Menyigi Regulasi PT LIB (I-League) Terbaru

Oleh : Hendra Idris *)

LIGA sepak bola Indonesia sedang menyongsong regulasi baru, begitu PT Liga Indonesia Baru (LIB), selaku operator Liga Indonesia, —yang telah mengubah nama menjadi I-League — memutuskan salah satu agenda keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)-nya, 7 Juli 2025 lalu.

Namun entah ini kemajuan —atau justru kemunduran— memersilakan tiap klub peserta Super League (sebelumnya bernama Liga 1) mulai musim 2025/2026 mendaftarkan 11 pemain asing dalam satu musim, dengan catatan, yang boleh tampil di setiap pertandingan hanya 8 pemain, sedang 3 lainnya tidak boleh masuk dalam daftar susunan pemain (DSP). Sangat kontroversial, memang!

Bagi sebagian kalangan, ini tampak seperti langkah agresif menuju “profesionalisme”. Namun sesungguhnya, bagi banyak pengamat dan pencinta sepak bola Tanah Air yang rasional, ini malah bentuk “kemubaziran”, sekaligus ancaman serius terhadap kontinuitas sepak bola Indonesia. Kontradiktif dengan apa yang digadang-gadang oleh Erick Thohir, Ketua Umum PSSI (Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia), berkali-kali —selama ini— kepada awak media (dan fans sepak bola Indonesia).

Mengapa kebijakan ini mubazir dan membuncahkan persaingan tak sehat antarpemain asing? Sebab, bagaimana pun kebijakan ini justru menutup kans pemain lokal untuk berkembang kelak?

Jadi Panggung Impor

Sepak bola modern memang menuntut kualitas dan kecepatan, dan tak bisa dimungkiri bahwa pemain asing kerap membawa standar baru di lapangan. Namun, membolehkan 8 pemain pemain asing tanpil dalam satu tim justru memuncratkan langkah ekstrem dan menimbun potensi pembinaan lokal.

Ditambah regulasi dibolehkan merekrut 11 pemain asing, di mana sebuah klub secara teknis bisa mengisi seluruh kekurangan klub, apabila ada pemain asing yang cidera, misalnya. Delapan pemain asing pada starting XI, di manakah letak keberpihakan terhadap pembinaan, yang dicita-cita oleh Petinggi PSSI? Apa peran akademi atau sekolah sepak bola, jika klub bisa membeli “kemasan jadi” dari luar negeri? Kita seperti sedang berkata: “Pemain lokal tidak cukup bagus, mari kita impor saja semua.”

Regulasi ini menjadikan klub bukan lagi agent of development, tetapi agent of instant result. Dalam jangka pendek, mungkin klub terlihat kompetitif, laga-laga menjadi atraktif, dan stadion lebih ramai. Namun dalam jangka panjang, sepak bola kita hanya akan menjadi panggung bagi pemain asing tanpa warisan yang tertinggal.

Persaingan Tak Sehat

Saat jumlah pemain asing dilebarkan menjadi 11 orang, otomatis terjadi inflasi persaingan internal di antara mereka sendiri. Klub-klub akan bersaing ketat mendatangkan pemain asing terbaik, dengan anggaran besar, kontrak mahal, dan tekanan performa instan. Klub dengan finansial kuat akan menimbun pemain asing seperti koleksi barang antik, sementara klub menengah ke bawah akan berupaya “ikut-ikutan” agar tidak tertinggal.

Lalu, apa dampaknya? Pertama, akan lahir pasar gelap transfer pemain asing, dengan praktik manipulasi nilai kontrak, bonus, dan komisi agen. Kedua, ketegangan internal antarpemain asing meningkat. Ketiga,  jumlah spot bermain terbatas, sementara jumlah pemain asing berlebih, maka persaingan di lapangan bisa berubah menjadi perebutan panggung, bukan kerja sama.

Ini bukan sekadar kompetisi yang sehat, ini malah  memunculkan gejala mercenary football atau sepak bola yang dikuasai seakan oleh “tentara bayaran”.

Menjadi Tamu di Rumah Sendiri

Kebijakan ini jusrtru akan memperkukuh status pemain lokal sebagai “tamu di rumah sendiri”. Dengan kesempatan bermain yang minim, pemain lokal hanya menjadi pelengkap daftar skuad. Di banyak klub, mereka hanya akan bermain jika pemain asing cidera, atau terkena akumulasi kartu, atau saat menghadapi lawan lemah. Agtau pada saat pertandingan tak menentukan lagi

Padahal, kompetisi domestik seharusnya menjadi ruang pertumbuhan. Liga adalah ruang pembelajaran realistis: tentang tempo tinggi, tekanan suporter, dan tanggung jawab profesional. Jika jam terbang tak tersedia, bagaimana bisa pemain lokal  menjadi berkembang?

Kita tak dilarang bermimpi mempunyai tim nasional kuat, tapi jangan sampai menutup akses pemain lokal ke kompetisi. Bukankah ini ironi yang terlalu keras untuk ditertawakan?

Blunder

LIB berdalih, bahwa regulasi ini bagian dari upaya menjadikan Liga 1 lebih kompetitif dan marketable, serta bisa bersaing di kancah Asia. Karena belakangan, konon, liga kita justru kalah di bawah Kamboja. Kebijakan itu terasa seperti produk instan yang asal jadi: menarik di kertas, namun tidak matang dalam perencanaan.

Apa argumennya? Apakah sudah dilakukan riset terhadap dampak sosial, psikologis, dan teknis dari kehadiran 11 pemain asing? Apakah klub-klub Indonesia siap secara finansial dan manajerial untuk mengelola skuad yang dominan asing?

Tanpa kajian komprehensif, regulasi ini lebih mirip populist policy yang menyasar decak kagum sesaat, atau sekadar formalitas (semacam “pencitraan”) saja, ketimbang perbaikan struktural. Alhasil, kita bukan lagi membangun sepak bola, melainkan sebaliknya, malah menciptakan industri tontonan tak berakar dan tak berkualitas.

Komparan pada Negara Lain

Jepang, Korea Selatan, dan Thailand, adalah contoh negara yang mampu mengombinasikan pemain asing berkualitas dengan pembinaan lokal. Bahkan, negara-negara tersebut secara ketat membatasi jumlah pemain asing di lapangan. Jepang, J-League, misalnya,  jumlah asing yang boleh didaftarkan tidak terbatas, tapi batas di lapangan per pertandingan hanya maksimal 5 pemain. Bahkan, konon, pemain dari negara-negara seperti Thailand, Vietnam, Malaysia, Indonesia, tidak dihitung sebagai pemain asing, sehingga klub lebih fleksibel.

Di Korea Selatan, K League 1, misalnya, pada  regulasi pemain asing 2025/2026, setiap klub K League 1 dapat mendaftarkan hingga 6 pemain asing tanpa membedakan asal negara mereka (kuota AFC atau ASEAN sebelumnya dihapus).

Penggunaan di lapangan, dari 6 pemain asing itu, hanya maksimal 4 yang boleh dimainkan dalam satu pertandingan (baik starter maupun cadangan). Sebelum 2025, aturan yang berlaku adalah sistem 5+1: lima pemain asing umum dan satu lagi dari negara AFC. Regulasi ini dihapus sebagai respons terhadap kebijakan AFC Champions League yang juga menghapus Asian quota, dan K League menyesuaikan diri mulai musim 2025.

Mulai 2025, pemain asing yang sudah mengenyam pendidikan dan bermain di Korea (amateur dan usia muda) dapat diklasifikasikan sebagai pemain lokal dan tidak memakan jatah kuota asing, contoh, mereka pernah bermain selama 3 tahun berturut-turut atau total 5 tahun di tim amatir lokal.

Di Thailand (Thai League), regulasi pemain asing berdasarkan keputusan rapat eksekutif klub Thai League pada November 2024, jumlah maksimal pemain asing (non-ASEAN): 7 pemain boleh didaftarkan per klub, jumlah pemain ASEAN: Unlimited (tanpa batas dalam daftar skuad). Penggunaan pemain asing dalam pertandingan: max 5 pemain asing (non-ASEAN) boleh dimainkan sekaligus. max 2 pemain ASEAN boleh tampil bersama. Artinya, dalam satu pertandingan, klub bisa memainkan total maksimal 7 pemain asing (5 non-ASEAN + 2 ASEAN), dan tetap harus ada minimal 4 pemain lokal di lapangan

Mereka sadar, bahwa kekuatan sepak bola tidak dibangun oleh pemain impor, tapi oleh sistem pembinaan yang konsisten. Klub di Jepang wajib punya akademi berjenjang. Di Korea, lisensi pelatih sangat diperhatikan. Di Thailand, pemerintah dan federasi bahu-membahu memastikan liga tak hanya kompetitif, tapi juga ramah bagi pemain muda lokal.

Indonesia seharusnya menempuh jalur yang serupa. Jangan jadi negara yang bangga punya liga full imported players, tapi tak punya pemain berkualitas untuk tim nasional.

Bangkrut Diam-diam

Menggaji 11 pemain asing bukan hal ringan. Standar gaji mereka minimal relaitf tinggi dari pemain lokal. Ditambah akomodasi, tiket, bonus, dan agent fee, maka total biaya bisa membebani keuangan klub secara signifikan.

Selain itu, kebijakan membolehkan 8 pemain asing di setiap pertandingan, sementara 3 lainnya, tidak masuk line up ; jangan hendaknya sampai memicu peristiwa seperti yang terjadi di Malut United baru-baru ini, ”.

Dalam iklim sepak bola kita yang belum stabil, kebijakan ini bisa mendorong klub ke arah “kebangkrutan diam-diam”. Mereka akan mengejar prestasi dengan cara “berutang masa depan”, memaksakan pembelian, hingga akhirnya menunggak gaji dan terjerat masalah hukum.

Apakah LIB siap mengawasi ini? Apakah ada regulasi jaminan finansial jika klub tak mampu membayar gaji pemain asing? Atau kita hanya akan menunggu kasus-kasus seperti yang menimpa klub-klub terdahulu kembali terulang?

Konsekuensi pada Loyalitas Suporter

Sepak bola Indonesia punya kekuatan sosial yang dahsyat: loyalitas suporter. Tapi loyalitas itu tidak tumbuh dari kemenangan semata. Ia tumbuh dari keterhubungan emosional dengan pemain lokal, dengan karakter daerah, dan perjuangan kolektif.

Ketika klub dihuni mayoritas pemain asing, keterikatan itu bisa luntur. Para pemain tidak bisa berkomunikasi dengan suporter, tidak memahami budaya lokal, dan hanya datang untuk bermain lalu pergi. Klub berubah menjadi “wadah” asing di mata pendukungnya sendiri.

Sepak bola bukan sekadar urusan menang belaka, melainkan juga soal kisah dan histori. Cerita terbaik adalah tatkala pemain lokal bangkit dari kampungnya —yang jauh dari pelosok— dan lantas mengangkat nama daerahnya  di pentas nasional. Kalau itu lenyap, maka liga akan kehilangan “roh” dan kebanggaannya.

Solusi

Kita tidak anti pemain asing. Tapi jumlahnya harus logis, dan regulasinya harus progresif namun terukur. Cukup 6+2, seperti musim 2024/2025 silam. Fokus utama harus kembali ke pembinaan pemain lokal, penguatan akademi, dan peningkatan lisensi pelatih.

Selain itu, LIB harus tetap mewajibkan bagi klub yang memainkan minimal 1 pemain U-22 45 menit dalam tiap laga. Klub juga wajib menyusun roadmap pembinaan lokal sebagai syarat lisensi. Jangan hanya mengejar rating, tapi abaikan grass root (akar rumput).

Sepak bola Indonesia akan maju bukan karena jumlah foreign players-nya, tapi karena kemampuan kita membangun sistem yang adil, berkelanjutan, dan memberi ruang bagi anak-anak bangsa, seperti halnya Korea Selatan dan Jepang.

Ketika pemain asing mendominasi —dan pemain lokal tersingkir— maka sepak bola tak lagi menjadi milik rakyat. Ia akan menjadi milik segelintir investor, agen, dan operator yang bermain dalam arena profit maximization.

Kita tidak butuh superficial league yang terlihat mewah tapi kosong dari makna. Kita perlu liga yang membangun masa depan: tempat bakat pemain lokal dalam mengasah kemampuannya, tempat klub menjadi institusi sosial, dan tempat tim nasional dipersiapkan secara realitas.

Sejatinya, kebijakan 11 pemain asing itu bukanlah solusi bijak, namun adalah  sekadar “jalan pintas yang justru membagongkan.”  Semoga I-League (pengganti nama PT LIB, pasca RUPS, 7 Juli 2025 lalu), segera merevisi regulasi tersebut, sebelum kompetisi dimulai, awal Agustus mendatang. Aamiin.

*) Hendra Idris, adalah Notaris PPAT, Pemerhati, dan Penikmat Sepak Bola

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *