“Bukan Pacaran,Tapi kog Baperan: Ketika Zina Hati Dibenarkan oleh Status ‘Cuma Teman’..”

Oleh : Nofan Alfandi*

“Udah bilang cuma teman, nggak ada status apa-apa, tapi kok hati paling cepat baper? Jangan-jangan yang kamu jaga bukan jarak, tapi nafsu yang kamu bungkus dengan kata ‘sekadar perhatian’.”

“Kita cuma temenan, kok.” Kalimat yang sering banget kita dengar di lingkungan kampus. Kelas bareng, nugas bareng, dan pulang bareng, tapi katanya bukan pacaran. Scroll chat isinya dia semua. Nungguin story dia kayak nungguin dosen masuk kelas. Nggak ada status, tapi kalau dia jalan sama orang lain, bawaannya pengin ngilang dari peradaban.

Kita pikir hubungan ini aman karena labelnya “teman”, padahal hati udah main perasaan jauh-jauh hari. Dan yang lebih ngeri, kita mulai nyaman dalam hubungan yang nggak jelas arah dan batasannya tanpa sadar, hati sudah melangkah ke arah yang salah: zina hati, yang dibungkus rapi pakai kata ‘cuma teman’.

Di kampus, hubungan tanpa status itu kayak kopi sachet sering dianggap ringan, padahal bisa bikin jantung deg-degan. Banyak mahasiswa yang bilang, “Cuma temenan kok,” tapi isi chat udah kayak orang pacaran. Tiap pagi saling sapa, siang nanyain udah makan atau belum, malamnya video call sambil curhatin isi hati. Pelan-pelan, perasaan tumbuh.

Tapi sayangnya, tanpa arah. Ada yang mulai berharap lebih, ada yang sengaja membiarkan rasa nyaman tanpa niat memperjelas. Relasi semacam ini sering jadi sumber kegelisahan: tugas terbengkalai, ibadah jadi formalitas, dan hati pelan-pelan lelah karena merasa terikat, tapi tak diakui. Islam sebenarnya sudah memberi peringatan tegas soal kedekatan yang tidak jelas arahnya. Rasulullah ﷺ bersabda:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِي اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ وَلاَ تُسَافِرَنَّ امْرَأَةٌ إِلاَّ وَمَعَهَامَحْرَمٌ . (رواه البخاري: 2784 ومسلم: 2391)

Artinya: “Dari Ibnu Abbas ra ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu alayhi wasallam berkhutbah, ia berkata: Jangan sekali-kali seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang perempuan kecuali beserta ada mahramnya, dan janganlah seorang perempuan melakukan musafir kecuali beserta ada mahramnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Dan dalam QS. Al-Isra’ ayat 32, Allah berfirman:

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰىٓ اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةًۗ وَسَاۤءَ سَبِيْلًا

Artinya: “Janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya (zina) itu adalah perbuatan keji dan jalan terburuk.”

Mendekati zina itu bukan hanya soal fisik. Kadang hati lebih dulu jatuh, lebih dulu hanyut, lebih dulu lupa batas. Dan itulah yang sering terjadi di balik kalimat, “Tenang aja, kita cuma teman.”

Awalnya biasa aja. Ngerjain tugas bareng, saling support di organisasi, terus mulai terbiasa tukar cerita. Lama-lama, chat-nya ditunggu, kehadirannya dicari. Kita bilang cuma temenan, tapi kok rasanya lebih dari itu? Kadang kita pura-pura nggak sadar kalau hubungan itu udah mulai geser ke arah yang nggak sehat. Islam nggak melarang jatuh cinta, tapi Islam ngajarin batas.

Kalau perasaan itu bikin lalai, dosa makin dekat, mungkin saatnya mundur. Bukan karena sok alim, tapi karena kita paham: hati ini labil, iman gampang goyah. Rasa suka itu fitrah, tapi gimana kita memperlakukan rasa itulah yang jadi tanggung jawab. Kalau belum siap halal, ya jaga jarak. Kalau memang sayang, simpan baik-baik, bawa dalam doa, bukan dalam chat tiap malam.

Kita hidup di generasi yang makin jago ngeles. “Kita cuma teman,” katanya, tapi kelakuannya udah kayak pasangan. Teleponan sampai ketiduran, nangis sambil voice note, ngambek kalau nggak dibalas tapi tetap nggak mau disebut pacaran. Celahnya ada di situ: status ‘nggak jadian’ dipakai buat menghindar dari tanggung jawab hati.

Zina hati dibungkus pakai alasan kedekatan spiritual, diskusi dakwah, atau proyek bareng. Yang tersakiti bukan cuma perasaan, tapi juga nilai. Kita dibiasakan nyaman dalam hubungan yang kabur tanpa komitmen, tapi minta dimengerti. Padahal, nggak semua yang tanpa status itu bebas dari dosa.

Pada akhirnya, soal hati itu bukan cuma soal rasa, tapi soal arah. Banyak yang bilang “nggak pacaran,” tapi hidupnya tetap penuh ketergantungan emosional yang nggak sehat. Kita nggak bisa terus berlindung di balik status ‘temenan’ kalau kenyataannya udah saling menggantungkan diri.

Cinta yang baik nggak bikin waswas, nggak bikin jauh dari Allah. Kalau sekarang belum waktunya, bukan berarti selamanya enggak. Tapi mungkin, kita cuma lagi disuruh belajar: mencintai dengan cara yang lebih benar, dan menjaga hati sebelum janji. Karena kalau memang ditakdirkan, dia nggak akan datang dalam keadaan yang bikin kita menjauh dari Tuhan.

Cuma temen, tapi kenapa bales chat-nya bisa bikin kamu senyum kayak habis dilamar?” []

Penulis adalah Mahasiswa Hukum Keluarga UIN Imam Bonjol Padang*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *