Serobot Lahan dan Rugikan Negara, PT SKR Tunggu Tindakan Tegas Kejati Kalbar

Direktur PT SKR Rudi didampingi Holding PT PAM Mineral Adree Situmeang melaporkan perkara penyerobotan lahannya di Kalbar. (Foto: FokusSumbar.Com)

PONTIANAK, FOKUSSUMBAR.COM-Kasus perambahan hutan dan pencaplokan lahan, masih terus berlangsung di Kalimantan Barat (Kalbar). Ini membuat luas hutan di Kalbar terus tergerus.

Di Kalbar terdapat 6,88 juta hektare hutan primer atau 47 persen dari total luasan wilayah 14,9 juta hektare. Tahun 2020, Kalbar telah kehilangan 32.000 hektare hutan primer.

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan 2 September 2014 lalu, luas hutan Kalbar sekitar 8,4 juta hektare. Dengan rincian, 1,62 juta hektare suaka alam dan pelestarian alam, 2,31 juta hektare hutan lindung, 2,13 juta hektare hutan produksi terbatas.

Kemudian, 2,13 juta hektare kawasan hutan produksi dan 197.920 hektare hutan produksi konversi. Kawasan hutan lindung dan hutan produksi 6,77 juta hektare terbagi dalam 17 KPH.

Perambahan dan pencapolakan lahan yang terjadi sekarang, memberikan dampak terhadap kondisi hutan di Kalbar yang terus tergerus. Selain itu, kasus pencaplokan dan penyerobotan lahan yang ada kian meningkat. Bahkan, ada yang sudah bergulir ke ranah hukum.

Salah satunya, kasus penyerobotan lahan PT Sinar Kalbar Raya (SKR) dengan izin Hutan Tanaman Industri (HTI) seluas 38.000 Ha yang berada di Kabupaten Kubu Raya, Sanggau dan Landak yang kini dicaplok PT Rezeki Kencana Prima (RKP).

PT SKR mengantongi izin hutan tanaman industri (HTI) dengan luas lahan keseluruhan 38.000 hektare. Kini, hampir 8.000 hektare lahan tersebut dicaplok PT Rezeki Kencana Prima (PT RKP) dan dialihfungsikan menjadi kebun sawit.

Penyerobotan lahan diperkirakan berlangsung sejak tahun 2013 lalu, seiring terbitnya SK Menteri Kehutanan Nomor SK.936/Menhut-II/2013 tanggal 20 Desember 2013 tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan, Perubahan Fungsi Kawasan Hutan, dan Penunjukan Kawasan Bukan Kawasan Hutan Menjadi Kawasan Hutan di Provinsi Kalimantan.

Direktur Holding PT SKR Andree Situmeang meninjau langsung kondisi kawasan yang kini diserobot PT RKP dan menjadikannya sebagai kebun sawit. (Foto: FokusSumbar.Com)

Sampai kini, PT RKP tidak pernah memperoleh Izin Usaha Perkebunan Kelapa Sawit di atas lahan IUPHHK-HTI milik PT SKR tersebut.

Karena merasa dirugikan, manajemen PT SKR kemudian menempuh jalur hukum. Mulai dari pengadilan tingkat pertama sampai tahap Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung, semua memutus PT Sinar Kalbar Raya (SKR) sebagai pemilik sah izin HTI.

“Sudah ada keputusan MA, mereka tetap beraktivitas. Karena itu, kita melaporkan PT RKP ke Kejati Kalbar atas dugaan tindak pidana kegiatan perkebunan dalam kawasan hutan yang kita miliki,” kata kuasa hukum PT SKR, Damianus H Renjaan SH., MH didampingi Bonifasius Falakhi SH, Zaky Zhafran SH dan Direktur PT SKR Rudi, usai menyerahkan berkas aduan ke Kejati Kalbar, Jumat (28/6/2024).

Sebelumnya, setelah menerima salinan putusan PK di Mahkamah Agung, PT SKR langsung melakukan eksekusi di lahan tersebut. Namun di lapangan, ternyata masih ada pihak-pihak yang terus menguasai lahan PT SKR dengan melakukan penanaman sawit dan sudah panen.

Atas tindakan yang dilakukan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab itu, PT SKR mengambil langkah hukum dan melaporkan kasus itu ke Kejati Kalbar.

“Laporan kta sudah diterima Kejati Kalbar. Kita berharap, kejaksaan bisa segera bertindak sesuai aturan hukum yang berlaku. Karena kasus ini tidak hanya merugikan PT SKR, namun juga negara dari sisi penerimaan pajak,” tutur Bonifasius Falakhi, SH.

Potensi Kerugian Negara
Di sisi lain, akibat tindakan PT RKP mengalihfungsikan lahan HTI menjadi kebun sawit, ternyata tidak hanya merugikan PT SKR, namun juga negara dari sisi penerimaan pajak.

Setidaknya, kerugian negara yang ditimbulkan berasal dari nilai jual kayu hutan alam dan PSDHDR nya dengan tegakan 80 M3/ha, termasuk potensi kerugian dari penerimaan pajak daerah dan negara atas panen sawit di lahan tak berizin.

“Bila dikalikan Rp600.000/m3, nilainya sudah mencapai Rp340 miliar. Kalau potensi pajak daerah tentu dari sisi PBB dan transaksi TBS. Bila nilai PBB diambil Rp50.000/hektare per tahun, maka nilai PBB setahun yang harus dibayarkan Rp400 juta,” kata narasumber yang tak ingin disebutkan namanya.

Sementara itu, Ketua DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Dr. Ir. Gulat ME Manurung menegaskan, perusahaan perkebunan sawit PT Rezeki Rencana Prima (RKP) yang beroperasi di lahan PT SKR tidak terdaftar atau bukan anggota Apkasindo.

“Perusahaan tersebut bukan bagian dari Apkasindo, jadi semua kegiatan yang dilakukan tidak ada hubungannya dengan kami,” ujar Gulat kepada wartawan, Jumat siang.

Terpisah, Direktur Eksekutif Center of Energi and Resource Indonesia (CERI), Yusri Usman meminta aparat hukum untuk bertindak tegas dan memproses kasus tersebut.

“Apalagi kasus ini sudah dilaporkan ke Kejati Kalbar. Tentu kita berharap menjadi atensi Kejati Kalbar untuk segera dituntaskan,” ujar Yusri Usman kepada awak media. (bsh)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *