswa Hukum Keluarga UIN Imam Bonjol Padang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *