Essay : Nurul Jannah*)
Menelusuri Cinta dan Cahaya dari Sekumpul, Tempat Guru Bangsa Menyalakan Nur Hati
Ada kota yang berkilau bukan karena lampu, tetapi karena doa. Ada tanah yang harum bukan oleh bunga, tetapi oleh zikir yang tak pernah usai. Itulah Martapura: kota kecil di Kalimantan Selatan yang dikenal sebagai Kota Santri, Kota Intan, dan Kota Seribu Cahaya.
Kota yang Diselimuti Cahaya dan Intan
Martapura terletak sekitar 40 kilometer dari Banjarmasin. Kota ini seperti mutiara yang disembunyikan Tuhan di lembah Banua, diapit gunung kecil dan sungai yang berzikir pelan sepanjang waktu. Di setiap sudutnya, angin berembus seakan tahu kapan harus tunduk, kapan harus menyebut nama-Nya.
Pasar Intan Martapura berkilau bagai gugusan bintang di siang hari. Namun di balik gemerlap batu mulia itu, ada permata yang lebih langka dari intan; seorang ulama besar yang hidupnya memantulkan cahaya kasih: Guru Sekumpul, KH Muhammad Zaini bin Abdul Ghani.
Setiap Waktu Menjadi Doa
Di Martapura, waktu seakan disucikan. Pagi hari, para santri berjalan sambil membawa kitab kuning, suaranya bersahutan melantunkan nadham ilmu.
Siang hari, para pedagang menimbang intan, cahaya batu memantul ke wajah mereka yang bersih dari dusta. Menjelang sore, gema azan bertemu lembut dengan lantunan shalawat yang mengalun dari rumah-rumah.
Namun ketika malam datang, kota ini berubah menjadi taman zikir. Di Sekumpul, ribuan peziarah duduk bersila di pelataran maqbarah, tenggelam dalam doa, tanpa perlu suara.
Mereka datang dari jauh, bukan untuk melihat, tapi untuk merasakan ketenangan yang tak bisa dibeli di dunia mana pun.
Sosok yang Menjadi Cahaya Bagi Banua
Guru Sekumpul adalah ulama yang bukan hanya berilmu, tapi juga berjiwa samudra. Senyumnya meneduhkan, ucapannya lembut, dan nasihatnya seolah mampu memulihkan hati yang patah tanpa menyentuhnya.
“Guru itu kalau bicara, bukan cuma kata yang keluar, tapi cahaya,” ujar seorang peziarah sepuh, Hajah Marfuah, yang datang dari Balikpapan setiap bulan.
“Sekali kau dengar beliau berbicara, kau akan merasa sedang diajak pulang ke hati yang sejatinya.”
Guru Sekumpul wafat pada tahun 2005, tapi namanya tak pernah mati. Maqbarah beliau di Sekumpul selalu hidup: selalu penuh langkah, air mata, dan cinta yang berziarah.
Dari Aceh hingga Papua, dari Malaysia hingga Brunei, orang-orang datang dengan wajah letih tapi mata penuh cahaya. Mereka datang bukan hanya untuk mengenang, tapi untuk disembuhkan oleh ketulusan.
Aku Tiba Menjelang Azan Ashar
Hari itu, aku tiba di Martapura menjelang azan Ashar. Langit tampak lembayung muda, udara hangat tapi berembus pelan seperti belaian kasih.
Di kejauhan, kumandang azan mulai terdengar dari masjid di kompleks Guru Sekumpul: merdu, dalam, dan mengguncang kalbu.
Orang-orang berjalan pelan menuju masjid. Ada yang membawa sajadah kecil, ada yang menggandeng anak, ada pula yang menuntun orang tua renta dengan penuh hormat.
Langit di atas Kubah Sekumpul seolah berpendar lembut, bukan karena lampu, tapi karena ribuan doa yang naik bersamaan dengan suara muadzin.
Aku ikut melangkah ke dalam. Udara di pelataran maqbarah terasa berbeda. Hangat tapi menenangkan, tenang tapi menggetarkan. Suara azan menggema di antara kubah dan tembok, mengalir ke dada dan menggetarkan setiap helai urat.
Beberapa jamaah meneteskan air mata tanpa suara, sementara yang lain memejamkan mata, larut dalam panggilan langit itu.
“Inilah waktu yang paling syahdu,” bisik seorang ibu dari Hulu Sungai sambil menatap kubah.
“Azan di Sekumpul itu bukan hanya panggilan shalat semata, tapi panggilan hati.”
Aku terdiam. Iya, Azan itu terasa seperti panggilan untuk kembali ke dalam diri sendiri.
Karena Cinta Tak Pernah Mati
Mengapa orang-orang terus datang ke Martapura Karena mereka tahu, cinta yang diajarkan Guru Sekumpul adalah cinta yang tak mengenal jarak, tak mengenal waktu. Beliau mengajarkan bahwa agama bukan hanya sujud dan rukuk, tapi cara mencintai sesama tanpa pamrih, dengan kelembutan yang membasuh dunia.
“Saya datang ke sini setiap tahun,” kata seorang ibu muda dari Samarinda yang kutemui di area ziarah.
“Kalau hati saya mulai keras, kalau hidup terasa buntu, saya ke sini. Cukup duduk, cukup diam, dengar shalawat; semua beban luruh seperti debu disapu angin.”
Aku menatapnya lama. Di matanya ada air, tapi juga ada sinar lembut yang menyembuhkan. Mungkin begitulah Martapura bekerja: ia tidak menghapus luka, tapi menjadikannya bagian dari zikir.
Ziarah yang Menghidupkan Hati
Ziarah ke Sekumpul bukan perjalanan biasa. Ia bukan semata langkah kaki, tapi perjalanan ruhani yang memeluk makna. Sepanjang jalan menuju maqbarah, pedagang menjajakan air zamzam, siwak, dan kain putih. Namun di tengah keramaian itu, ada keheningan yang sakral, seolah udara sendiri turut berdoa.
Saat tiba di pelataran, angin berhenti sesaat, seperti ikut menunduk. Aroma dupa dan minyak gaharu menyatu dengan udara sore yang lembut. Orang-orang berdiri dalam diam; ada yang memejamkan mata, ada yang tersenyum tipis dengan air mata mengalir.
“Rasanya beliau masih di sini,” ujar seorang perempuan muda dari Pontianak di sebelahku.
“Saya baru pertama kali datang, tapi entah kenapa… seperti sudah lama mengenalnya,” gumamnya, seakan sedang berbicara pada dirinya sendiri.
“Di Sekumpul, batas antara dunia dan akhirat begitu tipis, seolah cinta yang dulu diajarkan Guru masih menari di udara.”, lanjutnya pelan.
Aku hanya bisa diam mendengar penuturan perempuan muda itu.
Menemukan Jalan Pulang ke Dalam Diri
Dari Banjarmasin, perjalanan darat hanya sejam, tapi di Martapura waktu seolah berhenti berjalan. Semua terasa pelan. Orang-orang berbicara pelan. Udara membawa aroma doa dan minyak gaharu yang menenangkan jiwa.
Di sini, tak ada yang tergesa. Karena Martapura telah belajar dari kesabaran Guru-nya: bahwa yang sakral butuh waktu.
Di Bawah Langit Sekumpul
Sore beranjak senja. Aku duduk di pelataran maqbarah Guru Sekumpul. Langit di atasnya berwarna ungu keemasan, seolah Allah menorehkan cahaya cinta di atas kota ini. Suara shalawat kembali bergema, menyatu dengan napas para peziarah yang duduk dalam hening.
“Apa yang kau cari di sini?” tanya seorang perempuan dewasa di sampingku.
Aku tersenyum. “Aku mencari diri sendiri, yang mungkin tersesat di antara hiruk-pikuk dunia.”
Ia menatapku lama, lalu berbisik, “Kalau begitu, kau sudah sampai. Di sini, hati yang lelah menemukan rumahnya.”
Aku menutup mata. Dalam diam, aku tahu, Martapura bukan kota biasa, tapi pelukan langit yang menjelma bumi. Karena di Sekumpul, setiap napas adalah zikir, setiap langkah adalah doa, dan setiap air mata adalah cinta yang sedang pulang kepada Tuhannya.
Martapura bukan hanya Kota Intan yang berkilau di pasar, tapi juga Kota Cinta, tempat hati-hati yang rapuh menemukan cahaya, tempat manusia belajar bahwa kemuliaan sejati tak berasal dari harta, tapi dari hati yang rela bersujud dengan kasih.
Refleksi Diri
Langit Martapura sore itu berwarna ungu keemasan. Cahaya mentari terakhir jatuh di kubah masjid Sekumpul, memantul lembut di antara wajah-wajah para peziarah. Di halaman maqbarah, ratusan orang duduk bersila. Beberapa memejamkan mata, sebagian lain menunduk dalam doa.
Di udara, aroma minyak gaharu bercampur dengan debu lembut dan haru yang tak bernama.
Seorang ibu tua menggenggam tasbih kayu yang telah kusam, bibirnya bergetar perlahan mengucap Allah… Allah… Beberapa anak kecil yang berlarian, nampak berhenti mendengar suara azan yang mulai berkumandang dari menara masjid.
Suara itu begitu merdu, dalam, dan menembus dada siapa pun yang mendengarnya.
Dan, angin sore terasa berembus pelan sekali, seolah ikut berzikir. Burung-burung melintas di atas kubah, melingkar seakan tahu di bawahnya sedang berlangsung pertemuan langit dan bumi. Di kejauhan, sinar lampu masjid mulai menyala satu per satu, menyambut malam dengan lembut.
Azan di Sekumpul bukan hanya panggilan salat semata, tapi panggilan hati untuk pulang.
Di antara cahaya dan air mata, Martapura berdiri bukan hanya sebagai kota, melainkan pelukan kasih; tempat di mana setiap langkah menjadi doa, dan setiap napas menjadi zikir yang mengantarkan manusia pulang kepada Tuhannya.❤🔥🌹🎀
Banjarbaru, 9 Oktober 2025