Oleh ; Israr Iskandar*
PROSES politik terkait pemilihan kepala daerah serentak tahun 2024 sungguh menyita perhatian publik. Pilkada se-Indonesia ini tidak kalah heboh dibandingkan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden maupun pemilihan umum anggota legislatif lalu. Pilkada di beberapa daerah strategis, terutama Daerah Khusus Jakarta, riuhnya bahkan terasa seperti Pilpres.
Realitas ini mungkin tidak banyak dibayangkan berbagai pihak sebelumnya, termasuk pembentuk Undang Undang Pilkada sekalipun (baca: DPR). Dari sisi rakyat, setelah baru saja memilih presiden/wakil presiden dan anggota dewan untuk berbagai tingkatan, kini rakyat di tempatnya masing-masing bersiap-siap pula memilih kepala daerah, baik gubernur/wakil gubernur maupun bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota.
Di beberapa daerah, seperti Sumatera Barat, sebelum ini, juga telah digelar pemungutan suara ulang untuk anggota Dewan Perwakilan Daerah, sebagai akibat “ketelodoran” Komisi Pemilihan Umum sebelumnya. Selain memakan waktu, tenaga dan biaya amat besar (konon biaya pemilu ulang ini mencapai 400 miliar rupiah), rakyat juga diharubiru berbagai isu dan rumor politik yang menyertai pemilu ulang yang kontroversial ini.
Akrobat elit
Keriuhan Pilkada 2024 terjadi terutama karena saling silang persepsi dan kepentingan di antara para aktor politik di tengah masa transisi kekuasaan di tingkat nasional dari pemerintahan Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Maruf Amin ke Presiden dan Wakil Presiden terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Proses pencalonan kepala daerah, utak atik aturan pemilihan dan bolak balik atau bongkar pasang koalisi politik pasca Pilpres dan jelang pilkada di satu pihak dan gerakan kritis dari pelbagai elemen masyarakat sipil dan kelompok oposisi di pihak lain tidak hanya mengambarkan kuatnya tarik-menarik kepentingan politik tetapi juga mengindikasikan keriuhan tanpa jeda yang justru menisbikan agenda-agenda krusial bangsa.
Publik tidak hanya menyaksikan persaingan dan pertarungan reguler antara kubu “status quo” dengan “oposisi”, tetapi juga muslihat politik dari kelompok penguasa untuk memblokir kepentingan lawan atau kompetitor politik untuk ikut serta dalam kontestasi demokrasi. Model politik kartel ini sebenarnya tak hanya merugikan kandidat potensial, tetapi juga menihilkan aspirasi rakyat yang sejatinya menginginkan corak persaingan (gagasan) yang adil, sehat dan berkeadaban.
Masalahnya gejala politik kartel yang belakangan menguat tidak hanya untuk kepentingan jangka pendek, katakanlah Pilkada 2024 semata, tetapi justru untuk kepentingan jangka panjang dari kelompok ekonomi-politik yang saat ini masih dominan. Proyeksinya untuk stabilitas kekuasaan dalam jangka waktu lima atau sepuluh tahun mendatang, bahkan mungkin lebih.
Kepentingan Rakyat
Sayangnya di tengah haru biru politik nasional dan lokal itu, agenda-agenda krusial dan esensial yang melilit pelbagai aspek kehidupan di tingkat masyarakat menjadi terpinggirkan. Tahun politik 2024 benar-benar menyita perhatian dan seakan mengalihkan fokus kalanga elit dan pemimpin dari persoalan-persoalan nyata rakyat di lapisan bawah.
Para elit politik bisa saja berdalih, bahwa pola persaingan yang meskipun cenderung tidak sehat dan bahkan melawan akal sehat, namun pada ujungnya “akrobat” politik tersebut juga untuk kepentingan rakyat, negara dan bangsa. Pada waktunya elit politik tiba pada suatu titik di mana mereka dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit tetapi pilihan dimaksud harus dijatuhkan.
Ambil contoh dilema yang dihadapi suatu partai besar menghadapi pilkada di suatu propinsi strategis. Elit partai tergiur mengusung calon populer dari kalangan eksternal, apalagi yang sebelumnya dikenal sebagai “lawan” politik dan bahkan idiologis, namun sebagian lainnya cenderung resisten. Pilihan-pilihan elit itu tidak mudah dijabarkan ke publik, termasuk para pendukung idiologis.
Kalangan elit dominan bisa juga berdalih bahwa upaya membangun kerjasama politik yang luas dan bahkan bersifat “the winner takes all” pada akhirnya untuk kepentingan bangsa dan rakyat juga. Pemerintahan mendatang membutuhkan stabilitas politik untuk mewujudkan visi dan misi politik bersama untuk bangsa dan rakyat.
Keriuhan dalam kompetisi adalah suatu yang inheren dalam demokrasi, tetapi pada saatnya juga pemerintah (mendatang) mesti bekerja nyata dan efektif untuk rakyat. Dengan kata lain, demokrasi harus segera diimbangi dengan teknokrasi.
Namun di lapangan, rakyat masih dililit berbagai persoalan yang nyata yang belum terselesaikan. Biaya pendidikan yang makin mahal, tingginya angka inflasi yang membuat harga-harga tak terjangkau oleh rakyat kebanyakan, menurunnya kemampuan (ekonomi) kelas menengah yang mengindikasikan stagnasi ekonomi negara, masih banyaknya penderita stunting di berbagai daerah, dan pengangguran yang meluas, termasuk dari kalangan “generasi Z”.
Di beberapa daerah, seperti di bagian barat Sumatera dan selatan Jawa, saat ini masyarakat juga sedang dalam rasa was-was yang tinggi menghadapi ancaman bencana alam yang disebut sebagai “Megatrust”. Banyak pihak sudah mengingatkan akan ancaman yang akan dihadapi Indonesia ketika gempa besar itu benar-benar terjadi, namun ironisnya respon dan perhatian para pemegang otoritas terasa rendah, termasuk di daerah-daerah rawan bencana.
Dalam konteks itu, model berpikir teknokratis dalam konteks demokrasi yang sedang berjalan di tahun politik ini memang sangat dibutuhkan tetapi hal itu juga tidak boleh menihilkan aspirasi rakyat dan bertindak melawan akal sehat.
Keseimbangan model berpikir (dan kebijakan) demokratis dan teknokratis harus selalu dijaga agar Indonesia ke depan bisa tumbuh secara berkualitas, dalam arti bertumbuh dalam pemerataan, bukan tumbuh untuk segelintir kelompok atau golongan saja.
*) Dosen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas