Oleh: Yunardi,M.Pd.*)
Masuk tahun ajaran baru, sekolah sibuk berbenah diri dan orang tua siap-siap mempersiapkan anak-anaknya untuk bisa masuk di sekolah yang bermutu.
Sekarang, masa orientasi pengenalan sekolah sudah selesai. Pengelola pendidikan mulai mempersiapkan diri dalam pelaksanaan Proses Belajar Mengajar (PBM) di kelas.
Salah satu yang paling mendasar dipersiapkan dalam pelaksanaan PBM adalah bahan ajar dan buku pelajaran.
Pilihan buku pegangan guru, buku siswa, dan berbagai macam referensi sangat menunujang PBM yang bermutu. Malah ada beberapa sekolah sudah menyiapkan perangkat IT di sekolah seperti in vocus, laptop, komputer, dan tablete untuk siswa dengan tujuan bagaimana mutu pembelajaran meningkat.
Berbagai perusahaan elektronik banyak menawarkan gawai-nya terkait perangkat IT ini.
Berbagai penerbit buku dan percetakan menawarkan buku-buku pelajaran ke sekolah-sekolah dengan berbagai metode supaya bukunya dibeli oleh sekolah.
Kadang pihak peberbit menjanjikan berbagai bonus kepada guru dan kepsek mulai dari fee, potongan harga, sampai menjanjikan membawa jalan-jalan para guru kalau bukunya dipakai.
Kadang guru dan kepsek lupa meneliti barang, mutu buku karena tergiur dengan berbagai bonus tadi.
Oleh karena itu, sekolah perlu hati-hati dan teliti dalam memilih buku referensi dan perangkat IT yang akan dipakai di sekolah.
Terkait dengan buku pegangan siswa, sebenarnya tidak perlu lagi sekolah mewajibkan siswa memiliki buku pegangan. Karena, guru sudah diwajibkan untuk menyiapkan bahan ajar modul, dan perangkat pelajaran lainnya dalam lokakarya di sekolah sebelum tahun ajaran masuk.
Kadang sekolah kurang pandai, atau kurang teliti dalam memilih dan menggunakan buku pegangan siswa.
Kadang buku yang sudah dibeli tidak dipakai secara efektif oleh guru. Kadang buku yang sudah dibeli oleh siswa tidak dibaca oleh anak, menumpuk di meja belajarnya dan tidak digunakan secara efektif. Buku hanya sebagai alat untuk mencari untung oleh pihak-pihak tertentu. Buku jadi jualan.
Sebenarnya, tidak salah kalau siswa memiliki banyak buku referensi dalam belajar, apalagi sekarang kemendikbudristek mengembangkan literasi dalam proses semua mapel. Masalahnya adalah tidak semua orang tua mampu membeli buku. Sekolah mencari untung dari penerbit sehingga mengabaikan mutu, buku yang dijual tidak sesuai kebutuhan siswa, konten-konten di buku tidak sesuai dengan lingkungan belajar siswa. Apalagi BOS sudah mengalokasikan anggaran untuk pengadaan buku di sekolah. Tambahan penerintah pun sudah menyediakan berbagai buku referensi di web kemendikbudristek. Jadi tidak perlu lagi siswa menbeli buku .
Jadi, menurut saya sekolah tidak perlu mewajibkan siswa membeli buku. Cukup guru saja yang merancang bahan ajar, modul pembelajaran, dan Lembaran Kerja Peserta Didik (LKPD) dengan menggunakan anggaran BOS. Apalagi sekarang bahan ajar itu bisa dikirimkan lewat HP dan media sosial lainnnya. Lebih lagi sekokah yang sudah mewajibkan siswanya pakai tablete. Kan tinggal mengirim bahan ajar saja ke Tablete anak anak. Atau ke WhatsApp (WA) grup sekolah atau dikirimkan ke WA orang tua kalau anaknya dilarang menggunakan HP android.
Apalagi buku yg dibeli pada umumnya tidak bisa lagi dipakai untuk tahun berikutnya okeh adiknya atau oleh suswa yang bersangkutan.
Jadi, bapak ibu kepsek, guru, dan orang tua, mari cerdas dalam menggunakan buku referensi! Jangan korbankan anak kita untuk mencari untung.
Mutu buku, bahan ajar , modul ajar sangat menentukan mutu pendidikan di sekolah.
Minggu, 21 Juli 2024
*)Penulis adalah pengawas sekolah di Padang dan pemerhti dan praktisi pendidikan
Terimakasih ilmunya Pak
sama sama Pak Wahyu🙏
informasi yang baik untuk dipahami dan perbaikan untuk kami sebagai pendidik.
informasi yang baik untuk dipahami dan perbaikan untuk kami pendidik
tulisan ini memotivasi untuk lebih mengunakan buku dengan baik
Yerima kasuh pak!