Permata dari Lereng Marapi

Puisi : Sri Mega Hayatulnupus*

Di lereng Marapi yang sunyi dan menjulang,

ketika langit bersimpuh di pelukan bumi,

tergambar sosok seorang pejuang dalam diam

menyalakan nyala api dari sepi,

menyemai cahaya di tetesan embun pagi,

dengan tekad setajam sembilu,

dan hati sebening telaga yang tak pernah mengadu.

Buya Zamzami, namamu bukan sekadar panggilan,

ia adalah gema keberanian yang memilih diam,

langkahmu tak dituntun apa-apa,

hanya cahaya iman yang kau peluk erat,

kau genggam bara, kau tenun harapan dari peluh,

kau berdiri saat zaman memilih untuk mengeluh.

Lasi, bukan tanah yang dicumbu kemewahan,

tapi engkau menjadikannya suci tempat kehidupan bersujud.

Di sanalah kau bangun sebuah pondok kecil

Ash-Habul Yamin, mentari yang lahir dari rimba sunyi

bukan dari istana, tapi dari akar sabar yang dijalin sepenuh hati.

Dengan tangan renta, namun jiwa yang tetap muda,

kau susun tembok dari sabar, atap dari doa,

lantainya adalah sujud, jendelanya harapan.

Dari tiap ruang, mengalir ilmu

yang harum seperti musim semi yang turun dari langit.

Mereka menyebut ini hanya kayu dan tanah,

tapi kami tahu,

di balik itu ada malam-malam yang tak mengenal tidur,

ada tangis yang tak bersuara dalam qiyam yang panjang,

ada keyakinan yang tak pernah bisa dibeli

oleh dunia semegah apa pun ia mencoba merayu hati.Pondok itu bukan sekadar bangunan,

ia adalah nyawa yang kau titipkan

ke dalam dada para santri,

yang kini berjalan menjadi lentera,

mereka membawa ayat, menghidupkan hikmah,

dan pada wajah mereka kami melihat pantulanmu, Buya.

Engkau tak pernah meminta dikenang,

namun sejarah melukis namamu dalam guratan awan malam.

perjuanganmu, bunga ikhlas yang mekar abadi,

tidak pernah mati ia menjelma angin,

yang terus berbisik lembut

ke telinga generasi yang haus akan arah.

Saat angin berhembus dari puncak Marapi,

ia mengalirkan wangi perjuangan dari pondokmu yang suci.

Dan dalam setiap azan yang menggema di lembah ini,

namamu berdiri tak tergoyah,

sebagai permata sejati,

yang dipahat Tuhan dengan cinta,

dan luka yang tak sia-sia.

Kini kami mengerti,

bahwa pahlawan tak selalu berdiri di atas panggung,

kadang ia duduk bersila di lantai tanah,

dengan kitab di tangan dan peluh di dahi,

mengubah dunia bukan dengan sorak,

tapi dengan satu jiwa yang rela hancur,

agar seribu jiwa bisa tumbuh.

Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *