PADANG, FOKUSSUMBAR.COM-Sebanyak 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota di Indonesia tengah bersiap menggelar pemilihan kepala daerah (pilkada). Dibandingkan tahun sebelumnya, Pilkada 2024 ini, politik dinasti terasa kian kental dan mewabah.
“Makin lama politik dinasti makin menjadi-jadi. Tidak hanya di tingkat lokal, tapi menjalar ke tingkat nasional. Kita sudah lihat praktik itu di Pilpres 2024,” kata pakar otonomi daerah Prof Djohermansyah Djohan dalam webinar nasional Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Pusat tentang Pilkada 2024 dan Masa Depan Demokrasi Lokal, Jumat (5/7/2024) malam.
Data yang dimilikinya menyebut, dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2014, ada sekitar 60 kepala daerah dan wakil atau 11 persen dari jumlah daerah otonom menerapkan politik dinasti. Angka itu mengalami peningkatan menjadi 117 kasus politik dinasti atau 21,5 persen dalam Pilkada 2018.
Ditambahkan, pada Pilkada 2024, terdapat 175 kasus atau 32 persen politik dinasti. Artinya, kasus politik dinasti dalam pilkada terakhir sudah mencapai satu per tiga dari keseluruhan daerah otonom.
“Sesudah bapaknya, nanti istrinya atau anaknya, atau menantunya. Ini yang kita musuhi ketika kita berada di Orde Baru dulu,” kata Prof Djo, sapaan akrab Djohermansyah Djohan.
Mantan dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) itu menuturkan, pernah ada upaya untuk mengantisipasi politik dinasti di pilkada. Pada 2015, sedianya sempat dimasukkan pasal soal larangan politik dinasti pada UU Pilkada tahun 2015.
Pasal 7 huruf r dalam beleid itu mengatur, seseorang yang mempunyai hubungan darah atau konflik kepentingan dengan pejawat alias incumbent tidak diperbolehkan maju menjadi pemimpin daerah. Namun, aturan itu kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Dikatakan, harus ada perbaikan regulasi untuk mencegah terjadinya politik dinasti. Pasalnya, apabila tidak ada perbaikan regulasi, persoalan itu akan terus berulang.
“Kalau ada kerabat maju, saran saya si pejawat (incumbent) cuti lah. Dia tidak bisa kita larang karena melanggar hak asasi, tapi cuti lah. Cuti saja, di luar tanggungan negara, selama kampanye,” kata dia.
Sementara Dewan Pakar ICMI Pusat, Prof Yuddy Chrisnandi mengatakan, berdasarkan data yang dimilikinya, keikutsertaan bakal calon kepala daerah perseorangan dalam Pilkada 2024 juga sangatlah minim. Bahkan, ia menyebut persentasenya tak sampai satu persen dari keseluruhan bakal calon kepala daerah yang muncul.
“Dari 100 calon kepala daerah, mungkin hanya satu atau dua orang saja calon perseorangan,” kata Prof Yuddy dalam webinar tentang Pilkada 2024 dan Masa Depan Demokrasi Lokal secara daring, Jumat (5/7/2024).
Dikatakan, penyebab utama minimnya keikutsertaan bakal calon kepala daerah perseorangan adalah waktu untuk pendaftaran yang sebentar. Komisi Pemilihan Umum (KPU) hanya memberikan waktu sekitar dua pekan kepada bakal calon perseorangan untuk memenuhi syarat dukungan.
“Jadi tidak mungkin untuk menyiapkan dukungan atau partisipasi langsung dari masyarakat untuk calon perseorangan ini,” ujar Yuddy dikutip FokusSumbar.Com dari republika.co.id.
Fakta itu dinilai menunjukkan, kontestasi Pilkada 2024 masih akan dikuasai oleh partai politik. Di satu sisi, partai politik masih belum menghasilkan kualifikasi yang mapan dari pelaksanaan pilkada.
Yuddy menilai, partai politik semestinya dapat sumber daya manusia untuk bisa menjadi pemimpin yang diandalkan, membawa aspirasi, dan memperbaiki kualitas pembangunan. Namun, nyatanya partai poin tidak lagi menjadi satu entitas sebagai sumber daya yang bisa diandalkan.
Disebut, partai politik saat ini tidak lebih dari kendaraan politik yang memberikan stempel seseorang untuk bisa maju dalam pilkada. Bahkan, proses seleksi kepemimpinan dalam partai politik sangatlah mudah, tanpa harus ada proses kaderisasi, proses pendalaman, dan lainnya.
“Partai politik sekarang bisa digunakan oleh siapa saja, seperti orang yang memiliki kekuasaan, orang yang memiliki uang, dan orang yang memiliki popularitas,” tukasnya. (bsh)